Bintang Kejora Dalam Kebinekaan (Perspektif  Estetika)

0
1905

Oleh: Sebastianus Ture Liwu)*

Menyongsong hari kebesaran bagi masyarakat Papua pada 1 Desember 2019, saya mencoba berlayar ke arah Timur. Di sana masih terlihat kabut gelap menyelimuti bintang kejora tepat di atas bumi Cenderawasih. Cahaya bintang kejora pun mulai terhimpit akhirnya hilang dari pandangan segelintir orang. Tinggal sisa percikan cahaya yang meruangi lubuk hati orang-orang sederhana yang telah lama terhimpit oleh duka. Mereka inilah sisa orang terpenjara, berjalan menyusuri malam panjang sambil mencari titik terang demi melepaskan belenggu kegelapan.

Perjalanan masih panjang dan melelahkan namun masih ada “keindahan” yang mengajakku untuk berjalan sejauh mungkin untuk melihat inti terdalam dari sesuatu yang saya temukan baik dalam yang terlihat maupun terdengar, bahkan juga dalam watak dan tingkah laku manusia. “Adalah boneka garam telah lama mengembara di bumi ini. Kebingungan mengajaknya bertanya siapa dirinya, dari mana dan ke mana ia harus pergi. Namun ia tetap berkelana hingga menepi di bibir lautan. Kekaguman memukai hati boneka garam hingga ia pun bertanya pada laut: siapakah engkau? “Masuklah, nanti engkau akan tahu”, kata laut. Boneka garam pun sepaham akhirnya ia kemudian terlarut, tenggelam bahkan bersatu dengan laut. Waktu itu ada rasa bahagia mengajaknya untuk berkata: “Sekarang aku tahu siapakah diriku dan juga siapakah engkau! Akulah citra keindahanmu. Oleh dirimu, aku temukan jalan untuk kembali ke asalku”.

Pengalaman keindahan tersebut mengantar kita untuk bertanya dan mendalami beberapa hal: 1. Apa itu estetika? 2. Bintang kejora sebagai estetika dalam kebinekaan. 3. Menghargai bintang kejora. 4. Gerakan mencintai budaya lokal

Estetika (keindahan dan karya seni)

ads

Plato (428-348) membagi keindahan menjadi dua bagian: pertama, bahwa yang indah adalah benda material (yang tampak). Akan tetapi, ia mengajak manusia untuk maju terus sampai pada pemahaman mengenai ide yang indah. Kedua, dikatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, misalnya warna yang sederhana. Kebersatuan dan keterpaduan adalah gejala yang ikut menandai keindahan. Jadi kesederhanaan sebagai ciri khas dari keindahan, baik dalam alam maupun dalam karya seni (Mudji Sutrisno & Christ Verhaak, Estetika, 1993).

Segala hal yang tampak pada diri sesuatu merupakan inti, isi, yang di batin terungkap secara simbolis atau ulah laku manusia. Ekspresi yang diungkapkan melalui sebagian anggota tubuh manusia telah memperlihatkan kesejatian diri-nya. Maka melalui tubuh yang berekspresi, entah lewat mulut atau tangan yang berkarya, manusia menampilkan kehendaknya, pikirannya, rasa ke-aku-an dan eksistensi diri.

Berkesenian adalah ekspresi kebudayaan manusia, di satu pihak adalah proses pemerdekaan diri. Amat jelas ketika seorang seniman menciptakan sebuah karya seni yang tampak padanya suatu kebebasan diri untuk berekspresi demi eksistensinya. Berkesenian juga membantu seseorang dengan sadar mengaktualkan potensi diri, membuat orang merasa merdeka, membuat orang lebih merasa jadi orang dan menjadi lebih manusiawi.

Berkesenian adalah kebudayaan artinya berkesenian itu tidak hanya berteknik fungsionalis seperti tubuh kita dikenakan pakaian yang selalu berbeda, tetapi dengannya kita semakin mengekspresikan dan menyempurnakan “ada-diri” kita. maka yang sejati  “dalam”, “batin”, “indah” dibahasakan dalam ketulusan demi membuat orang di bumi ini merasa memiliki. Berkesenian juga lahir dari situasi kebudayaan semasa dan sewaktu dalam pandangan jagat/dunia orang-orang berkebudayaan. Pandangan dunia tempat manusia mengartikan hidup, mengambil nilai dan mencari dasar kehidupan mencakup sesuatu yang indah, baik dan benar. Setiap kebudayaan memiliki isi batin yang diungkapkan melalui hasil-hasil kebudayaan mereka terutama arsitektur dari “sesuatu” yang mencerminkan corak estetikanya.

Baca Juga:  Demi Masa Depan OAP, Aliansi BEM Jayapura Tegas Tolak Transmigrasi

Setiap “sesuatu” dari hasil kebudayaan meskipun benda mati tetapi tetap “berjiwa” karena hasil sentuhan manusia berupa hembusan nafas kehidupan, watak, citra nilai-nilainya. Sebagai contoh kita dapat melihat estetika di lapangan yang memaparkan dimensi-dimensi estetika dan filsafat keindahannya.

Bintang Kejora sebagai Estetika dalam Kebinekaan

Bintang kejora: sejatinya jiwa orang Papua

Manusia adalah makhluk simbolik mampu melihat ke dalaman dirinya untuk menciptakan dasar nilai simbolik serta mampu memerdekakan dirinya dengan menciptakan simbol dirinya dalam sebuah karya seni. Kesenian itu menimbulkan tanda Tanya dalam prosesnya. Ia menggugat ketenangan hidup yang mapan semu. Ia menimbulkan polemik, mengajak orang untuk mengomentarinya. Kesenian itu menjadi penimbul hidup, gerak, dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk berpikir. Dan apabila sudah berpikir using terlalu lama, ia mengajak menggoda untuk berpikir dalam nuansa baru yang sebelumnya tenggelam dalam rutinitas dan kemapanan hidup sehari-hari. kesenian itu berciri transformatif yaitu menampilkan kepedulian terhadap nasib orang-orang lain terutama mereka yang terdesak oleh yang kuat dan mampu menunjukkan jalan kesadaran  atau perubahan struktur yang akhirnya memperbaiki nasib, entah dalam keadilan maupun menghormati hak-hak dasar sesama warga tidak Cuma menekankan kewajiban-kewajiban sebagai warga Negara.

Simbol kebudayaan (jiwa) orang Papua termanifestasi dalam karya seni bendera Bintang Kejora. Keindahan suatu lambang kebudayaan tersebut merupakan suatu keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Secara fisik tampak sebagai yang sederhana, seimbang dan murni dalam satu karya seni. Fransiskus Tigi dalam tulisannya menjelaskan makna sebuah bintang warna putih (keutuhan-iman akan Tuhan Yang Satu), satu garis merah vertikal (darah-keberanian), enam garis putih (ada 6 distrik waktu itu), dan tujuh garis biru (ada 7 wilayah/suku besar di Papua). Dari padanya kita menemukan keunggulan falsafi yakni bersifat dan bernada “universal” berlaku pada segala masa dan segala tempat. Dengan begitu bintang kejora merupakan karya seni yang di dalamnya terkandung makna yang sungguh merasuki setiap hati nurani orang-orang yang mendiami bumi Cenderawasih.

Muridan Satrio Widjojo, peneliti LIPI untuk Papua, pernah menulis bahwa pengibaran bendera juga bagian dari ritual pemanggilan sang pemimpin. Isi UU Otonomi Khusus Papua 2001, bendera Bintang Fajar sebagai simbol identitas Papua boleh dikibarkan dengan sah. Syaratnya: harus bersebelahan dan lebih rendah dari bendera Indonesia. Pun juga lagu “Hei Tanahku Papua” boleh kembali dilantunkan.  “Dalam UU Otsus Bab 1 Pasal 1 sudah jelas bahwa Bintang Kejora dipakai sebagai Lambang Daerah, bukan lambang kedaulatan”, tegas Pene kepada News, Sabtu (1/26/2008). Hal senada juga dikatakan oleh Tokoh Papua yang juga mantan Gubernur Irian Jaya Laksamana (Purn) Freddy Numberi menyatakan bahwa bendera bergambar bintang kejora bukanlah panji bagi negara Papua, melainkan bagian dari budaya masyarakat di provinsi paling timur saat bertemu dengan (Menko Polhukam) Wiranto di Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2019).

Baca Juga:  Sebanyak 15 Mahasiswa Papua di Makassar Mengalami Luka-Luka Saat Bentrok Dengan Aparat

Bintang kejora melebur dalam sistem keagamaan

Bintang kejora adalah identitas kebudayaan orang-orang Papua. Kebudayaan tersebut lahir dari tanah, sedang sistem keagamaan (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha) yang hadir di tanah Papua adalah datang dari laut. Jika suatu agama telah mengalami proses perjumpaan dengan kebudayaan Papua, maka agama tersebut serta inti pewartaannya harus tunduk pada budaya atau jiwa orang-orang setempat, harus merendahkan diri, mengosongkan diri, lalu berusaha untuk masuk dan meleburkan diri melalui budaya, melihat serta memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Segala nilai estetik yang ditempatkan Tuhan perlu dilindungi dan diangkat hingga terlihat agar iman orang bertumbuh dan berakar dari budaya setempat. Dengan begitu masyarakat setempat bisa bertumbuh dan merasa tidak kehilangan jati dirinya di tengah tantangan zaman.

Salah satu contoh sistem keagamaan yang saya jumpai kiranya mengangkat nilai budaya Papua seperti di pedalaman Papua, wilayah Meeuwodidee, ada sebuah kandang natal dibangun oleh masyarakat setempat di depan Gereja Santa Maria Bunda Rosario. Patung bayi Yesus, Maria ibunya bersama patung tiga raja bermotif kebarat-baratan ditempatkan di dalam kandang natal bernuansa kebudayaan. Di depan kandang natal, ada sebuah bintang penunjuk jalan ke tempat Sang Penyelamat terbaring. Bintang itu dibuat bermotif kebudayaan setempat yakni Bintang Kejora. Masyarakat setempat sadar bahwa gereja telah hadir menjalankan misi untuk melebur dalam budaya Papua, berjalan bersama membela hak demi menuai harapan akan kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan. Gereja dan budaya saling melebur nilai-nilai luhur sambil menegaskan keunikannya masing-masing. Perlu diingat bahwa kehadiran gereja semata memberitakan kabar gembira dalam budaya setempat dan mengangkat martabat manusia tanpa terlibat dalam nuansa politik. Tantangan yang kita hadapi sekarang ialah belum semua jiwa orang beragama yang berusaha merasuki jiwa (budaya) orang setempat. Jati diri (budaya: tradisi-adat istiadat) setempat telah dihilangkan dan tidak dihargai. Orang dari luar Papua lebih menonjolkan ego budaya dan kepercayaannya akhirnya sengaja memandang kebudayaan setempat sebagai batu sandungan dan hal yang negatif.

Bintang kejora melebur dalam sistem kenegaraan

Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya dll. Kita selalu mengenang semboyan kebinekaan yang menjadi acuan bersama dalam membangun negeri kita. Keindonesiaan terbentuk karena lahir di atas inti kebudayaan. Jati diri kebangsaan juga terbentuk dari kumpulan unik jati diri (kebudayaan lokal). Papua adalah salah satu jati diri (corak budaya) yang khas bertumbuh atas dasar iman dan kesatuan di antara budaya-budaya lainnya.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Oleh karena Negara kita terbentuk atas budaya/kearifan lokal maka keindonesiaan juga berasal dari luar yang telah mengalami perjumpaan dengan budaya setempat (di Papua). Proses perjumpaan keindonesiaan dengan kebudayaan Papua harus memahami lebih dalam terkait asal-usul dan sejarah kebudayaan. Masalahnya adalah berjalannya proses perjumpaan selama ini hanya mencerminkan singkat cerita namun tenggelam dalam ingatan lara. Duka kian membius rasa hingga tidak terasa sekarang masih saja tetesan darah yang mengalir terus menunggu tetesan darah berikutnya. Semuanya berlalu seolah tanpa sebab bahkan dianggap sepeleh. Jika ada kebijaksanaan dari semua pihak dalam cara memurnikan arti toleransi yang sesuangguhnya dalam aspek budaya, maka tidak ada kata “lawan” selain menerima perbedaan. Jika tidak demikian, maka sanjungan kebinekaan telah kehilangan jiwa. Simbol kebudayaan Papua (bintang kejora menampilkan kesederhanaan) namun sekarang telah menjadi kesulitan bagi yang memandang dari luar budaya Papua tanpa rasa ingin melebur dan melihat sendiri jiwa/denyut nadi seorang manusia berbudaya.

Menghargai identitas budaya

Sebetulnya masalah yang kita hadapi di Papua pada dasarnya adalah memudarnya sikap toleransi antar budaya. Jati diri orang Papua selalu direndahkan. Ada kala orang mengedepankan semata ego sehingga tidak mau mempelajari inti dari kebudayaan Papua. Sikap ego tersebut membutakan mata hatinya untuk melihat hal yang sesungguhnya benar ada, bahkan salah menafsirkan di luar sesuatu yang ada.

Lukisan bintang kejora dapat kita jumpai di berbagai tempat: pada pintu-pintu rumah atau jendela mengungkapkan kesatuan jiwa orang Papua yang berbudaya. Pada tempat lain: kain bendera, atau chat pada wajah dan tubuh saat melakukan aksi protes atas ketidakadilan. Sebenarnya cara yang diambil oleh setiap orang yang terlihat menampilkan inti dari sesuatu yang diperjuangkan. Sejatinya adalah jiwa yang lahir dari seorang manusia untuk merasakan kemanusiaan. Sebagai manusia yang masih hidup, kita bergerak bersama untuk menjaga dan menjamin hak dari setiap kehendak untuk mengekspresikan kehidupannya yang sungguh-sungguh manusiawi. Jadi, jika kita sebagai orang berbangsa ingin menghargai kebinekaan corak budaya yang mengikat kesatuan negara kita, maka marilah kita mencintai bintang kejora untuk mengenal jiwa (budaya) orang Papua.

Gerakan mencintai budaya lokal (Papua)

Hal yang dapat kita lakukan agar ungkapan toleransi antar budaya terjamin ditengah tatanan kehidupan kita adalah lewat beberapa cara yang ditawarkan:

  1. Pemerintah Provinsi Papua diharapkan mengesahkan perdasus agar boleh menaikkan Bintang Kejora sebagai lambang kultural di beberapa sentimeter dari bendera merah putih, selain itu boleh dinyanyikan lagu Hai Tanah Papua.
  2. Diharapkan agar kelompok-kelompok tertentu harus menghindari pemaknaan lambang budaya ini sebagai lambang kedaulatan seperti yang terjabar dalam UU Otsus.
  3. Setiap agama dan budaya di tanah Papua sedapat mungkin dengan caranya menghormati bintang kejora sebagai identitas budaya.

  )* Penulis adalah Mahasiswa S1- STFT Fajar Timur

Artikel sebelumnyaDialog: Metode Menemukan Kebenaran Objektif
Artikel berikutnyaMama Elisabeth Ireeuw Kuliahkan 50-an Anak Papua Gratis di UOG Papua