Kabinet Jilid II Mengecewakan, Segera Konsolidasi Ideologis

0
1340

Oleh: Pena Rawap)*

Para menteri dalam Kabinet Joko Widodo Jilid II yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju sudah mulai bekerja membantu presiden Jokowi. Tetapi rasa kecewa terhadap kabinet Indonesia Maju masih hangat di publik Papua. Awal mula ceritanya itu, paska tiga hari dilantik untuk menjadi kepala keluarga dalam rumah besar Ibu Pertiwi, pada hari Minggu (23/10/2019), Presiden Joko Widodo mengumumkan dan memperkenalkan susunan kabinet Indonesia Maju, pada Rabu (23/10/2019) di Istana Negara.

Kekecewaan tersebut ramai diperdebatkan di dunia nyata hingga dunia maya yang berlanjut sampai hari ini. Terutama di facebook.

Bagaimana tidak kecewa? Dari 38 orang pembantu inti Jokowi, tidak ada satu pun orang Papua. Jhon Wempi Wetipo dipanggil menjadi Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Wamen PUPR) ketika muncul suara protes dari Papua. Pula yang dijanjikan adalah menteri, bukan wakil menteri. Sehingga ada wajarnya orang Papua kecewa dan protes. Terutama kelompok pragmatis.

Suara protes yang sedikit keras itu datang dari Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak. Pemilik sapaan akrab RHP ini mengaku kecewa karena menyumbang 100 persen suara rakyat Mamberamo Tengah untuk Jokowi-Ma’ruf dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tetapi tidak ada orang Papua yang jadi menteri.

ads

“Saya salah satu Bupati kader Demokrat yang memberikan dukungan 100 persen suara untuk Jokowi, jadi jika hari ini kader demokrat tidak diakomodir, kami sangat kecewa. Apa lagi tidak ada orang asli Papua yang diakomodir sebagai menteri,” ujar Pagawak dengan menyarankan Jokowi untuk tidak ke Papua karena hal tersebut, sebagaimana diwartakan papuatoday.com (23/10/2019).

Selain RHP, kekecewaan yang sama juga dikemukakan Habelino Sawaki, sekretaris Tim 61 Papua. Habelino kecewa karena tak ada orang asli Papua di Kabinet Menteri. Kekecewaannya dibuat dalam video yang dirilis Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/10/2019).

Secara manusiawi ada benarnya, orang Papua kecewa dan melakukan protes kepada presiden. Bukan karena pilihan politik di Pilpres yang diberikan turut mengantarkan Jokowi menjadi presiden yang kedua kalinya. Tetapi masih terngiang dalam pendengaran orang Papua akan deruh tepuk tangan yang membahana dari murid SD yang dibawa untuk bertemu Jokowi di Istana Negara (11/10/2019). Deruh tepuk tangan terjadi sebagai respon perkataan Jokowi bahwa akan ada orang Papua di kabinet jilid II sebagai menteri. Bukan wakil menteri.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

“Saya pastikan ada (menteri asal Papua),” ujar Jokowi disambut tepuk tangan siswa-siswi SD, kompas.com (11/10/2019).

Tetapi faktanya hanya janji. Sehingga wajar bila orang Papua kecewa karena Jokowi telah berjanji kalau nanti dalam kabinet jilid II akan ada orang Papua di posisi menteri. Namun janji itu diingkari. Sudah ingkar janji, Jokowi tetap saja bersikukuh bahwa ada keterwakilan dari Papua dalam kabinetnya dengan menyebut mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Bahlil Lahadia sebagai perwakilan dari Papua, yang ternyata bukan asli Papua.

“Keterwakilan Papua ada, Pak Bahlil kan dari Papua,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (24/10/2019), dilansir tribunnews.com.

Pembaca yang budiman perlu melangkah sedikit ke depan untuk mengetahui mengapa ada kekecewaan dan siapa yang kecewa?

Kekecewaan itu bukan soal janji yang tidak ditepati. Tetapi ada kegagalan lain dalam pencapaian yang diharapkan. Padahal mereka telah berjuang memenangkan Jokowi dalam Pilpres. Juga merelakan diri seperti sapi yang ditarik masuk ke Istana Negara ketika Papua bergejolak dengan harapan ada tujuan praktis yang bisa dicapai. Kekecewaan mereka itu tidak mewakili rakyat Papua, melainkan mewakili pribadi dan kelompok mereka. Dan tipe manusia seperti itu adalah tipe manusia pragmatis.

Pragmatis adalah sebuah konsep yang lebih mementingkan sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaat. Jadi, manusia Papua yang kecewa karena tidak ada menteri orang Papua adalah manusia Papua yang lebih mementingkan hasil akhir ketimbang nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Papua. Itu sebabnya, mereka kecewa ketika figur dalam kelompok mereka tidak dipanggil menjadi menteri. Tujuan politik praktis mereka adalah menteri. Terlalu rendah untuk menyelesaikan beragam kasus di Papua.

Kelompok ini seharusnya belajar soal hasil kerja menteri dari Fredy Numberi dan Yohana Yembise. Ketika mereka berdua jadi menteri, tidak ada progres di Tanah Papua. Bahkan tidak satu pun nilai-nilai masyarakat Papua yang berhasil diperjuangkan.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

Bagi masyarakat Papua di luar kelompok orang Papua pragmatis agar tidak larut dalam kekecewaan terhadap ketiadaan menteri orang asli Papua. Tetapi bijaknya itu mengkonsolidasikan diri dalam kelompok ideologis yang lain.

Mengapa? Sebab penulis merasa pesimis dengan kabinet jilid II.

Kabinet jilid II tidak menggambarkan kabinet yang terdiri dari putra-putri terbaik Indonesia. Sebagaimana dikatakan Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi sekaligus Juru Bicara Presiden, Mochammad Fadjroel Rahman dalam menanggapi protes ketiadaan orang Papua dalam kabinet menteri.

“Presiden menyatakan bahwa ini adalah mewujudkan kabinet yang terdiri dari putra-putri terbaik Indonesia,” kata Fadjroel kepada CNNIndonesia.com, Rabu, (23/10/2019). Masih menurut dia bahwa itulah wajah Indonesia.

Tetapi kabinet tersebut adalah kabinet politik balas budi. Hal ini dapat dilihat dari komposisi menteri yang dipilih Jokowi. Semuanya adalah timsus presiden. Juga pebisnis kelas kakap. Dua bagian ini yang membuat saya pesimis kalau kabinet tersebut dapat menyelesaikan beragam masalah di dalam rumah tangga Ibu Pertiwi. Apalagi akar masalah Papua.

Oleh karena itu, penulis sarankan kepada rakyat Papua dan kelompok-kelompok pragmatis di Tanah Papua untuk mengkonsolidasikan diri dalam kelompok oposisi negara. Sebab negara tidak akan membalas budi kepada orang Papua, tetapi terus memaksa orang rakyat Papua yang harus berterima kasih kepada negara dengan adanya Otsus bagi Papua.

Kelompok oposisi tersebut ialah ULMWP, KNPB, WPNA, Garda-P, dan lain-lain. Serta bagi mahasiswa dan pemuda Papua, bisa mengkonsolidasikan diri dalam Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (SEPAHAM).

Jika tidak, baik kelompok-kelompok ideologis maupun pragmatis di Tanah Papua akan terseret dalam lautan kekecewaan yang sengaja diciptakan negara. Lalu menunggu momen untuk bicara beragam persoalan Papua ketika ada momentum politik atau respon kasus. Untuk menunggu momentum, bisa jadi adalah menunggu waktu Otsus berakhir. Dan ketika hal itu terjadi, maka sudah tentu kelompok-kelompok ideologis yang bicara serta praksisnya sedikit revolusioner akan mengalami nasib yang sama dengan kelompok Papua pragmatis, menuai kekecewaan.

Kenapa bisa? Karena opini tentang Otsus berakhir, Papua referendum telah terbentuk di kelompok Papua pragmatis dan rakyat awam politik. Sedang opini tersebut tidaklah benar. Namun apakah Otsus dilanjutkan atau tidak? Itu adalah pertanyaan yang masuk akal.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Dan jawaban saya bagi pertanyaan tersebut adalah Otsus tidak akan dilanjutkan karena telah dianggap gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Sementara negara akan memberikan referendum setelah Otsus berakhir adalah sesuatu yang mustahil bagi negara. Apalagi di dalam kabinet ada Mahmud MD sebagai Menko Polhukam yang beberapa bulan lalu menyatakan bahwa Papua tidak bisa referendum. Juga mengingat beban utang luar negeri Indonesia telah menembus 5000 triliun.

Asumsinya, bila Otsus diperpanjang akan menambah beban utang negara. Padahal ekonomi negara lagi terpuruk. Agar negara tidak hancur karena beban utang, maka Papua yang kaya akan sumber daya alamnya harus tetap menjadi bagian dalam keluarga Ibu Pertiwi supaya hartanya bisa menjamin rumah tangga Ibu Pertiwi. Bagian ini bukan lagi rahasia.

Dan untuk menjaga Papua tetap menjadi bagian dari Ibu Pertiwi adalah tugas Menhan, Prabowo Subianto karena dianggap memiliki kemampuan keamanan negara serta pengalaman militer terbaik di dunia. Sementara untuk menghancurkan gerakan sipil pembebasan Papua merdeka adalah tugas Mendagri, Tito Karnavian.

Salah satu strategi Tito Karnavian untuk menghancurkan gerakan sipil pembebasan Papua merdeka adalah dengan memekarkan Papua menjadi 7 provinsi dan membentuk opini Otsus gagal karena korupsi yang dilakukan pejabat Papua, bukan karena negara tidak menghargai Otsus. Guna cipta opini tersebut, Mendagri akan mengaudit uang Otsus.

Sedangkan untuk menggagalkan loby Benny Wenda Cs di luar negeri, Retno Marsudi masih dianggap memiliki kemampuan dengan capaian mengamankan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB. Walau ada ribuan pelanggaran HAM di Tanah Papua dan belum ada satupun yang diselesaikan.

Jadi, orang Papua pragmatis janganlah kecewa dengan Kabinet Jokowi Jilid II. Karena kabinet tersebut selain kabinet politik balas budi, kabinet tersebut pula adalah Kabinet Security bagi Papua. Sehingga bijaknya itu, orang Papua baik yang awam politik dan yang pragmatis harus mengkonsolidasikan diri ke dalam kelompok ideologis untuk membentuk negara sendiri. Biar keinginan dan capaian yang gagal bisa terealisasi di negara yang dibuat sendiri.

)* Penulis adalah wakil ketua I SONAMAPPA

Artikel sebelumnyaMahasiswa Eksodus Asal Paniai Kecewa Tak Ditemui Bupati
Artikel berikutnyaNZ Berupaya Meningkatkan Hubungan Dengan Militer Pasifik