Mengangkat Kembali Pemikiran Bung Hatta untuk Resolusi Konflik Papua

0
3639

Oleh: Pares L. Wenda)*

“Bangsa Papua tidak melawan masyarakat Indonesia, Pemerintah dan TNI/Polri” (Moto Komite Nasional Papua Barat dan ULMWP)

Bangsa Indonesia perlu mengetahui dengan jelas dan wajib tahu bahwa rakyat dan bangsa Papua tidak melawan rakyat Indonesia, pemerintah dan aparat keamanan Indonesia per individu.

Kami melawan sistem penindasan, sistem yang merusak bangsa Indonesia secara moral di mata masyarakat Internasional dan di mata masyarakat Indonesia sendiri, di mata masyarakat Papua dan di hadapan Tuhan. Pernyataan inilah yang menjadi moto hari ini bagi pejuang Papua Merdeka utamanya seluruh gerakan perjuangan yang tergabung di dalam KNPB dan ULMWP.

“Tuhan tidak akan pernah menyesal kirim kita ke neraka, ketika di tangan kita penuh dengan lumuran darah manusia, ketika teriakkan darah anak-anak bangsa Papua dan anak-anak bangsa Indonesia ditujukan kepada kita di akhirat nanti oleh Tuhan”.

ads

Secara moral, banyak anak bangsa Indonesia dan anak bangsa Papua yang gugur demi mengerjakan perintah sistem yang membunuh masa depan mereka atas nama negara. Di mana sistem itu dimulai sejak aneksasi wilayah New Guinea Barat yang dipaksa masuk ke dalam wilayah Indonesia oleh Soekarno bersama founding fathers lainnya dengan menentang pandangan realistis Bung Hatta. Memasukan wilayah New Guinea Barat ke dalam Indonesia merupakan malapetaka dan merusak moral bangsa Indonesia.

Founding fathers bangsa Indonesia Bung Hatta telah berkali-kali bahkan dalam pertemuan Konferensi Meja Bundar mengusulkan bahwa New Guinea Barat sekarang Papua Barat tidak boleh masuk wilayah Indonesia. Apa dalil Bung Hatta waktu itu:

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei – 19 Agustus 1945.

Menurut Hatta, memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.

“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja, tetapi (kepulauan) Solomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.

Bung Hatta juga menolak pendapat Muhammad Yamin hubungan Papua dengan sejarah Indonesia di masa lalu pra Kemerdekaan 1945. Hatta menentang pandangan Yamin yang bersikukuh bahwa Papua bagian dari Indonesia sejak jaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu omong kosong.

“Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,” kata Hatta.

Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah ini – yang kini menjadi negeri Malaysia sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua. Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

“Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” ujar Hatta, Martin Sitompul dalam Ketika Hatta Menolak Papua.

Pendapat Bung Hatta ini benar jika klaim BPUPKI waktu itu memasukan semua wilayah eks-koloni Belanda bagian dari wilayah Indonesia, mengapa Suriname tidak dimasukkan sebagai bagian dari wilayah NKRI? Singapura, Malaysia dan Brunei Darusalam tiga wilayah Melayu eks-jajahan Inggris tidak membentuk satu negara, mereka justru membentuk negara sendiri-sendiri, mengapa di wilayah Pasifik seperti Australia, PNG, New Zealand adalah wilayah jajahan Inggris, tetapi mereka tidak membentuk negara menjadi satu negara, tetapi mendeklarasikan negara sendiri-sendiri?

Artinya, Bung Hatta benar dalam konteks ini, dua bangsa eks-jajahan yang sama membentuk dua negara apa salahnya. Justru kedua negara dalam relasi sesama bangsa eks-jajahan yang sama membentuk kekuatan ekonomi baru dan di bidang lain untuk bersama-sama membangun bangsanya sendiri-sendiri dan saling mendukung satu sama yang lain. Dan apakah ada pertentangan yang keras antara dua negara eks-jajahan yang sama antara Singapura dan Malaysia? Sebagai wilayah jajahan Inggris, sejauh ini tidak, justru saling mendukung. Bahkan kemajuan yang mereka capai jauh melampaui bangsa-bangsa lain se-Asia Tenggara. Baik Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam. Lalu, apa yang salah antara Indonesia dan Papua menjadi dua negara eks-jajahan Belanda?

Apakah Indonesia akan disalahkan dengan melepaskan Papua menentukkan nasibnya sendiri? Saya kira tidak. Justru masyarakat internasional, masyarakat Papua, bahkan Tuhan sekalipun sangat bangga dengan Indonesia sebagai negara Islam yang demokratis di dunia, yang berani memutuskan untuk melepaskan Papua?

Kalau saja, hari ini Bung Hatta masih ada, dia pasti menentang kekerasan dan pendekatan keamanan yang berlebihan dan terus saja terjadi di Tanah Papua, apalagi kasus terakhir menelan korban masyarakat sipil di Wamena dan Kota Jayapura pada 23 September 2019 lalu.

Pertumpahan darah dari tahun ke tahun di Papua sejak integrasi hingga belakangan ini, tidak hanya bangsa Papua yang menjadi korban, tetapi anak-anak bangsa Indonesia yang mempunyai potensi menjadi pemimpin bangsa Indonesia di kemudian hari terus berguguran di atas Tanah Papua. Karena keputusan founding fathers Indonesia yang tidak merespons seorang Bung Hatta. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia hari ini, Papua ibarat duri dalam daging masyarakat Indonesia.

Duri dalam daging bangsa Indonesia ini haruslah secara sadar mengevaluasi kembali perjalanan bangsa Indonesia. Catatan sejarah Bung Hatta ini menjadi penting bagi generasi anak muda bangsa Indonesia, dan pemimpin nasional yang memimpin pemerintahan Indonesia sekarang. Pemerintah tidak akan disalahkan oleh siapapun, karena melepaskan Papua sama dengan mengeluarkan duri dalam daging. Alasannya jelas mengapa Papua harus dilepaskan? Sudah ada bukti dan fakta sejarah perdebatan founding fathers republik ini.

Artinya ini adalah distori sejarah, warisan sejarah kelam, mengorbankan anak-anak emas bangsa Indonesia dan anak-anak emas bangsa Papua adalah dosa bangsa, dan sampai kapan pun dua bangsa ini pasti dan akan terus berkonflik sampai berdarah-darah secara politik. Ini merupakan satu hal yang tidak penting dan konyol.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Hari ini pemuda bangsa Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan atau non-government organization, di seluruh Indonesia bersama-sama mengambil sikap tegas dalam isu kemanusiaan dan mengambil sikap dan posisi Bung Hatta yang secara realistis tanpa pertumpahan darah baik di pihak Papua dan Indonesia. Dia seorang diri mengambil posisi walaupun tidak didengar suaranya oleh BPUPKI waktu itu, tetap berdiri dalam pandangannya tentang Papua hingga akhir hayatnya. Mungkin karena itulah seorang musisi legendaris Indonesia Iwan Fals menciptakan lagu tentang Bung Hatta seorang proklamator tercinta. Pemikiran Bung Hatta dengan mencermati kondisi riil sekarang, pemikiran dan pendirian Bung Hatta tentang Papua sangat relevan dalam penyelesaian resolusi konflik Papua.

Setidaknya di kampus-kampus, Masjid, Gereja, KNPI, GMKI, HMI, partai politik, media elektronik dan media sosial diskusi tentang Papua terutama pemikiran Bung Hatta ini sangat perlu diseminarkan, lalu direkomendasikan kepada pemerintah. Karena pemerintah yang demokratis dan juga partai oposisi pemerintah saya pastikan dapat mendengar suara rakyatnya. Negara manapun yang namanya negara demokrasi, kedaulatan penuh ada di tangan rakyat, dan pemerintah adalah hambanya rakyat.

Sama seperti rakyat Amerika lakukan waktu perang Vietnam versus Amerika, masyarakatnya menentang kebijakan politik Amerika, dan rakyat menolak perang Vietnam dan perang Vietnam yang mengorbankan serdadu Amerika dan serdadu Vietnam yang luar biasa itu, akhirnya dihentikan oleh pemerintah Amerika. Imperialisme pemerintah Amerika dihentikan oleh masyarakat sipil Amerika. Kesadaran ini hendaknya dibangun. Tujuannya agar Indonesia kembali mengevaluasi perjalanan bangsa ini dalam jangka panjang dalam penyelesain masalah Papua.

Pemimpin Nasional hari ini jangan lagi mengorbankan anak bangsa dikirim ke Papua hanya untuk menggugurkan mereka di medan pertempuran dengan TPNPB. Ingat, mereka juga mempunyai anak istri, siapa yang akan menjamin kelangsungan hidup mereka, contoh kecil paman saya, Yoten L. Wenda ditembak mati oleh TPNPB di perbatasan RI-PNG di Wutung pada tahun 1980-an, walaupun paman saya ini, dimakamkan di TMP Zipur Waena Jayapura, tetapi anak satu-satunya hari ini telah menjadi gila, dan gelandangan, tidak terurus, ibu meninggal. Artinya negara tidak selamanya hadir dalam mengurus keluarga dari istri dan anak dari seorang pahlawan demi mempertahankan negara NKRI. Mungkin seperti ini banyak di luar sana yang tidak diketahui publik.

Ingat bahwa memasukan Papua ke dalam Indonesia bukanlah warisan pemerintahan hari ini, tetapi warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan terdahulu, yang terus akan menjadi duri dalam daging, siapa pun Presiden Indonesia yang memimpin negara ini di masa depan.

Fakta lain hari ini, nasionalisme ke-Papua-an yang bertumbuh di kalangan generasi muda Papua sekarang, bertumbuh secara alami, mereka tidak mengikuti proses sejarah masa dimana Papua dimasukan ke dalam Indonesia, tetapi nasionalisme ke-Papua-an dalam tubuh generasi muda Papua hari ini tumbuh secara alami dengan perjalanan 50 tahun lebih bersama Indonesia. Mereka belum merasa menjadi bangsa Indonesia hingga saat ini, tetapi mereka ingin menjadi bangsa Papua. Di satu sisi mereka mengaminkan pandangan Bung Hatta sebagai bangsa Melanesia, tetapi bukan hal ini yang menjadi hal utama, melainkan yang utama dan terutama adalah realita kehidupan bersama bangsa Indonesia selama lebih dari 50 tahun ini membuat mereka berkeinginan bulat untuk memisahkan diri dari Indonesia. Apakah itu salah? Saya kira tidak juga.

Ini bukan juga soal kebijakan nasional tentang Otsus, uang Otsus, tentang pembangunan, atau tentang kehidupan sosial mereka, atau interaksi dengan bangsa Indonesia, mereka juga tidak merasa bermusuhan dengan bangsa dan rakyat Indonesia, mereka hidup damai bersama saudara-saudara Nusantara di Papua dan karena itu mereka tidak pernah bermasalah dengan masyarakat Indonesia di Papua dan di seluruh Indonesia, mereka justru tidak setuju dan melawan sistem negara yang menindas mereka, karena itulah generasi muda hari ini ingin memisahkan diri dari Indonesia, penindasan menggunakan kekuatan negara inilah yang mereka lawan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Selama lebih dari 50 tahun itu pula tidak mengubah posisi rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia. Sejumlah kebijakan nasional untuk membangun Papua dan mengubah pola pikir mereka untuk rechange nasionalisme ke-Papua-an ke dalam nasionalisme Indonesia tidak berubah, justru sebaliknya terus membangkitkan nasionalisme ke-Papua-an. Itu artinya seberapa pun nilai rupiah atau dollar yang dikirim ke Papua, mereka akan tetap menuntut penentuan nasib sendiri.

Dengan demikian, menjadi penting pandangan Bung Hatta dan jika saja pandangannya di dengar oleh founding fathers lainnya, Indonesia di mata masyarakat Papua dan masyarakat internasional tidak terjadi seperti saat ini, justru kedua bangsa ini hidup dengan relasi perdagangan yang kuat, harmoni dan saling melengkapi.

Indonesia harus berani mengambil posisi untuk membuat pilihan dengan dua opsi yang ada saat ini, yaitu opsi referendum dan opsi dialog. Keduanya adalah sarana yang dipakai untuk mengakhiri konflik Papua.

Kaledonia Baru akan melaksanakan referendum ke dua, demikian juga dengan Irlandia. Bougainvile akan melaksanakan referendum dari PNG. Di kawasan ini tentu saja masyarakat internasional akan bertanya, bagaimana sikap Indonesia terhadap Papua? Indonesia akan memberikan pilihan dialog atau referendum? Pilihan ini ada di tangan kepemimpinan nasional saat ini.

Indonesia jangan alergi, jangan juga merasa direndahkan oleh bangsa Papua. Toh Indonesia mempunyai pengalaman dijajah oleh Belanda, betapa sakitnya hati ini ketika dijajah, kira-kira perasaan terjajah yang dulu kamu rasakan itu juga yang kami rasakan hari ini.

Jadi orang tua kami melahirkan kami dalam perasaan terjajah, kami besar dan bertubuh dalam perasaan terjajah, kami matipun dalam perasaan terjajah. Siklus ini tidak akan berubah selama pemerintah dan rakyat Indonesia secara arif dan bijaksana memikirkan opsi penyelesaian masalah Papua secara inklusif yang bermartabat, dan yang penting atas penyelesaian Papua itu. Nantinya tidak ada orang secara pribadi atau negara yang merasa dirugikan. Tetapi semua merasa terhormat di mata dunia, masyarakat Indonesia, Papua dan terutama kepada Tuhan sebagai orang beriman dan negara yang mengakui adanya Tuhan sesuai agama dan keyakinan kita masing-masing.

Akhirnya, penulis tetap yakin dan percaya bahwa Indonesia negara besar, orang-orangnya juga brilian, dan Indonesia saat ini sedang berpikir untuk bersaing dalam berbagai hal sesuai kemajuan saat ini dengan bangsa-bangsa lain. Dalam kondisi seperti ini Papua ibarat duri dalam daging. Di satu sisi, Indonesia mau bangkit, tetapi Papua terus bergejolak, segala energi bangsa ini dikuras lagi dengan masalah Papua.

Oleh karena itu, penulis mengajak para intelektual, para cendekiawan Indonesia tingkatkan dan terus membagi pekerjaan rumah Indonesia yang belum selesai ini, menjajaki pandangan dan pendirian Bung Hatta sebagai resolusi konflik bagi kedua bangsa: Papua dan Indonesia.

)* Penulis adalah aktivis kemanusiaan, ketua Pemuda Gereja-Gereja Baptis se-Dunia mewakili Papua, Indonesia

Artikel sebelumnyaKPMY: Bantuan Studi Pemda Yahukimo Tersalur Sesuai Petunjuk
Artikel berikutnyaSketsa Papua Dalam Pandangan Jokowi dan Gus Dur