Sketsa Papua Dalam Pandangan Jokowi dan Gus Dur

0
1527

Oleh: Paskalis Kossay)*

Jokowi dan Gus Dur memandang Papua dalam perspektif yang berbeda. Jokowi memandangnya dari aspek politik dan keamanan negara. Sedangkan Gus Dur melihatnya dari sisi sosial dan kemanusiaan.

Dua presiden Indonesia yang datang khusus menyaksikan indahnya Papua dalam cakrawala keajaiban karya Tuhan. Gus Dur menyaksikannya semenjak sang surya sedang memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Sedangkan Jokowi menyaksikannya sejak sang surya sedang menyusut sinarnya ke ujung batas barat.

Hal ini menunjukan pada kita orang Papua bahwa cara memandang kedua pemimpin ini terhadap permasalahan Papua berbeda. Yang satu berorientasi pada kehidupan masa depan, sedangkan yang satu masih berorientasi pada masa lalu.

Karena itu, bisa kita buktikan dimana Gus Dur banyak membuat terobosan monumental yang berorientasi kemajuan politik kemanusiaan. Menggagas Otonomi Khusus sebagai langkah politik perlindungan dan penghormatan hak dasar Orang Asli Papua, termasuk pengembalian nama Papua dari Irian Jaya. Mengijinkan orang Papua boleh mengungkapkan aspirasi politik melalui Mubes dan Kongres II pada tahun 2000, termasuk membolehkan bendera Bintang Kejora dikibarkan tetapi tidak dijadikan sebagai lambang kedaulatan negara.

ads
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sementara itu, Jokowi masih mempertahankan kebijakan politik masa lalu dalam menangani pembangunan Papua. Masih mempratekan pendekatan keamanan yang bersifat represif, militeristik, membungkam akses dan ruang demokrasi serta kebebasan berekspresi. Demikian pula prosentase pelanggaran HAM semakin meningkat tajam. Namun Jokowi tidak perduli dengan berbagai masalah HAM dan pertentangan politik. Jokowi malah lebih konsen pada terobosan pembangunan infrastruktur berupa jalan, jembatan, dan pemekaran wilayah.

Perbedaan tipe kepemimpinan terhadap Papua dari kedua Presiden tersebut memberikan gambaran kepada kita semua bahwa Papua masih dalam sketsa rawan dalam perspektif Indonesia. Sketsa ini bisa diubah-ubah tergantung cara pandang siapa pun presidennya. Maka rakyat Papua-lah menjadi korban akibat perbedaan cara pandang presiden ini.

Otonomi Khusus sebagai kebijakan negara yang diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia itu pun tidak bisa dipercayai dan dihormati. Karena memiliki sketsa yang berbeda-beda, maka amanat Otsus itu tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dalam kebijakan negara membangun Papua. Karena itu, implementasi di lapangan terjadi benturan keras dirasakan rakyat Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Hak-hak dasar Orang Asli Papua mulai dirampas, dimonopoli oleh pihak lain yang bukan haknya. Negara dalam hal ini presiden membiarkan saja supaya praktek itu merajalela hingga Orang Asli Papua harus menjadi pada posisi marginal.

Pratek politik misalnya, posisi kursi legislatif mulai dari tingkat II, tingkat I sampai pusat dikuasai bukan Orang Asli Papua. Demikian pula di bidang ekonomi, mulai dari pasar tradisional sampai pasar modern dikuasai oleh masyarakat Orang Asli Papua. Belum di bidang lain lagi, hampir semua aspek kehidupan sudah dikuasai masyarakat non asli Papua.

Otonomi Khusus mengamanatkan adanya proteksi, penghormatan dan pemberdayaan bagi Orang Asli Papua dalam seluruh aspek kehidupan. Namun tindakan konkrit dalam implementasi amanat Otsus ini belum optimal dirasakan oleh Orang Asli Papua. Pemerintah seharusnya duduk bersama mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus itu dengan baik.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Tetapi Presiden Jokowi justru mengabaikan keberadaan Otsus tersebut, kemudian merespon banyak janji kepada masyarakat Papua, untuk membangun jalan, pemekaran daerah dan lain-lain. Bangun jalan dan pemekaran daerah memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah pembangunan manusia Papua-nya. Kerangka konsep dasar pembangunan manusia Papua tersebut sudah ada dalam undang-undang Otsus. Kenapa undang-undang ini tidak dijadikan sebagai dasar kebijakan membangun Papua. Hal ini menjadi pertanyaan besar kita bersama.

Jokowi malah bergerak sendiri di luar dari sketsa Otsus. Berarti secara konstitusional Jokowi layak diminta pertanggungjawaban atas sejauhmana konsistensi pelaksanaan Otsus Papua. Karena itu, lembaga negara yang berfungsi pengawasan harus bertindak, meminta pertanggungjawaban pemerintahan presiden Jokowi terhadap keberhasilan pelaksanaan Otsus Papua.

)* Penulis adalah politisi Papua

Artikel sebelumnyaMengangkat Kembali Pemikiran Bung Hatta untuk Resolusi Konflik Papua
Artikel berikutnyaPakar HAM PBB Serukan Negara Mereparasi Kolonialisme dan Perbudakan