Pendidikan Paniai: Antara Transformasi atau Trada-Formasi

0
1965

Oleh: Agustinus Kadepa)*

Saya berkeinginan untuk menulis catatan di awal bulan November 2019. Bulan ini mengingatkan masyarakat Paniai akan setahun lalu Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe melantik pemimpin baru di Kabupaten Paniai. Dua minggu kedepan (23 November) pasti akan merayakan ulang tahun pertama kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Paniai. Tentunya dalam perayaan ulang tahun tersebut ada upacara syukur atas setahun kepemimpinan dan atas berbagai program kegiatan yang sudah, sedang dan akan dilakukan sebagai upaya kerja keras dalam mencapai visinya.

Saya mengawali catatan ini dengan sebuah “isi pidato” pertama kepemimpinan. Kalimat itu berawal dari sambutan Gubernur Papua Lukas Enembe, sambil panggil Jhon Gobai yang adalah seorang lulusan S2 di Rusia dan sebelumnya pernah mendapat Juara Olimpiade Matematika mewakili Indonesia saat itu. Enembe berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya yakni Doktor bagi Jhon Gobai.

Tetapi, Bupati Paniai menyampaikan bahwa:

“Kalau Pak Gubernur sampaikan akan melanjutkan pendidikan Doktor, tetapi untuk membangun Paniai, saya membutuhkan orang pintar seperti Jhon Gobai, seperti Jhon jadi anak-anak Paniai yang kuliah di Rusia maupun Amerika, dan di tempat lain, saya akan panggil semuanya. Saya sudah anggarkan dananya, tahun depan kita panggil semuanya. Kita buat Lembaga Pendidikan Independen di Paniai, kedepan mereka akan ajarkan Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris. Semuanya akan berpusat di Paniai. Sehingga, ke depan anak-anak Paniai yang akan kuliah di Amerika, maupun negara lainnya langsung bisa dari sini, tidak perlu lagi repot-repot atau keluarkan biaya untuk urus sana-sini. Investasi manusia akan membuat kita bangga kalau anak kita sukses apalagi berkualitas, semua tes-tes keluar negeri maupun dalam negeri harus berfokus di Paniai, tidak boleh di tempat lain.”

ads

Pidato Bupati dalam setiap acara berbicara tentang membangun sumberdaya manusia (SDM) dan membangun ekonomi mandiri.

Dalam catatan ini, saya berkomentar lebih khusus pembangunan dalam bidang pendidikan di Paniai sebagai lahan mencetak manusia Paniai. Tentunya upaya pembangunan SDM telah dan sedang dilakukan berbagai langkah demi mewujudkannya, namun dalam upaya pembangunan SDM itu ada beberapa hal yang harus saya kritisi sebelum semuanya berlanjut hingga matahari terbenam agar menjadi pertimbangan selanjutnya.

Melihat Kondisi Pendidikan Paniai dari Dekat

Data jumlah peserta didik tahun ajaran 2017/2018, dari SD, SMP, dan SMA adalah 30.469 orang yang tersebar di 108 sekolah. Semuanya tersebar di semua sekolah yang ada di Kabupaten Paniai. Dari jumlah itu, jumlah masing-masingnya adalah 83 SD sebanyak 23.207 orang peserta didik, 16 SMP dengan jumlah peserta didik 3.999 orang, 6 SMA dengan jumlah peserta didik sebanyak 2.288 orang, dan 4 SMK dengan jumlah peserta didik 975 orang.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Paniai mendapat ranking ke 10 jumlah peserta didik terbanyak dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua, sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Paniai memiliki jumlah peserta didik yang amat banyak dan dapat dikatakan bahwa Paniai termasuk lumbung generasi penerus untuk Papua pada 10 – 15 tahun mendatang yang harus didik hingga menjadi manusia berkualitas.

Data ini bersumber dari data masing-masing sekolah yang telah diinput oleh kepala sekolah baik SD, SMP, SMA dan SMK melalui operator sekolah yang telah diberi tugas oleh Dinas Pendidikan guna memperlancar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan demi upaya penyesuaian menasionalisasi sistem pendidikan nasional termasuk sistem pendataan guru, siswa, dan perangkat lainnya.

Apakah jumlah peserta didik yang dimuat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Nasional sesuai dengan jumlah peserta didik yang saat ini ada di Kabupaten Paniai? Adalah pertanyaan yang harus dipastikan lebih awal agar dalam membangun SDM dapat diketahui secara kuantitas (jumlah yang pasti) dan juga supaya sasaran dalam pembangunan SDM terutama dalam mendidik anak Paniai dapat dipastikan, jelas dan terukur.

Dalam data lapangan, saya melihat beberapa kondisi sekolah yang amat memprihatinkan. Dari catatan lapangan yang dihimpun bahwa hampir 50% sekolah SD tidak (jarang) melakukan aktivitas belajar mengajar di sekolahnya. Meskipun ada sekolah yang melakukan aktivitas belajar, dapat dipastikan bahwa jumlah siswa yang belajar tak lebih dari 50 peserta didik dan diajar oleh guru tak lebih dari 5 orang guru dan guru yang mengajar lebih banyak berstatus Honorer.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dan berdasarkan kunjungan ke sekolah-sekolah di Paniai, dapat dibagi dalam tiga bagian dalam hal efektivitas belajar mengajar di sekolah. Yakni pertama, sekolah di ibu kota Kabupaten Paniai. Kedua, sekolah di pinggiran kota dan atau pinggiran danau Paniai, dan ketiga, sekolah di pelosok (daerah terluar dari ibu kota kabupaten).

Pertama, aktivitas sekolah di ibu kota Kabupaten Paniai. Terdapat sekitar 8 SD, 3 SMP, 2 SMA dan 3 SMK. Dari sekolah yang ada ini, gambarannya adalah hampir semua SD melakukan aktivitas belajar mengajar dengan baik, tetapi untuk SMP dan SMA yang ada di tengah kota, aktivitas belajar mengajar dilakukan diantara jam 8 hingga jam 12 siang. Banyak siswa SMP dan SMA yang selalu berada di jalan pada jam sekolah (jam 9-11 siang).

Kedua, aktivitas belajar mengajar di pinggiran kota dan atau pinggiran danau Paniai. Untuk sekolah-sekolah di pinggiran kota atau di pinggiran danau Paniai terdapat hampir 65 sekolah. Di pinggiran ini terdapat Sekolah Dasar (SD) paling banyak. Dari semua SD yang ada di pinggiran danau, memiliki banyak persoalan dalam aktivitas belajar mengajar. Ada 20-an sekolah tak melakukan aktivitas belajar mengajar akibat berbagai soal, ada juga sekolah yang melakukan aktivitas belajar mengajar, tetapi dengan jumlah guru yang terbatas (kurang dari 5 guru) dan ada sekolah yang aktif belajar ketika musim pencairan dana BOS.

Persoalan di atas bersumber dari beberapa hal misalnya, guru PNS saling berebut menjadi kepala sekolah, kepala sekolah tak pernah di tempat alias pindah alamat ke ibu kota kabupaten dan beralih tugas ke dinas-dinas tertentu, kepala sekolah (Dinas Pendidikan) tidak membayar gaji para honorer dan yang lebih parah adalah kepala sekolah yang harusnya bertugas di sekolahnya, terpaksa harus berkantor di warung internet (Warnet) demi menginput data sekolah (data guru, siswa, sarana, prasarana, dan lain-lain).

Sebelum saya menyampaikan alasan lain, selain matinya aktivitas belajar mengajar di sekolah, ketiga, adalah aktivitas belajar mengajar di daerah pelosok (daerah terluar dari ibu kota kabupaten), dapat dipastikan bahwa 90% sekolah baik SD dan SMP tak melakukan aktivitas belajar mengajar. Persoalannya sudah pasti sama seperti sekolah yang berada di pinggiran danau dan ibu kota kabupaten.

Alasan lain selain kelakuan kepala sekolah. Ada beberapa alasan yang kemudian menjadi pemicunya, yakni mulai dari bagaimana pelayanan Dinas Pendidikan terhadap sekolah-sekolah di Kabupaten Paniai. Bagaimana layanan terhadap nasip guru? Bagaimana urusan berkas guru (kenaikan pangkat dan lainnya? Bagaimana perlakuan Dinas Pendidikan (Manajer BOS) atas dana yang dianggarkan untuk sekolah (dana BOS, dan dana lainnya)? Bagaimana perlakuan Dinas Pendidikan terhadap nasip guru kontrak?

Beberapa pertanyaan ini menjadi bahan refleksi dalam melihat persoalan pendidikan di Paniai secara detail, dan matinya aktivitas pendidikan dan sampai saat ini tak ada dukungan masyarakat terhadap institusi sekolah yang hadir di masing-masing kampung. Inilah gambaran pendidikan antara kenyataan lapangan dan di dunia maya (dalam angka). Selanjutnya bagaimana nasip guru kontrak di Paniai?

Nasip Guru Kontrak di Kabupaten Paniai

Ternyata, ada guru yang namanya guru kontrak di Kabupaten Paniai. Status guru kontrak ini baru saya dengar sejak akhir tahun 2018, tepat bulan Desember. Beberapa guru di sekolah melakukan aksi di kantor Dinas Pendidikan akibat honor mereka tak dibayar. Hal yang sama juga dilakukan pada awal Juli 2019. Sekelompok Guru Kontrak itu memalang Kantor Dinas Pendidikan akibat gaji mereka dipotong sebagian oleh oknum tertentu dalam Dinas Pendidikan, kemudian dibayar utuh (secara diam-diam) setelah mendapat teguran pada pimpinan Dinas.

Status mereka adalah guru kontrak. Guru tersebut dikontrak dengan upah Rp1.000.000 yang dibayar tiga bulan sekali. Ternyata guru berstatus kontrak itu tak memiliki surat kontrak dari Dinas Pendidikan. Tak ada pengaturan soal hak dan kewajiban seorang guru kontrak yang tertulis sebagai landasan hukum bagi para guru (yang katanya guru kontrak). Dan dalam perekrutan menjadi guru berstatus kontrak juga tak memiliki batas waktu kontrak, sehingga satu permasalahan macetnya pendidikan diakibatkan oleh adanya pelaksanaan program pendidikan yang ambigu dan tak beraturan.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Barangkali aktivitas belajar mengajar di sebagian sekolah dilakukan oleh guru yang berstatus guru kontrak, dan sampai pada akhir tahun ini gaji mereka belum dibayar selama menjelang 6 bulan di tahun 2019. Besar harapan mereka akan nasipnya, menjadi perhatian karena selama ini Bupati dan Dinas terkait cenderung melakukan pembiaran terhadap para guru kontrak.

Bagaimana mungkin kita impikan guru yang berprofesi, berkarakter dan berkualitas, sementara guru yang tahan banting di lapangan tak diperhatikan nasip mereka? Marilah kita bertindak adil antara guru yang sudah ada dengan guru yang sedang diharapkan. Saat ini guru “Harapan” tak mengajar di Paniai. Selama setahun kepemimpinan ini, guru kontrak membantu melaksanakan tugas mengajar (meski tidak tercatat tugasnya), sedangkan Guru Idaman belum kerja dalam jalannya pendidikan di Paniai selama ini.

Untuk menjadikan guru berprofesi tentu membutuhkan satu tahun belajar pendidikan profesi guru (PPG). Untuk menuju pendidikan Paniai yang berkualitas kita masih membutuhkan setahun lagi (2021), jikalau tahun 2020, pemerintah daerah mengirim mahasiswa semester akhir dan alumni dari Fakultas Keguruan sebagaimana yang diwacanakan Bupati Paniai di media online www.jubi.co.id dan www.wagadei.com pada bulan Oktober kemarin.

Harusnya Dinas Pendidikan mengakomodir semua guru kontrak, mengarahkan dan memberi petunjuk serta kepastian akan nasip mereka agar dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru di sekolah, bukan membiarkan gurunya yang kemudian menimbulkan kecemburuan sesama guru dan antara guru lama dan guru baru yang prioritaskan nanti. Apakah guru lama (Guru Kontrak dan Honor) harus tinggalkan sekolah dan tunggu mereka selama satu tahun lagi?

Wacana Guru Mendapat Pendidikan Profesi (Karakter) di Surabaya

Bulan Oktober (21), Bupati Paniai mengatakan akan fokus kerja menyelamatkan tenaga guru dengan cara memberi para guru peluang pengabdian lapangan melalui sekolah karakter di Surabaya. Dan akan ditarik kembali di Paniai dengan jaminan guru kontrak selama 6 bulan dan akan dijadikan sebagai guru berNIP.

Untuk maksud itu, bupati memerintahkan Ikatan Peduli Pendidikan Paniai Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan se-Indonesia (IPPP-MKP se-Indonesia) untuk mendata mahasiswa yang sudah dan akan wisuda tahun 2019 agar disekolahkan di Sekolah Pembentukan Karakter (Profesi Guru) di Surabaya.

Di negara ini tak ada sekolah pendidikan karakter, apalagi di kota Surabaya, sama sekali tak ada. Kalaupun ada, karakter apa yang dapat diandalkan di Surabaya yang kemudian menjadi andalan negara ini? Kalau yang dimaksud Bupati tentang pendidikan profesi bagi guru dari jurusan pendidikan mungkin harus saya sampaikan prosedural mendapat pendidikan profesi guru yang disingkat PPG.

PPG dilakukan selama 1-2 tahun, diberlakukan bagi para sarjana pendidikan dan juga jurusan lainnya. Pendidikan profesi merupakan program pengganti Akta IV yang mulai tak diberlakukan sejak tahun 2015.

Bagi yang mendapat pendidikan profesi akan menambah gelar Gr di belakang nama guru tersebut diberikan karena dianggap sama seperti dokter. Berdasarkan Permendikbud Nomor 37 tahun 2017 pasal 4 bahwa syarat untuk menjadi peserta program PPG harus memenuhi syarat seperti: memiliki kualifikasi akademik S1, guru dalam jabatan atau PNS yang mendapat tugas mengajar yang sudah diangkat sampai dengan akhir tahun 2015, memiliki Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan terdaftar pada Dapodik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Oleh karena itu, pendidikan profesi sangat tepat bagi mereka yang non-sarjana pendidikan, sebagai upaya mendapat profesi sebagai guru serta bagi mereka yang menyelesaikan pendidikan D IV Pendidikan Guru. Pada dasarnya Program Pendidikan Profesi Guru dilakukan dalam rangka merekrut tenaga guru lebih banyak dan sebagai alternatif direkrut dari jurusan lain, upaya melegitimasi bagi sarjana non pendidikan agar setara dengan sarjana pendidikan (guru).

Soal pendidikan profesi ada di hampir semua kampus yang ada Fakultas Keguruan yang telah memiliki akreditasi baik (A dan B), sehingga yang terpenting adalah bagaimana menemukan format yang tepat dalam mendidik anak Paniai, mengorganisir semua guru yang ada, serta memberi arah pendidikan yang diharapkan dan memperbaiki sistem yang tepat.

Bila perlu untuk menemukan formula pendidikan dasar yang tepat, saya sarankan belajar dari Kabupaten Jayawijaya yang melalui Buku Paket Kontekstual Papua (BPKP) yang dikembangkan oleh Yayasan Kristen Wamena (YKW). Mereka telah mempersiapkan buku paket dan juga melalui Yayasan itu kembangkan guru guru yang mengajar, diberi pelatihan dan pendampingan serta mempersiapkan calon guru sesuai kebutuhannya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Satu hal lagi, kalau mau pendidikan maju dan kedepannya lebih baik, sekolahkanlah guru-guru non-sarjana pendidikan yang saat ini mengajar 5 – 10 tahun di SD, SMP dan SMA yang sudah mendapat NUPTK dan terdaftar di Dapodik karena program PPG diperuntukkan bagi mereka.

Saya mau sampaikan bahwa di negara ini tak ada Sekolah Karakter bagi guru. Yang ada adalah Pendidikan Profesi bagi Guru. Persoalan karakter, mestinya dikembangkan daerah tertentu, karena hak daerah untuk berkreatif dalam membangun karakter sesuai kebutuhan daerah setempat yang kemudian mendorongnya kedalam sistem pendidikan di daerah tersebut yang mana didukung oleh pemerintah dan masyarakat setempat karena demikianlah isi dari pada kurikulum tahun 2013 (dikembalikan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. Karakter apa yang mau dibangun? Apa materi ajar? Dan lain-lain) asal tak keluar dari lingkup sistem pendidikan nasional.

Pada dasarnya pendidikan karakter adalah sebuah panduan yang harus diaplikasikan dalam proses pendidikan yang hendak dilaksanakan.

Nah, membaca proses pendidikan saat ini Paniai mendidik karakter buruk. Mengapa demikian? Kantor Dinas Pendidikan tak disiplin, sistem layanan kependidikan amat ribet, hak sorang guru selalu ada pemotongan yang menimbulkan guru tak disiplin, sekolah tak disiplin, banyak curang dalam input data demi mendapat BOS dan lain sebagainya. Mestinya hal-hal inilah yang harus ditertibkan lebih awal.

Sangat setuju dengan penyataan Bupati Kabupaten Paniai tentang memecat guru yang tak aktif mengajar. Kapan akan dilakukan? Sejak www.anepjournal.com memberitakan 11 Desember 2018 hingga saat ini, belum ada reaksi.

Mungkin sebagai upaya membangun sistem pendidikan yang tepat, tetapi Dinas Pendidikan juga harus memberi jalan yang tepat dan sesuai bagi guru-guru serta memberi arahan yang jelas dalam mendorong pendidikan yang berkualitas.

Tentang Sekolah Unggulan

Dalam berbagai acara Bupati menyampaikan ingin kerja sama dengan Serikat Jesuit (SJ) untuk membangun SDM di Paniai dalam bidang pendidikan dan juga gandeng YPPK dan YPPGI. Kebijakan itu sudah dimulai di YPPGI dan Yayasan Indonesia Cerdas membangun Sekolah Unggulan sejak Juni 2019. Sekolah Unggulan dibuka di SD YPPGI Kepas Kopo.

Sekolah Unggulan bukan dibangun baru, SD YPPGI Kepas Kopo diganti menjadi SD Unggulan YPPGI Kepas Kopo. Sekitar 446 siswa yang sudah sekolah dijadikan sebagai peserta didiknya. Ini adalah sebuah langkah awal yang baik.

Tetapi bagaimana dengan siswa yang tersebar di 82 sekolah lainnya: apakah ada keterwakilan siswa dari masing-masing SD? Adalah tantangan kedepan. Karena pemerintah inginkan agar generasi Paniai harus berkualitas, maka haruslah dibuat pola yang tepat dalam menyeleksi siswa supaya ada keterwakilan dari semua distrik di Kabupaten Paniai, misalnya Kelas 1-3 diberi beban kepada masing-masing sekolah untuk ajar baca, tulis dan hitung kemudian dilakukan tes besar-besaran untuk seleksi masuk di SD Unggulan tersebut.

Saya pernah ditawar “kalau ada adik-adik bisa daftarkan di sekolah unggulan”. Tetapi saya khawatir dengan tempat mereka tinggal. Lalu, kala itu saya menjawab: “Saya siap menyiapkan bekal ilmu mereka dari rumah (kampung), tetapi kalau dorang masuk di sekolah unggulan, akan tinggal dimana?”.

Tentunya, supaya terarah dalam Sekolah Unggulan tersebut membutuhkan asrama sebagai tempat menampung siswa dari semua daerah.

Mengakhiri catatan ini, saya mau menutup catatan dengan esensi pendidikan adalah proses yang panjang, harus berkontinu, tersistematis, mulai dari pendidikan dasar hingga selesai menuju proses tak tahu menjadi tahu. Oleh karena itu, semua langkah transformasi yang dibuat mesti dipikirkan matang, membangun sistem yang baik menjawab kebutuhan guru dan anak.

Dalam pembangunan pendidikan Paniai, Bupati hendaknya menemukan format yang tepat, transformasi pendidikan yang dibuat saat ini tak memiliki formula dan terlihat mendorong yang baru, tetapi jalan baru yang ditawarkan hanya sementara dan tak menjawab esensi pendidikan.

)* Penulis adalah aktivis pendidikan Papua, pendiri Gerakan Papua Mengajar (GPM) dan pendiri Kelompok Belajar Ayago di kampung Tuguwai, distrik Aweida, kabupaten Paniai.

Artikel sebelumnyaMungkinkah Papua Tanah Damai?
Artikel berikutnyaPemerintah Pusat Diminta Hargai UU Otsus