Harga Mati yang Rasis

Catatan Refleksi

0
1456

Oleh: Bernard Koten)*

Kilas Balik Kejadian Rasisme

Kebanyakan dari kita sudah tahu secara baik dan benar kejadian pada 15-18 Agustus 2019 silam di Kota Surabaya dan Malang. Pasca aksi demonstrasi dari Mahasiswa Papua di Kota Surabaya dan Malang yang menolak New York Agreement (Perjanjian New York), 15 Agustus 1962. Perjanjian ini diyakini sebagai salah satu ‘kran’ yang membuka persoalan atau pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hampir setiap tahun, Mahasiswa Papua (di Papua dan Luar Papua) dan masyarakat yang kritis terus melakukan aksi turun jalan dan diskusi terkait dengan hal ikhwal Perjanjian New York 1962 tersebut.

Pada tahun 2019, Mahasiswa Papua di beberapa daerah yang dimotori oleh Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi damai penolakan Perjanjian New York tersebut. Ternyata aksi penolakan tersebut berbuntut panjang sampai saat ini. Pada tanggal 16 Agustus 2019 di Asrama Mahasiswa Papua Jl. Kalasan No. 10, didatangi oknum TNI. Oknum ini menggedor pintu gerbang asrama sambil mengucapkan kata-kata “anjing, monyet, babi, binatang”. Beberapa saat kemudian datang puluhan anggota Ormas lalu melempari Asrama dengan batu. Massa juga menyanyikan yel-yel usir Mahasiswa Papua[1].

Peristiwa yang dialami oleh Mahasiswa di Kota Surabaya dan Malang ini menjadi viral dan berdampak ke daerah asal mahasiswa yakni di Tanah Papua. Mahasiswa, masyarakat dan publik di Tanah Papua pun bereaksi. Sepanjang pertengahan Agustus (19 Agustus) sampai dengan September 2019, Mahasiswa dan masyarakat di Tanah Papua melakukan aksi mengecam dan mengutuk tindakan rasis tersebut. Publik di Tanah Papua mengharapkan adanya tindakan hukum yang jelas bagi para pelaku rasisme di Kota Surabaya dan Malang.

ads

Media tulisan dan audio visual lokal Papua, luar Papua (Jakarta) dan Internasional juga mendukung aksi perlawanan rasisme dari Tanah Papua. Berita tentang penolakan terhadap tindakan rasisme, pengungkapan dan proses hukum terhadap para pelaku rasisme cukup menjadi topik hangat yang dibahas. Hampir semua daerah di Tanah Papua melakukan aksi turun jalan menolak, mengutuk dan mendesak pelaku rasisme segera ditangkap dan diadili.

Aksi turun jalan di beberapa daerah di Tanah Papua ada yang berujung kerusuhan. Aksi yang berujung rusuh seperti di Kota Jayapura, Sorong, Wamena, Nabire, Waghete, Fakfak, terjadi pasca aksi turun jalan pertama kali. Sedangkan di Kota Manokwari, aksi pertama langsung berujung rusuh. Terlihat beberapa bangunan di tengah Kota Manokwari terbakar. Aksi turun jalan selanjutnya dilakukan lagi di beberapa kota lainnya dan yang pertama kali melakukan aksinya. Di Kota Wagehte (Deiyai), Enarotali (Paniai), Merauke, Bintuni, Dekai (Yahukimo), Wamena (Jayawijaya), Serui (Kepulauan Yapen), Byak.

Harga Mati Berujung Rasisme

Aksi turun jalan secara berkelanjutan dan besar di Tanah Papua sepertinya mengganggu para penegakan hukum di Negara Indonesia untuk memulai proses terhadap para pelaku rasisme di Kota Malang dan Surabaya serta kota-kota lainnya. Pada 3 September 2019, www.cnnindonesia.com merilis beritanya tentang para pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua di Kota Surabaya dan Malang. Judul beritanya “Tersangka Rasisme Di Surabaya Minta Maaf Kepada Warga Papua[2]”.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Salah satu pelaku rasisme inisial SA menyampaikan permohonan maafnya ke publik melalui media yang ada.

“Seluruh saudara-saudaraku yang berada di Papua, saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila perbuatan yang tidak menyenangkan. Saya atas nama personal dan mewakili warga Surabaya, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara Papua di tanah air Indonesia atas perbuatan yang saya lakukan. “Bagi saya NKRI harga mati. Surat pernyataan ini saya buat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari pihak mana pun

Lanjut dari isi berita tersebut adalah SA kini telah ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Jatim. Tak hanya itu, ia juga telah resmi ditahan di Mapolda Jatim, Surabaya, hingga 20 hari ke depan. Di media lainnya, www.liputan6.com merilis beritanya bahwa salah satu dalang atau Koorlap dalam tindakan rasisme Tri Susanti juga ditetapkan menjadi tersangka. Tri Susanti adalah Wakil Ketua Ormas FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-POLRI)[3]. Informasi ini juga sama halnya dirilis oleh trito.id. Hal yang sama dilakukan oleh Tri Susanti adalah meminta maaf atas tindakannya tersebut

 “Kami atas nama masyarakat Surabaya dan dari rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf apabila ada masyarakat atau pihak lain yang sempat meneriakkan itu. Kami hanya ingin menegakkan Bendera Merah-Putih putih di sebuah asrama yang selama ini mereka menolak memasang. Jadi, ini bukan agenda yang pertama kali”

Dari pengakuan dan cerita sepintas di atas, ada beberapa hal yang bagi saya perlu dijernihkan.

Pertama, patut memberikan apresiasi bahwa tersangka berani mengaku kesalahannya dan meminta maaf kepada publik Papua, khususnya Mahasiswa Papua. Selain itu, pihak penegak hukum pun bertindak untuk menangkap para pelaku rasisme tersebut.

Kedua, permintaan maaf dan proses hukum (penetapan dan penangkapan pelaku rasisme) itu baru terjadi ketika suara penolakan secara besaran di Tanah Papua terjadi. Saya bisa berandai-andai, seandainya tidak ada suara (manusia Papua) yang menolak tindakan rasis tersebut berarti, para penegak hukum (Negara Indonesia) pasti diam dan menganggap hal itu biasa saja. Karena dari beberapa pengalaman yang sudah terjadi, tindakan dan ujaran rasisme sudah dialami dan diterima oleh Orang Asli Papua (tapi waktu itu tidak ada aksi tolak secara besar seperti saat ini). Saya mengutip apa yang disampaikan oleh Andy Irfan Junaedi, Sekjen Federasi KontraS dalam acara Mata Najwa, Nyala Papua, “ini adalah salah satu kejadian dari sekian kejadian yang sering terjadi di Asrama Kalasan Surabaya”.

Ketiga, menarik bahwa pernyataan yang sama dari kedua tersangka di atas bahwa mereka lakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua karena terlalu mencintai Negara Indonesia.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Untuk pernyataan ini, ada beberapa pertanyaan konyol yang muncul di benak saya. Apakah wujud mencintai Negara Indonesia harus dengan sikap membenci dan melakukan tindakan rasis terhadap sesama yang lainnya? Kalau terkait dengan tidak dipasangnya Bendera Merah Putih di Asrama Papua, mengapa mereka (tersangka) tidak juga melakukan hal sama di asrama atau bangunan publik lainnya? Apakah bangunan lain juga sudah memasang Bendera Merah Putih? Saya teringat akan pernyataan dari Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam acara Mata Najwa, Masa Depan Papua.

“Membela NKRI itu bukan membela slogan, integritas wilayah tetapi membela sendi-sendi dasar republik ini, sendi-sendi dasar perikemanusiaan dan keadilan itu”

 Hukum Yang Masih Diskriminatif

Pasca aksi penolakan rasisme besaran di Tanah Papua, dimanfaatkan dengan baik oleh Negara Indonesia (Alat Negara). Negara bergerak untuk mulai melakukan penangkapan terhadap masa aksi di Tanah Papua. Pernyataan membela slogan Harga Mati harus dilakukan walaupun hukum yang sudah ditegakkan berpuluh tahun harus dilawan oleh Negara sendiri. Tuduhan – proses tuduhan atau kambing hitam – terkesan dengan paksa dilakukan oleh Negara terhadap kelompok masyarakat dan person orang asli Papua.

Menurut Negara Indonesia (Alat Negara) aksi yang berujung rusuh merupakan dalang dari kelompok atau orang tersebut. Alhasil, sekitar 42 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam aksi berakibat rusuh di beberapa daerah di Tanah Papua[4]. Selain itu, korban nyawa dan luka-luka pun cukup besar, baik itu dari masyarakat sipil maupun dari alat Negara sendiri.

Pada bagian ini saya memilih untuk membahas penegakan hukum yang diskriminatif yang terjadi di Tanah Papua bagi Orang Asli Papua. Saya tidak ahli hukum dan tidak belajar hukum seperti teman-teman mahasiswa di fakultas hukum yang ada dimana saja. Saya hanya mengikuti beberapa penjelasan yang saya dengar dan baca dari para advokat dan pegiat hukum yang saya kenal. Hampir semua pegiat hukum di Tanah Papua yang saya kenal menilai bahwa proses penangkapan yang terjadi di Tanah Papua (Agustus – Oktober 2019) tidak melalui sebuah mekanisme hukum yang benar dan tepat sesuai dengan KUHP.

Beberapa siaran pers yang dikeluarkan oleh para pegiat hukum dan advokat di Tanah Papua menjelaskan diskriminatif hukum tersebut. Penangkapan sewenang-wenang yang tidak mengikuti prosedur hukum, pemindahan tahanan yang tidak sesuai dengan proses hukum, tidak menangkap para pelaku yang sebenarnya membuat kerusuhan[5], tidak menangkap para pelaku pembunuhan yang sebenarnya dan beberapa pernyataan lainnya yang pada dasarnya mendiskriminasikan orang asli Papua dalam bingkai hukum NKRI.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Bicara penegakan hukum, saya mencoba melihat kejadian-kejadian sebelumnya, terkait dengan penanganan hukum dalam aksi demonstrasi di Tanah Papua. Saya beberapa kali terlibat dalam aksi damai turun jalan untuk menyuarakan persoalan ketidakadilan dan pelanggaran HAM serta Lingkungan di Tanah Papua. Kesannya bahwa aksi demo turun jalan dianggap oleh Negara sebagai bentuk menghanguskan Negara ini. Padahal aksi damai tersebut justru mengingatkan Negara Hukum (Pejabat Negara) ini bisa melihat dirinya dan berubah. Kesan saya bahwa para demonstran sepertinya dianggap sebagai penjahat atau teroris oleh Negara.

Untuk melawan hal ini, Negara menggerakkan alat negaranya dalam kekuatan besar. Tindakan ini berbeda dengan wilayah lain di Negara Hukum ini. Padahal apa yang disuarakan oleh Orang Asli Papua adalah memperjuangkan hak-haknya dan keadilan bagi tanah dan manusianya. Suara itu adalah hak azazi yang umum untuk semua manusia di seluruh dunia.

Kita tidak tahu sampai saat ini siapa pelaku sebenarnya dari aksi damai berujung rusuh dan menelan korban nyawa serta bangunan di beberapa wilayah di Tanah Papua. Masyarakat Asli Papua dan mereka yang sudah menyatu dengan tanah dan orang asli Papua akhirnya menjadi korban kepentingan dan nafsu penguasaan dari kelompok dan orang-orang tertentu. Karena mereka yang ditangkap sebenarnya bukan pelaku kerusuhan yang terjadi. Mereka yang ditangkap, ditahan juga merupakan korban kepentingan dan nafsu dari kelompok dan orang lain.

Proses penyelesaian kasus rasis sepertinya tidak akan berakhir. Pelaku rasis pun mungkin tidak akan berhenti. Di tengah kerusuhan, penderitaan orang asli Papua yang ditangkap sewenang-wenang, Negara mengundang berbagai tokoh orang asli Papua ke Istana Jakarta untuk meredam situasi. Dari pengakuan orang yang saya ikuti bahwa pernyataan yang dibacakan pada saat itu bukan dari isi hati yang diinginkan. Saya juga heran tidak ada satu pernyataan yang membahas tindakan rasis. Apakah sudah disetting oleh orang tertentu?

Hukum akhirnya tetap diberlakukan bagi mereka yang sudah ditangkap sewenang-wenang ini. Apakah para pelaku rasisme yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu diproses seperti mereka yang ada di Tanah Papua? Mungkinkah dialog yang bermartabat dengan melibatkan pihak ketiga dapat dilaksanakan demi mencari dan menentukan solusi permasalahan di Tanah Papua?

)* Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua

Referensi:

[1]Bdk. Siaran Pers LBH Surabaya

[2]Baca https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190903164442-20-427216/tersangka-rasisme-di-surabaya-minta-maaf-kepada-warga-papua

[3]Baca https://www.liputan6.com/news/read/4049275/polisi-tetapkan-tri-susanti-tersangka-rasisme-di-asrama-papua-surabaya

[4]Bdk. Laporan Koalisi Masyarakat Sipil (KoMaSi) Papua Untuk Semua

[5]Bdk. Siaran Pers yang dikeluarkan oleh Tim Kuasa Hukum dari KoMaSi Papua Untuk Semua.

Artikel sebelumnyaPemkab Yalimo akan  Salurkan Bantuan Studi Lewat Rekening
Artikel berikutnyaHarga Sirih di Pasar Pharaa Sentani Melambung Tinggi