Pelantikan Presiden Indonesia dan Harga Tawar Dialog Jakarta – Papua

Merajut Kesatuan Bangsa

0
1567

Oleh: Oksianus Bukega)*

Pelantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 dilaksanakan pada Minggu, 20 Oktober 2019, di komplek Parlemen, Jakarta. Dengan dilantiknya presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang baru menandai dibukanya dan dimulainya babak baru untuk kerja-kerja kepemerintahannya.

Pelantikan presiden dan wakil presiden ini dilihat sebagai suatu momentum untuk semakin meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan ini diharapkan seyogianya tak hanya di tingkat elite, tetapi juga elite dengan masyarakat dan di antara masyarakat akar rumput.

Bagi presiden terpilih yang akrab dengan nama Jokowi, pelantikan ini menjadi kesempatan kedua setelah menjalani lima tahun kepemimpinannya bersama Jusuf Kalla. Bersama wakilnya yang baru (Ma’ruf Amin), sejumlah pekerjaan rumah sudah menunggu untuk dituntaskan melalui janji-janji kampanye politiknya.

Sesungguhnya pekerjaan rumah tak hanya janji-janji kampanye politiknya, tetapi melingkupi semua janji yang belum dituntaskan pada periode pertama kepemimpinnnya. Oleh karena itu, semua pekerjaan rumah yang belum dituntaskan itu menjadi agenda presiden dan wakil presiden terpilih di masa kepemimpinannya selama lima tahun mendatang.

ads

Janji Kampanye Politik dan Euforia Pelantikan

Beberapa bidang yang menjadi janji kampanye politik adalah bidang hukum dan HAM, ekonomi, pendidikan, infrastruktur, sosial-politik dan bidang terkait lainnya.

Janji dialog Jakarta-Papua (dialog sektoral) bukan merupakan janji kampanye politik, tetapi merupakan salah satu janji presiden terpilih (Jokowi) yang pernah dijanjikan dan sekarang masih menjadi harga tawar untuk diproses. Apakah dialog Jakarta-Papua (dialog sektoral) yang sudah dijanjikan oleh presiden terpilih masih menjadi harga tawar tinggi di periode kedua kepemimpinannya? Rakyat sedang menanti untuk proses pelaksanaannya!

Latar belakang lahirnya janji tawaran dialog Jakarta-Papua memiliki proses yang panjang. Oleh karena itu, bila kita menyinggung kembali topik dialog Jakarta-Papua (dialog sektoral), maka kita tak bisa melupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memperjuangkan dialog Jakarta-Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) dalam hal ini memiliki kontribusi besar dalam mengupayakan tercapai dan terciptanya dialog Jakarta-Papua.

Dialog Jakarta-Papua sesungguhnya adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan damai yang luhur dan bermartabat dari segala persoalan yang dihadapi bangsa. Dalam seruan-seruan euforia pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, muncul pesan-pesan: “saatnya melupakan perbedaan politik dan merajut lagi persatuan; kami ingin jahit kembali persatuan yang retak” (Kompas, 20/10/2019). Seruan tersebut lahir sebagai suatu motivasi perayaan persatuan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi politik.

Pesan-pesan yang disampaikan itu bila dimaknai dengan baik, maka persoalan-persoalan sosial yang mengitari bangsa ini sudah saatnya dirajut dan didialogkan kembali untuk kebaikan tatanan sosial dan keutuhan bangsa. Jika pesan-pesan itu dihubungkan dengan janji dialog Jakarta-Papua, maka janji dialog Jakarta-Papua perlu dimediasi kembali untuk menuntaskan berbagai konflik Papua, dengan tujuan merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Motivasi dari euforia pelantikan presiden terpilih adalah jelas yaitu merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu orientasi untuk merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa menjadi suatu agenda bagi presiden dan wakil presiden terpilih. Janji dialog Jakarta-Papua tentu menjadi salah satu agendanya.

Identifikasi Konflik Papua dan Menagih Janji Dialog Jakarta-Papua

Mengapa ada dialog dan janji berdialog antara Jakarta-Papua? Dialog terjadi karena ada kontak dan relasi antara dua pihak. Dialog terjadi karena dua pihak bertikai. Dialog terjadi karena ada konflik.

Konflik Papua melibatkan dua pihak yang bertikai, dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan orang Papua. Konflik Papua dimulai semenjak Indonesia menguasai Papua sejak 1 Mei 1963 dan hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh. Untuk menyelesaikan konflik Papua, maka sumber-sumber konfliknya perlu diidentifikasi terlebih dahulu.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah mengidentifikasi sumber-sumber dari konflik Papua. Ada empat sumber konflik Papua, yakni (1) marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, (2) kegagalan pembagunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, (3) kekerasan negara di masa lalu, dan (4) kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta (LIPI: 2008).

Melihat dan menyadari serangkaian persoalan ini, maka tawaran dialog merupakan media yang tepat untuk penyelesaian konflik Papua. Media dialog ini dalam rangka merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Dialog sebagai sarana untuk mencari solusi terbaik bagi penyelesian konflik Papua diwacanakan sejak tahun 2000.

Pada awal wacana dialog, rakyat Papua, melalui Kongres Papua II yang diselenggarakan di Jayapura pada Juli 2000 memilih dan menetapkan dialog sebagai sarana dalam rangka mencari opsi dan langkah terbaik untuk menyelesaikan konflik Papua. Walaupun demikan, istilah dialog dalam kaitan dengan konflik Papua selalu dicurigai oleh pemerintah pusat dan aparat keamanan. Dialog dijadikan suatu istilah ‘tabu’ karena dipandang sebagai ekspresi separatisme Papua. Akibatnya, pihak Papua dan Jakarta enggan —untuk tidak mengatakan takut— menggunakan istilah dialog dalam kaitannya dengan konflik Papua.

Kini, wacana dialog Jakarta-Papua sudah memasuki tahap baru. Sejak 2009, kata dialog Jakarta-Papua bukan lagi istilah ‘tabu’ karena sudah selalu diucapkan oleh banyak orang dan dapat ditemukan dalam berbagai media massa di Indonesia.

Pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengumumkan secara terbuka komitmennya untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog terbuka. “Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk cari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan konflik Papua” (Neles Tebay: 2013). Walaupun demikian, komitmen tersebut belum pernah direalisasikan.

Memasuki tahun 2015, Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sudah wacanakan janji untuk diadakan dialog Jakarta-Papua. Pendekatan dialog yang ditawarkan oleh Jokowi adalah pendekatan dialog sektoral untuk penyelesaian konflik Papua. Kompleksitas konflik atau masalah yang diidentifikasi oleh LIPI (di Papua) menjadi indikator dalam proses penyelesaiannya. Untuk merumuskan proses terjadinya dialog sektoral ini ditunjuk alm. P. Neles Tebay, sebagai koordinator dari JDP dan dengan melibatkan sejumlah stakeholder lainnya untuk merancang dialog sektoral yang terukur dan terencana sesuai dengan bidang konflik sektoral (bidang HAM misalnya).

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

Tawaran dialog sektoral ini tak luput pula dari hambatan-hambatan dan kecurigaan-kecurigaan dari rakyat Papua maupun rakyat Indonesia yang memiliki perbedaan pandangan ideologi dan nasionalismenya. Menyangkut ideologi dan nasionalisme ini bukan merupakan fokus utama dialog sektoral. Dialog sektoral sebenarnya melingkupi segala dimensi konflik Papua yang harus dibahas secara komprehensif dan terintegrasi. Namun, sampai dengan saat ini, dialog sektoral yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi masih belum terlaksana. Karena itu, pada masa kepemimpinannya yang kedua, dialog Jakarta-Papua masih menjadi harga tawar untuk didialogkan demi merajut persatuan dan kesatuan bangsa.

Dialog Jakarta-Papua Upaya Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Setelah identifikasi sejumlah masalah di Papua untuk didialogkan melalui mediasi dialog Jakarta-Papua, maka perlu melibatkan sejumlah aktor yang dipandang belum bersatu untuk duduk bersama, berbicara bersama, sepaham bersama dalam rangka dialog mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam konflik Papua, sembilan kelompok aktor yang perlu dilibatkan dalam proses pencarian solusi yang komprehensif dan terintegrasi melalui dialog. Kesembilan kelompok aktor itu, antara lain: orang asli Papua, penduduk Papua (orang asli dan peguyuban-peguyuban nusantara yang hidup di Papua), pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), TNI, Polri, perusahaan-perusahaan domestik dan multinasional yang mengeksploitasi kekayaan alam di Tanah Papua, Pemerintah Pusat, orang Papua yang hidup di luar negeri, dan orang Papua yang bergerilya di hutan belantara Papua atau yang disebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang adalah sayap militer dari OPM.

Dalam rangka dialog Jakarta-Papua untuk merajut persatuan dan kesatuan bangsa, maka kelompok-kelompok yang telah disebutkan di atas adalah warga negara yang harus diberi ruang dan kesempatan berkumpul untuk melibatkan diri dalam membahas dan menghasilkan pendapat kolektif tentang solusi yang komprehensif. Dengan kesempatan berkumpul dan mengemukakan pendapat semua pemangku kepentingan, perlu memiliki pemahaman dan gambaran yang sama tentang indikator-indikator yang dapat diukur dari visi masa depan Papua di bidang ekonomi, politik, budaya dan keamanan. Indikator-indikator ini mengungkapkan harapan dan keutuhan yang perlu dipenuhi melalui pembangunan.

Semua pemangku kepentingan perlu memiliki pemahaman yang sama tentang masalah-masalah pada setiap dimensi konflik Papua yang mesti diatasi. Selanjutnya semua pemangku kepentingan membahas dan menetapkan solusi komprehensif dan integral. Tentunya bahwa semua proses pembahasan hingga penetapan solusi yang komprehensif dan integratif ini dilakukan melalui rangkaian dialog-dialog yang dilaksanakan pada tahap dan tingkatan yang berbeda-beda.

Dialog Papua yang melibatkan semua pemangku kepentingan ini akan membahas dan memperjelas visi masa depan Papua, indikator-indikator dari visi tersebut, masalah-masalah yang dapat menghambat pencapaian visi tersebut, dan solusi-solusi yang dapat membantu semua pemangku kepentingan dalam mewujudkan dan mencapai masa depan Papua (Neles Tebay: 2013). Semua upaya yang dilakukan ini berorientasi untuk merjut persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, bila sejumlah kelompok aktor yang disebutkan itu tak mendapatkan ruang dan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan memberi solusi penyelesaian konflik Papua, maka belum bisa mewujudnyatakan upaya merajut persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Dialog Jakarta-Papua Media Perdamaian Bangsa

Dialog Jakarta-Papua sebenarnya media yang mengupayakan terwujudnya misi perdamaian bangsa. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Dialog adalah sarana solutif yang tepat untuk mewujudkan nilai-nilai perdamaian tersebut.

Tujuan dari dialog adalah untuk membongkar pra-pemahaman (a priori) setiap individu kepada orang lain. Dialog juga mampu menciptakan kedamaian, menjaga kelangsungan hidup dalam kebersamaan, karena hidup berdamai dalam kebersamaan adalah kodrat setiap manusia yang harus terus menerus dijaga dan dilestarikan. Sebab dialog bukan sebuah studi, konsultasi, pemeriksaan, pengajaran, debat, dan sebagainya.

Dialog lebih pada mendengarkan dan mengobservasi, berbicara mengoreksi dan dikoreksi. Berbagai upaya ini dengan tujuan supaya saling pengertian dan saling menghormati satu sama lain sebagai anak bangsa.

Segala upaya untuk kedamaian dan merajut persatuan dan kesatuan bangsa, maka nilai-nilai universal yang mempererat hubungan sebagai anak bangsa harus ditegakkan. Dalam konteks dialog Jakarta-Papua sebagai media perdamaian bangsa, akhirnya merumuskan sepuluh nilai universal yang menjadi indikator perdamaian konflik Papua. Menurut alm. P. Neles Tebay, untuk mewujudkan perdamaian (Papua Tanah Damai) dan merajut persatuan dan kesatuan bangsa dari konflik vertikal dan horizontal dilaksanakan atas dasar dan dibimbing oleh sepuluh nilai universal yakni: keadilan, partisipasi, rasa aman, harmoni, kebersaman, pengakuan dan harga diri, komunikasi dan informasi, kesejahteraan, kemandirian, dan kebebasan.

Hanya dengan menegakkan sepuluh nilai ini, perdamaian dan kesatuan bangsa dapat diwujudkan. Jika dari sepuluh nilai ini tak diamalkan, maka perdamaian dan kesatuan bangsa tak pernah akan terjadi.

Harga Tawar Dialog Jakarta-Papua menjadi Agenda Presiden dan Wakil Presiden di Masa Kepemimpinannya

Berdasarkan momentum pelantikan presiden dan wakil presiden (Joko Widodo dan Ma’ruf Amin), janji dialog Jakarta-Papua menjadi agenda untuk perealisasiannya. Sebab janji dialog Jakarta-Papua bukan lahir tiba-tiba ke permukaan, tetapi janji dalog Jakarta-Papua sudah berlangsung lama.

Indikator untuk dilakukan agenda dialog Jakata-Papua yang komprehensif dan terintegral sudah jelas. Apa identifikasi masalah yang mau didialogkan, siapa yang harus dilibatkan dalam dialog, nilai-nilai apa yang mau diintegralkan dari dialog untuk kedamaian dan merajut kesatuan bangsa. Dalam tulisan ini sudah disebutkan semuanya. Karena itu, dialog menjadi medianya!

)* Penulis adalah mahasiswa pada program pasca sarjana STFT “Fajar Timur” Abepura, Papua

Artikel sebelumnyaULMWP Beberkan Tragedi Wamena Berdarah 23 September 2019
Artikel berikutnyaVokalis Big Mountain Konser Musik Reggae Dua Hari di Jayapura