Persatuan Tanpa Saling Menghargai

0
1724

Oleh: Taufiq Sobari)*

Di bangku sekolah diajarkan tentang persatuan yang mengambil analogi sapu lidi. Dalam ikatan yang kuat lidi dipersatukan untuk membersihkan sampah. Namun sayang analogi itu tidak mengandung unsur nilai sebab persatuan bangsa tak cukup kuat tanpa ikatan saling menghargai satu sama lain.

Berita tentang kekerasan fisik juga kekerasan verbal yang menimbulkan gejolak di West Papua (Papua dan Papua Barat) selalu mengisi laman berita hingga kini. Merendahkan martabat manusia -menyejajarkan manusia dengan mahluk Tuhan yang memiliki kencederungan ukuran otak lebih kecil- menjadi pemicu keprihatinan. Ketidakadilan muncul saat sebagian orang menistakan orang West Papua, bahkan seorang kepala negara saja hanya menyarankan untuk memaafkan. Ketika hinaan itu dijawab dengan aksi massa dan dijadikan simbol perlawanan atas keresahan, orang West Papua tetap dianggap salah: Separatis!

Gerakan hijau, revolusi melati, tumbangnya diktator Mesir merupakan fenomena kuatnya pengaruh media sosial dalam aksi perlawanan. Facebook, twitter atau media sosial lainnya menjadi salah satu alat yang digunakan dalam perjuangan, tak terkecuali oleh kaum muda West Papua yang terorganisir. Menurut Anita Breuer, ahli politik di lembaga Jerman Deutsches Institut für Entwicklungshilfe, “Facebook tidak menyebabkan pecahnya revolusi, tapi media itu membantu mengumpulkan massa di jalan”. Meski pemerintah berdalih untuk mencegah penyebaran hoax, melakukan black out internet disinyalir sebagai cara pemerintah Indonesia mengisolasi ruang demokrasi rakyat West Papua di dunia maya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Karena dianggap salah, tidak cukup hanya internet yang diblokir tapi pengerahan pasukan TNI/Polri menjadi keharusan agar tercipta kedamaian. Apakah kedamaian itu benar terwujud? Komnas HAM mengungkapkan fakta:

ads

“…Kekerasan umumnya dilakukan aparat keamanan termasuk aparat kepolisian dan anggota militer. Peristiwa seperti itu seringkali menimpa daerah dataran tinggi yang terpencil. Di sana, aparat keamanan berulang kali menyerang warga desa dengan dalih aksi balas…”

Karakter tentara seperti tidak mengalami perubahan meski zaman berganti, beberapa bulan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di West Papua, surat kabar Jayapura melaporkan bahwa Mayor Soewondo, dari angkatan Darat Indonesia, mengatakan kepada 200 kepala desa di sekitar Danau Sentani:

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

“…Aku tegaskan bahwa aku akan melindungi dan menjamin keamanan setiap orang yang memilih bergabung dengan Indonesia. Dan aku akan menembak mati siapa pun yang menentang kami [John Saltford].”

Bagaimana mungkin kedamaian bisa tercipta dibawah tekanan? Sebab itu usulan penarikan pasukan dari tanah Papua dan melucuti semua senjata dari pihak manapun merupakan hal yang mendesak.

Orang-orang West Papua diklaim sebagai bagian bangsa Indonesia tapi tidak merasakan kesedihan ketika tanahnya dijarah dan rakyatnya dibiarkan “digebukin”. Solidaritas kebangsaan kepada West Papua hanya sebatas pemahaman luas wilayah teritorial atau muncul solidaritas kemanusiaan ketika di satu wilayah di West Papua tersiar kabar “saudara sedarah” teraniaya bahkan dikabarkan siap mengirim pasukan sipil. Padahal penduduk West Papua di wilayah lain ada yang dianiaya hingga mengungsi, terusir dari tanah kelahirannya jauh sebelum peristiwa “saudara sedarah” teraniaya. “Bangsa Indonesia” marah ketika orang West Papua ingin menentukan nasibnya sendiri tapi santun kepada para penjarah dan penindasnya. Memilih NKRI harga mati tapi membiarkan kekerasan terus menerus dan eksploitasi di West Papua adalah bentuk pengkhianatan kepada Pancasila. Pancasila mengajarkan kemanusiaan juga keadilan sosial bukan cuma persatuan.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Hidup di bawah mentari yang sama. Berjalan di bawah rembulan yang sama. Namun setiap individu, setiap bangsa menentukan sendiri arahnya. Dalam keheningan, angin membawa surga kecil jatuh ke bumi; tanah West Papua. Dalam kehidupan damai yang saling menghargai, anak-anak West Papua seperti Jawi Mayor, Gibson Sauyai dan Jacob Sauyai dalam Film The Journey to the South Pacific akan menatap masa depan West Papua yang lebih yakin; melindungi dan menyelamatkan segala sumber daya yang ada di West Papua.

)* Penulis adalah mantan aktivis Buruh.

Artikel sebelumnyaIni Harapan Anggota DPD KNPI Yahukimo
Artikel berikutnyaIni Hasil Seleksi Calon Reporter Suara Papua 2019