Oleh: Mecki Mulait, Pr)*
Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-Maruf pada Oktober 2019 nanti, pemerintah pusat disibukkan oleh satu isu “rasis” yang mencuat di Jawa Timur, kota Surabaya dan Malang.
Lantas dampaknya merambat ke seluruh Tanah Papua. Mahasiswa Papua yang bermukim di asrama (Mahasiswa Papua) Kamasan Surabaya dan Malang mendapatkan ujaran rasis dan tindakan diskriminatif oleh sejumlah ormas atas bekingan pihak keamanan.
Aksi protes dan penolakan terhadap perlakuan rasis itu bukan saja membludak dalam solidaritas antar mahasiswa di kota studi Jawa-Bali, Sulawesi, Maluku, tetapi juga merambat ke seluruh Papua. Masyarakat Papua tua-muda maupun mahasiswa serempak turun jalan. Mereka menolak tindakan rasis yang dialami anak-anak mereka yang sedang studi di Surabaya dan Malang.
Berbagai upaya dilakukan oleh sejumlah pihak baik pemerintah pusat, daerah, maupun pihak keamanan untuk meredakan masalah tersebut. Pemerintah pusat dibawah koordinator Menko Polhukam, Wiranto terlihat repot menangani masalah ini. Wiranto bersama Panglima TNI Jendral Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jendral Tito Karnavian bekerja keras meredakan masalah yang sudah menjalar sampai pada sum-sum kehidupan orang Papua karena menyangkut harga diri mereka. Penanganan yang sifatnya instan maupun jangka panjang dipikirkan dan digerakkan, meskipun kesannya pemerintah tidak berani menyentuh dasar persoalan hidup orang Papua. Tanggapan dan penolakan tindakan rasis itu hanyalah akumulasi dari segala bentuk tindakan diskriminatif yang dialami orang Papua selama ini yang mempertebal rasa nasionalisme Papua.
Kalau demikian, apa persoalan sesungguhnya orang Papua? Bagaimana historis rasialis yang mengemuka di Tanah Papua? Artikel-opini ini mencoba menyambar roh yang menggerakkan timbulnya rasis terhadap mahasiswa Papua yang merembes di Tanah Papua.
Akar Historis Rasisme
Bicara rasis tidak bisa lepas dari sistem perbudakan yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban spesies manusia. Keduanya terkait erat hubungannya karena paham dan tindakan rasis lahir dari rahim perbudakan. Meskipun manusia melalui perkembangan ilmu pengetahuan sudah memasuki era modern, praktek perbudakan dan rasis tetap bergema dan dipertontonkan dalam banyak lini kehidupan manusia. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa gaji dan tidak mempunyai hak asasi manusia. Budak berarti dijadikan hamba bagi tuannya. Seorang budak harus setia melayani tuannya apapun situasi. Ia harus taat dan setia dan tidak boleh melawan. Ia harus siap sedia melayani tuannya apapun kondisinya. Dalam situasi ini harga/nilai kemanusiaannya tidak diperhitungkan atau tercabut. Dia berfungsi seperti alat atau mesin mekanik yang bisa dipergunakan kapan saja si tuan mau.
Sistem perbudakan pada abad pertengahan lebih paradoks lagi. Praktek perbudakan bukan saja terjadi dalam sistem kerajaan atau pemerintahan, dalam lembaga keagamaan pun dipraktikkan dengan tidak manusiawi. Bangunan-bangunan tua-megah baik kerajaan maupun gereja-gereja di daratan Eropa dibangun di atas pundak dan tetesan darah para budak. Mereka dijadikan alat yang siap dipergunakan untuk mendirikan bangunan-bangunan megah tersebut. Pada praktek ini nilai kemanusiaan para budak tidak diperhitungkan. Yang menjadi pusat perhatian dan dipentingkan adalah bangunannya.
Puing-puing perbudakan abad pertengahan ini dibangun kerangkanya lebih kuat di abad modern. Banyak bangsa Eropa terutama Prancis, Inggris, Italia dan Amerika, memperlakukan manusia kulit hitam dari Afrika sebagai budak. Praktek perdagangan budak lazim terjadi pada masa-masa ini. Pada masa kolonialisme 1700-1960-an, banyak manusia Afrika diangkut ke Eropa untuk dijadikan budak. Mereka dijadikan pekerja kasar yang sebagian hanya layak dikerjakan oleh mesin karena pekerjaannya berat. Manusia hitam diidentikan dengan keras, kuat dan karena itu pantas bekerja keras. Tidak ada batasan waktu bagi para budak. Saat tuannya mau meskipun si budak sebagai manusia merasa lelah dan tidak sanggup mau tidak mau harus memenuhi permintaan tuannya. Hak bicara, hak mengungkapkan perasaan dan meminta perlakuan manusiawi tidak berlaku lagi. Suatu sistem kerja dan sistem kehidupan yang tidak ada bedanya dengan pekerjaan dan perlakukan pada mekanik.
Praktik perbudakan dan tindakan rasis tidak ada bedanya. Keduanya memiliki semangat superioritas yang sama. Pandangan yang melandasi praktek perbudakan karena bangsa atau pribadi tertentu merasa diri rasnya lebih tinggi daripada ras lain, sehingga yang rendah dijadikan sebagai pekerja atau pembantunya saja. Dalam praktek rasialis, selain merendahkan martabat manusia ras lain, tindakannya seringkali lebih brutal.
Praktek pembantaian 6 juta kaum Yahudi oleh Nazi Jerman dibawah kepemimpinan diktator Adolf Hitler menjadi sejarah paling kelam di planet ini. Sebelum ras Yahudi muncul sebagai satu ras unggul melampaui bangsa lain, bangsa Jerman merasa dan mengklaim sebagai manusia unggul di planet ini. Karena itu, bangsa lain tidak boleh melebihi. Ideologi ini akan menggiring pada dua tindakan praktek. Jika upaya pertama dalam memenangkan narasi sebagai ras unggul terancam, maka itu akan dimanifestasikan dalam tindakan kedua yaitu pembantaian. Itulah yang dipraktikkan oleh bangsa Jerman terutama dibawah pimpinan diktator Hitler terhadap bangsa atau ras Yahudi.
Terlepas dari penolakan tindakan pembantaian, memang superioritas ras juga terjadi sebaliknya dari pihak Yahudi. Mereka merasa manusia yang paling unggul dari ras lain sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka. Mereka memegang teguh ajaran sebagai umat pilihan Allah yang paling berhak menduduki posisi atas dan istimewa dari suku lain. Atas dasar itu mereka melakukan apa saja untuk menjadi pengendali dunia.
Dr. John Coleman dalam “Rothschild Dynasty: Mengungkap Garis Keturunan Zionis dan Strategi Nenek Moyang Mereka Dalam Mengendalikan Dunia,” (2006) memperlihatkan dengan jelas konspirasi-konspirasi yang dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menggenggam dunia. Tindakan superioritas Yahudi itulah yang memicu tindakan brutal kaum Nazi ditopang semanagt superioritas yang sama meskipun tindakan pembantian Nazi itu ditolak karena menghancurkan martabat manusia.
Rasis dan Politik Papua
Lalu di mana letak historis rasis yang dialami orang Papua? Apakah rasis itu muncul spontanitas begitu saja sebagaimana yang digemparkan dalam berbagai media Indonesia? Tentu persoalan rasis tidak sedangkal itu. Persoalan rasis memiliki sejarah yang panjang baik secara global maupun sejarah Papua sendiri.
Lantas apa itu rasis atau rasisme? Rasis adalah suatu sistem kepercayaan atau pandangan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan karena itu memiliki hak untuk mengatur ras lainnya.
Ujaran rasis yang diterima orang Papua tidak bisa dilepaskan dari nuansa politis saat ini. Ungkapan rasis dan tindakan diskrimintif yang dialami orang Papua selama terintegrasi dalam NKRI 57 tahun lamanya ibarat dua sisi daun mangga pada satu substansi. Ujaran rasis itu hanya semacam konsep saja yang akan diterjemahkan dalam tindakan diskriminatif.
Dalam perjuangan orang Papua sebagai sebuah bangsa yang beradab sudah mengalami tindakan diskriminatif hampir di seluruh lini kehidupan dan yang paling keras adalah perlindungan hukum dan keamanan. Praktik hukum di republik ini seakan tidak berlaku bagi orang Papua. Ketika orang Papua diperlakukan tidak manusiawi, harkat dan martabatnya dihina dengan tindakan kekerasan atau pun pembunuhan oleh oknum tertentu baik sipil maupun militer, tidak berlaku hukuman bagi pelakunya.
Banyak kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia Papua yang sampai saat ini tidak dapat diproses secara hukum. Karena itu para pelaku kejahatan terus bertindak sewenang-wenang terhadap orang Papua, karena selain tidak ada sangsi atas kejahatannya, tetapi ada promosi jabatan karena dilihat sukses menjalankan tugas negara. Jaminan keamanan pun menjadi terancam bagi orang Papua di negerinya sendiri. Pihak aparat masih saja menggunakan cara-cara teror dan kekerasan terhadap orang Papua.
Ini merupakan cara negara mengontrol orang Papua dengan dasar superioritas tadi. Ketika orang Papua, jangankan tindakan melanggar hukum, tidak pun seringkali ditangkap dan diadili, diproses hukum dengan tuduhan-tuduhan buatan yang tidak masuk akal. Hasil terakhirnya diputuskan masuk penjara sekian tahun.
Semangat pembangunan infrastruktur ala Jokowi tanpa perhitungan masukan dari pihak yang prihatin dengan kebutuhan orang Papua untuk “menghargai kemanusiaan” merupakan tindakan lebih lanjut dari pandangan rasis tersebut. Tindakan rasis tidak akan pernah memperhitungkan suara dari orang yang dianggap rendah atau kelas dua. Mereka masih bodoh dan tidak mampu, maka tindakan yang tepat adalah membuatkan atau memberikan segala sesuatu yang mereka butuhkan.
Gubernur Papua, Lukas Enembe seringkali mengeluh karena pemerintah pusat mengirim banyak uang, tetapi sulit memberikan kewenangan dalam semangat Otsus 2001. Karena itu, legislasi-legislasi yang dihasilkan untuk memproteksi hak orang asli Papua selalu mentah di tangan pemerintah pusat.
Konsep dan praksis macam ini sering menjadi penyangga utama dalam teori kolonialisme. Para antikus dan kritikus kolonialisme berpandangan bahwa bertindak membangun suatu bangsa tanpa disadarkan dan dilibatkan menjadi cikal bakar menghancurkan bangsa tersebut. Mereka bukan dijadikan subyek pembangunan, tetapi objek pembangunan yang hanya berdiri pasif menonton.
Paulo Freire, guru pembebasan rakyat dari Brasil sangat kritis terhadap model pembangunan pasif ini. Baginya, model itu sama saja dengan metode mengajar anak gaya bank, dimana guru merasa diri lebih tahu segalanya, sehingga anak dijadikan “sebatas” bank untuk mentransfer ilmu sebanyak mungkin tanpa pernah peduli bahwa anak tersebut adalah manusia yang memiliki hak interaksi dan apa yang betul menjadi kebutuhannya. Para pembangun tidak akan pernah pusing dengan kebutuhan utama dari objek atau manusia yang dibangunkan apalagi memperdulikan suara dan penderitaan mereka. Karena itu, rasisme yang bertumbuh dan berkembang dalam ideologi pembangunan ini memang ironi.
Kondisi kritis manusia Papua adalah persolaan pelanggaran HAM dimana banyak anak-anak Papua tidak mendapatkan hak dasar pendidikan, kesehatan, jaminan ekonomi, sosial politik dan jaminan keamanan. Pemerintah pusat justru mengirim pasukan keamanan baik dari satuan Brimob maupun TNI ke Papua lebih ringan dan agresif-masif daripada mengirim tenaga guru, perawat, dokter atau juga membuka akses wartawan sebagai fungsi kontrol untuk menyelamatkan masa depan Papua.
Rasis: Sebuah Ideologi Terselubung?
Dengan munculnya ujaran rasis di berbagai tempat dan perlakuan diskriminatif terhadap orang Papua, ada indikasi kuat bahwa ujaran rasis itu terjadi karena ideologi terselubung dalam rakyat Indonesia. Seperti yang dikisahkan Hamadi perwakilan Komnas HAM Papua dan Gobay perwakilan LBH Papua dalam acara seminar “Menakar Isu Rasisme di Papua” oleh BEM STFT “Fajar Timur” pada 11 September 2019 bahwa “seringkali anak-anak kecil di Jawa pun secara spontan memanggil mahasiswa Papua yang lewat dengan sebutan monyet”. Ditemui juga pengalaman lain bahwa ketika anak-anak Papua naik angkot yang sama, seringkali masyarakat non Papua menutup hidup atau buang muka.
Juga kasus lain ketika Persipura hendak bermain bola diteriakin “monyet”, bahkan dilempari dengan kulit pisang. Yang lebih menyedihkan lagi, ujaran rasis terhadap mantan komnas HAM, Natalius Pigai yang disandingkan dengan hewan gorila pada 2017 lalu. Karena itu persoalan rasis yang dialami orang Papua sudah menjadi suatu ujaran yang lazim secara terstruktur dan masif.
Fakta-fakta ujaran rasis yang terkesan biasa dan masif ini memperlihatkan ada semacam ideologi terselubung dalam pola pikir masyarakat Indonesia. Ideologi adalah seperangkat ide atau gagasan yang membentuk keyakinan dan paham untuk mewujudkan cita-cita manusia. Karena itu ideologi seringkali muncul spontan saja karena sudah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan adanya ideologi itu, ketika berjumpa dengan orang Papua yang terlintas dalam benak mereka adalah hal-hal negatif dan manusia kelas dua atau bahkan dianggap binatang. Tetapi lebih dari itu sebagai suatu pandangan dan usaha sistemik, ideologi itu termanifestasi dalam ideologi pembangunan yang diurai tadi.
Sebutan “monyet” sadar atau tidak sadar mengungkapkan fakta itu. Filep Karma seorang aktivis pejuang kemanusiaan Papua sudah menggambarkan diskriminasi rasial itu jauh sebelumnya. Dengan jelas dan gamblang digambarkan pengalaman rasialisnya dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang” (2014).
Tetapi sayangnya fakta rasialis yang sistemik itu justru dibantah oleh pihak aparat Indonesia ketika gejolak rasis muncul di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu. Pihak aparat justru mengklaim bahwa sebab utama rasis di Surabaya, Malang, Makasar dan tanggapan secara luas oleh masyarakat Papua di sejumlah daerah di Indonesia dan Papua itu hanya pemanfaatan isu saja demi kepentingan politik kelompok KNPB dan ULMWP di luar negeri.
Terhadap klaim aparat ini secara logis kita sulit mengerti bahwa bagaimana hubungan antara pengujar rasis oleh kelompok ormas di Surabaya-Malang dengan agenda politik KNPB dan ULMWP. Apakah ada kerja sama antara ormas yang dibeking pihak aparat itu dengan kelompok ULMWP dengan melemparkan bola rasis demi agenda politik? Sambil meninggalkan logika berpikir yang terkantung itu, dapat saja kita andaikan bahwa isu bisa dimanfaatkan oleh kelompok yang dituduh.
Tetapi dalam kerangka rasialis yang sistemik itu, satu hal yang lebih masuk akal kalau munculnya tanggapan yang meluas terhadap kasus rasis Surabaya itu sebagai akumulasi puncak kemarahan dan penolakan orang Papua terhadap praksis rasialis yang mereka alami secara masif selama ini. Orang Papua marah karena sudah bertahun-tahun lamanya mereka mengalami tindakan rasialis dan diskriminatif dalam berbagai lini kehidupan dan pembangunan. Bahkan harga nyawa mereka pun menjadi rendah dengan jargon NKRI harga mati bisa dilenyapkan kapan dan dimana saja.
Sebagai manusia, secara psikologis ada batas waktu dimana upaya sublimasi itu bisa saja meluap ketika momentnya tepat dan tidak terkontrol lagi. Dan tindakan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya itu bukan sebatas ujaran, tetapi juga ancaman, diskriminasi dengan perlakukan aparat yang seakan-akan sedang mengejar teroris di Asrama Kamasan. Padahal mereka adalah anak-anak sebangsa dan semartabat yang perlu dilindungi oleh pihak aparat. Hal itulah yang barangkali menjadikan masyarakat Papua marah, sehingga membalas tindakan itu dengan penolakan rasisme di Papua secara meluas sampai pada banyak korban nyawa dan materi.
Rasis: Musuh Bersama
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah menolak tindakan rasialis karena merendahkan martabat manusia. Penolakan itu sudah dikonvensi secara internasional tentang “penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial” dan diberlakukan pada 4 Januari 1969. Dasar konvensi itu adalah bahwa setiap manusia sama harkat dan martabatnya. Dan hak hidupnya sebagai manusia tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun termasuk pelecehan martabatnya sebagai manusia. Karena itu sangat kontras ketika manusia disamakan dengan binatang sejenis monyet. Setiap manusia yang beradab pasti menolak setiap tindakan rasialis karena itu sangat bertentangan dengan martabat manusia yang sederajat.
Masyarakat Indonesia sebagai warga dunia yang bermartabat pasti akan menolak tindakan rasialis dan mengutuknya. Hanya manusia murahan dan tidak memiliki harga dirilah yang akan membenarkan tindakan rasialis itu dengan berbagai jargon seperti NKRI harga mati, pancasilais, kelompok nusantara, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini seringkali tidak mengontrol tindakan dan ujarannya karena dipengaruhi oleh pandangan nasionalis yang sempit kalau tidak hanya menjadi tameng bayaran dari tokoh penumpang dari kepentingan tertentu.
Ujaran dan tindakan rasialis sangat bertentangan bahkan melecehkan martabat manusia, maka siapapun manusia wajib melindungi dan membelanya. Masyarakat Indonesia sebagai warga dunia dan manusia yang bermartabat juga mesti menolak rasisme. Sayangnya kasus rasis yang dialami orang Papua terkesan tidak ditangani secara serius oleh pihak aparat kepolisian. Hal ini terlihat dari tindakan hukum yang tidak tegas bahkan tidak tentu yang diterapkan kepada pihak ormas yang dibeking oleh aparat TNI dan polisi di Surabaya.
Pihak aparat dan pemerintah pusat dibawah koordinator Menko Polhukam, Wiranto justru lebih agresif mengejar para demonstran Papua yang turun ke jalan untuk menolak tindakan rasisme itu. Sehingga terkesan pihak pemerintah pusat dan aparat hanya mengejar asapnya, sementara apinya dibiarkan membara.
Perlakuan diskriminatif itu terlihat dalam aksi-aksi di lapangan, dimana pihak aparat cepat mencegah orang Papua yang membawa alat tajam sekalipun itu hanya alat kerja kebun.
Sementara pihak non Papua dibiarkan dengan leluasa mempergunakan alat tajam termasuk dalam menyerang warga Papua. Kasus Abepura berdarah, September 2019, memberi fakta ini. Tindakan macam ini sangat kontradiktif. Karena itu, orang Papua merasa tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak untuk dilindungi.
Dengan tindakan penanganan yang tidak profesional ini, membuat orang Papua merasa tidak memiliki jaminan hukum dan pengadilan dalam NKRI. Karena itu tidak pantas kita curiga dan salahkan orang Papua ketika mereka mencari alternatif perdamaian dan penegakan hukum serta jaminan martabatnya sebagai manusia melalui organ-organ yang bernaung di bawah PBB. Mungkin teguran dari dunia internasional baru pemerintah dan aparat RI bisa merubah sikap dan menangani secara adil dan bermartabat terhadap tindakan rasisme yang dialamatkan kepada orang Papua.
Penanganan Rasis Secara Komprehensif
Bagian historis tindakan rasialis sudah diangkat motif munculnya ujaran dan tindakan diskriminatif dan rasialis kepada orang Papua. Bahwa sejak Papua menjadi buruan bangsa asing oleh karena SDAnya yang kaya sudah muncul pandangan “Papua pulau tanpa bertuan”. Orang-orang Papua sebagai penghuni pulau itu sudah tidak dianggap lagi sebagai manusia pemilik sah. Karena itu berbagai cara dilakukan untuk ekspansi dan mengeksploitasi isi perut bumi Papua.
Manusia Papua penghuninya bila perlu disingkirkan. Para penjelajah Spanyol, Portugis dan kemudian dikuasai oleh Belanda membangun image manusia Papua masih primitif, tidak berpendidikan, rendah wawasan dan pola pikirnya, manusia malas, dan seterusnya. Karena itu mereka tidak bisa hidup sendiri, harus dibantu dalam menentukan masa depan hidupnya.
Pandangan legitim tersebut perpuncak pada New York Agreement, 15 Agustus 1962, dimana nasib hidup orang Papua ditentukan oleh orang asing (Belanda, Amerika dan Indonesia) dibawah saksi PBB tanpa melibatkan orang Papua sendiri.
Semangat demikianlah yang juga masih dipraktikkan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah Papua. Semenjak Indonesia mengambil kendali Papua dibawah Perjanjian Roma dimana Indonesia ditugaskan sekurang-kurangnya 25 tahun membangun Papua, pemerintah sudah membangun pendekatan yang tidak sesuai dengan pergumulan hidup orang Papua (Alua: 2006: 51). Antara harapan dan kebutuhan hidup orang Papua tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dalam membangun Papua.
Sejak presiden Soekarno sampai dengan Jokowi saat ini polanya sama saja yaitu pendekatan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan, meskipun kesejahteraan yang sesungguhnya masih saja diperdebatkan dengan fakta kepincangan yang terjadi di Papua. Terjadinya diskronisasi pembangunan Papua antara pusat dengan kebutuhan hidup orang Papua karena motif kekuasaan ekonomi tadi. Pemerintah lebih tertarik membangun infrastrukturnya dalam mengenjot investor mengklaim Papua, daripada memperhatikan psikologis Papua yang tertekan akibat militerisasi Papua.
Penanganan masalah Papua secara parsial tidak akan pernah selesai. Upaya itu sama saja dengan menghilangkan asap tanpa memadamkan apinya. Apalagi penanganan instan yang dipraktikkan oleh pemerintah Jokowi dibawah koordinator Menko Polhukam, Wiranto dalam mengatasi gejolak penolakan rasisme di Papua.
Mengumpulkan Barisan Merah Putih dengan klaim tokoh Papua (masyarakat, adat, agama, perempuan, dan pemuda) untuk bertatap muka dengan presiden mungkin bermanfaat untuk membangun citra diri di forum-forum internasional dalam menghadapi serangan dunia atas kasus pelanggaran HAM Papua. Tetapi sudah pasti tidak banyak membantu dalam mengatasi persoalan Papua karena barisan itu tidak sedang bergumul dengan penderitaan masyarakat Papua. Mereka itu hanyalah manusia pencari kesempatan proses dalam kesempitan hidup.
Membangun perdamaian semu dengan acara bakar batu sama saja buang-buang energi dan materi, bahkan menjadi penghinaan besar bagi orang Papua yang memiliki tradisi itu. Bakar batu perdamain itu bukan sepihak dan memaksa kehendak tanpa menyelesaikan masalah. Orang Papua melakukan acara bakar batu setelah semua anggota menyatukan hati dan bersatu sebagai satu anggota keluarga.
Karena itu, perlu penanganan masalah Papua secara menyeluruh. Berikut ini beberapa pandangan solusi dalam menyelesaikan masalah Papua.
Pertama, pemerintah perlu mendorong tim penyelidikan dan pengungkapan fakta pelanggaran HAM Papua. Langkah ini penting untuk memulai dan membangun kepercayaan diri orang Papua kepada pemerintah. Dengan langkah ini, orang Papua juga akan semakin percaya bahwa harkat dan kemanusiaan mereka diperhatikan secara serius.
Kedua, Perlu membuka dialog damai antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Banyak tokoh Papua sering sekali bertanya-tanya mengapa dialog Papua tidak bisa dimulai sementara dengan gerakan Aceh merdeka bisa. Apa bedanya antara gerakan Papua merdeka dengan gerakan Aceh merdeka? Kalau gerakannya sama-sama untuk memisahkan diri NKRI mestinya, Papua juga bisa dimulai.
Pengalaman di Aceh menjadi cermin untuk membuka diri dialog dengan Papua. Tahun 2017 presiden Jokowi sudah membuka diri untuk memulai proses dialog dengan istilah “dialog sektoral”. Langkah ini bisa dimulai bersama Jaringan Damai Papua (JDP) bersama LIPI yang telah melakukan kajian dengan tawaran langkah-langkah strategis. Jika mau masalah Papua diselesaikan secara komprehensif, maka semua sektor yang menjadi inti kehidupan manusia Papua harus dibicarakan. Sektor-sektor yang dibicarakan adalah sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, budaya-agama, infrastruktur dan berpuncak pada persoalan politik. Sektor-sektor ini perlu dibicarakan supaya ada konsensus bersama dalam implementasinya.
)* Penulis adalah pengajar di STFT Fajar Timur, Abepura.