Selama Oktober 2019, Tujuh Pengungsi Nduga Meninggal

1
1812

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Setelah lama tak terdengar, kabar duka dari kabupaten Nduga, Papua, kembali mengejutkan publik. Tujuh orang pengungsi Nduga yang ada di kota Wamena, kabupaten Jayawijaya, dikabarkan meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Benny Murib, anggota Tim Relawan Pengungsi Nduga, saat dikonfirmasi suarapapua.com, Rabu (13/11/2019) malam, mengatakan, sesuai laporan dari lapangan, tujuh orang tersebut terdiri dari dua mama, tiga bapak, satu pemuda dan satu anak.

“Meninggalnya dalam satu bulan kemarin (Oktober 2019), itu berdasarkan laporan tim kami di lapangan. Kawan-kawan saya pada dua minggu lalu sudah laporkan dengan nama pengungsi yang meninggal disertai foto-foto saat pemakaman jenazah di Wamena,” tuturnya.

Mengutip laporan tim relawan, ia menyatakan, tujuh orang tersebut meninggal terpisah.

Baca Juga:  SRP Bilang Transmigrasi Mesin Genosida di Tanah Papua

“Mereka meninggal tidak bersamaan. Kasus pertama pada awal bulan dan dua orang meninggal di akhir bulan lalu,” kata Benny.

ads

Ia merinci data selengkapnya, Ev. Unupus Nimiangge meninggal Jumat (4/10/2019), bapak Derus Gwijangge meninggal Minggu (20/10/2019), ibu Dasina Gwijangge meninggal Kamis (24/10/2019), ibu Sadet Unue meninggal Senin (28/10/2019, pemuda Nepiel Murib meninggal Kamis (31/10/2019), dan pada hari yang sama meninggal seorang anak kecil berumur 3 tahun.

“Ini sesuai data yang tim himpun, termasuk juga bapak Gulin Gwijangge meninggal tanggal 30 Oktober 2019. Semuanya tujuh orang, hanya satu yang harus didata lagi,” jelasnya.

Terpisah, Theo Hesegem, direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) mengaku akan memastikan laporan tersebut.

Baca Juga:  Polres Tambrauw Masih Mendalami Motif Kebakaran Kantor Distrik Bamusbama

“Informasi ini saya baru tahu jadi saya bersama tim dari sini akan memastikan. Nanti apapun hasilnya akan kami sampaikan ke publik,” kata Theo ketika dihubungi melalui telepon seluler.

Tak Ada KBM

Selain buruknya kesehatan warga di tempat pengungsian yang kemudian berakibat meningkatnya angka kematian, Benny juga akui hilangnya hak anak-anak Nduga memperoleh pendidikan yang layak.

Merespons situasi demikian, ia mengaku tim relawan pengungsi Nduga bangun beberapa tenda untuk dijadikan tempat kegiatan belajar mengajar (KBM). Sekolah darurat dibangun pasca terjadinya penembakan yang berdampak semua warga sipil mengungsi dari kampung halaman mereka di Ndugama.

Baca Juga:  Political Will dan Konstelasi di Papua Rendah, ASHTMP: Salah Pilih, Susah Pulih!

Sayangnya, lanjut Benny, sekolah darurat tersebut tak berjalan dengan baik lantaran guru swadaya yang mengajar tak lagi fokus mengajar. Juga, gedung darurat mulai rusak.

“Saat kejadian tanggal 2 Desember 2018, kita secara sukarela bikin sekolah darurat. Sampai sekarang tidak ada guru yang mengajar. Pemda harus menempatkan guru-guru honorer yang secara aktif mengajar anak-anak Nduga,” pintanya.

Hal ini menurut dia, sangat penting sebagai pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara terutama ribuan anak yang tak sekolah akibat konflik di Nduga.

“Pendidikan itu sangat penting untuk menyiapkan generasi masa depan Papua khususnya di Nduga,” ujarnya sembari minta perhatian serius agar KBM segera diaktifkan.

Pewarta: Ardi Bayage
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaReferendum Bougainville, Pelajaran Bagi Papua Barat
Artikel berikutnya99 Tim Futsal dan Voli Ramaikan Dies Natalis Mahasiswa Pegubin