Amukan Tanah Tak Berdosa, Silsilah Mencuat, Darah Mendidih Mengorbankan Keluarga

0
1329

Oleh: Kris Ajoi)*

Konflik tanah antar marga di Kebar memperlihatkan adanya beberapa persoalan. Pertama, perubahan cara pandang masyarakat terhadap tanah, yakni dari nilai menjadi harga. Suatu perubahan yang menggambarkan pola kesadaran penduduk Kebar yang mulai memaknai tanah bukan dengan nilai sosial-budaya melainkan dari harga-harga ekonomi. Kedua, adanya serangan investasi yang diperankan oleh korporasi perusahaan perkebunan yang mempengaruhi perubahan nilai tanah yang itu sangat ditentukan oleh faktor ketiga, yakni kondisi kemiskinan secara budaya (ide, aktivitas, artefak) dalam masyarakat dan kemiskinan ekonomi (pendapatan).

Pada tahun 2016 saya menyempatkan waktu bepergian ke Kebar. Di sepanjang perjalanan memperlihatkan adanya perubahan sejak terakhir pada tahun 2012 saya di sana. Di atas gunung pasir yang berada di distrik Arfu lintasan jalannya berpasir dan tidak rata, terkikis oleh erosi yang disebabkan oleh air hujan dan biasanya diratakan oleh pekerja dari PT.Pulmon, beberapa ruas jalan yang dipisahkan oleh aliran sungai juga belum dijembatani, bagian-bagian aspal mulai pecah akibat dari lalulintas mobil-mobil perusahaan PT.84, Pulmon, dan Putra Bungsu dan kendaraan yang lalu lalang mengangkut penumpang dari dan ke Kebar. Keadaan itu terus terlihat dari turunan gunung pasir hingga memasuki kampung Anjai. Beruntung melalui APBN pemerintah pusat masih memberikan prioritas bagi percepatan pembangunan jalan yang mengharuskan adanya doble perbaikan untuk membenahi kerusakan jalan yang masih dirundung kerusakan berturut-turut sepanjang sepuluh tahun terakhir.

Memasuki Lembah Kebar di atas puncak gunung Nebori memperlihatkan keindahan savana Lembah Kebar bak sebuah lapangan sepak bola yang dikelilingi gununug-gunung menjulang tinggi, hampir mirip sebuah kuali (wajan). Di hamparan alang-alang nun jauh di bawah pantat gunung terdapat sebaran perumahan yang merupakan sebuah pemukiman ramai dari kampung Nekori, di sebelah selatannya kampung Jandurau lama dan ke timur lagi Jandurau Baru yang dimekarkan karena konflik pemekaran Tambrauw dan Manokwari Barat. Turun dari daerah perbukitan, memasuki dataran lembah kita menghampiri kampung pertama dari Kebar Timur, kampung Karawi dan Arampak, di sebelah selatan sekitar 500 KM adalah kampung Nabisai, beberapa meter mengikuti jalan raya trans Papua Barat ke bagian Barat adalah kampung Inam. Terus ke Arah Timur akan ada kampung Arumi, Wasabiti, dan Wasanggon.

Tepat di tiga kampung inilah di sebelah selatannya sekitar 20 meter adalah hamparan perkebunan jagung yang dibuka pada tahun 2017 oleh PT. Bintuni Agro Prima Perkasa yang kemudian ditolak oleh seluruh penduduk di Lembah Kebar. Di areal tersebut terdapat dua kampung yakni kampung Ibuanari dan Wabanek yang kehidupan warganya bergantung dari air kali wajiben/apriri yang menghasilkan kesuburan bagi warga dengan berjuta jumlah ikan dan udang serta hewan liar yang dagingnya sering dikonsumsi seperti babi hutan, tikus tanah, ulat sagu, ulat kayu, berbagai jenis burung, rusa hingga ular tanah. Panjangnya kali wajiben yang mengalir di tengah lembah menghubungkan kebar timur hingga Kebar Barat tepatnya wilayah kampung Anjai, Atai, Akmuri dan beberapa kampung baru seperti Matatun, Javai dan Apoki.

ads
Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Begitu pula jalan raya yang mengikuti bagian bawah puncak gunung dan melewati lereng bukit yang ditumbuhi alang-alang savana nun indah sejauh mata memandang. Tiba di wilayah padat penduduk adalah kampung Anjai, meski sebagian besar warga telah pulang kampung ke dusun-dusun milik marga masing-masing yang telah naik statusnya dan berubah menjadi desa/kampung hasil pemekaran dalam tahun 2013 hingga 2016.

Masyarakat di Lembah Kebar yang dikelompokan sebagai suku Mpur mengenal dengan benar bagaimana memperlakukan alam dan menjaga keberlangsungannya. Hampir ratusan tahun mereka hidup di atas tanah dan alam yang secara ekologis rawan terhadap bencana banjir dan longsor. Tanah pasir, dan gunung-gunung yang ditumbuhi rerumputan rawan terhadap bencana longsor apabila terjadi hujan deras berhari-hari. Arahan para tetua adat adalah tidak boleh merusak tanah dan seluruh ekosistem kehidupan di lembah hijau itu.

Secara adat, orang Mpur memiliki strategi konservasi yang dikelompokkan ke dalam beberapa kriteria tabu/pemali, dalam bahasa Mpur disebut niek batiuw atau tanah keramat yang tidak sembarang orang dapat seenaknya masuk, apalagi mengambil sesuatu dari sekitar wilayah itu. Menebang pohon dapat membuat orang kehilangan nyawa, membunuh binatang dapat menimbulkan kesakitan yang berkepanjangan, sakit itu dapat sembuh hanya melalui penyembuhan oleh buon (tabib) yang mengetahui bahwa orang yang sakit memang terkena sakit akibat dari pelanggarannya melakukan kerusakan pada alam. Lebih parah lagi bisa menimbulkan bencana bagi seluruh manusia di lembah itu. Tidak hanya tanah yang keramat tetapi adapula air (war batiuw) yang tidak dapat dikonsumsi siapapun, ikan yang terdapat di dalamnya pun tidak dapat diambil termasuk segala bebatuan.

Selain batiuw tadi adapula nisikier atau sebuah tempat yang biasannya para warga meletakan benda-benda kebudayaan yang dianggap sebagai pusaka keluarga. Di lahan tersebut ada dagu dan bagian rahang babi, cawat yang sudah lama, taring babi, dan adapula tengkorak manusia (para orang tua dan leluhur). Orang yang sembarang masuk di tempat tersebut dapat diberi sanksi dari keluarga pemilik lahan. Para warga pemilik nisikier terkadang beranggapan bahwa mereka yang merusak atau masuk ke lahan itu adalah pembunuh keluarga mereka. Adapula riembuat yang terdiri dari dua kata (dalam bahasa Mpur) riem yang berarti simbol dan buat artinya pintu. Di tempat ini para warga biasanya meletakan dahan kayu kering pada tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama sebagai bagian dari lahan khusus bagi ritual. Semua tempat untuk ritual ini adalah setiap muara-muara sungai bertemu (cabang sungai) yang di sana terdapat batasan pegunungan yang mengalirkan mata mata air yang menyuburkan tanah sehingga segala jenis hewan dapat hidup dan tanaman tumbuh subur.

Dan yang terakhir adalah asuan, suatu tempat yang diyakini oleh penduduk Kebar dihuni oleh semua manusia yang telah mati. Setiap keluarga yang meninggal, menuju asuan tempat hidup selanjutnya manusia yang sudah mati. Di asuan, ada banyak keanehan layaknya lembah kematian. Jika kita berjalan melewati atau dekat di sekitar asuan kita akan mendengar suara manusia sedang memanggil anak, memanggil anjing, berteriak, dan berbagai macam reaksi yang dapat membuat kita merasa seperti berada di dunia orang mati. Di tempat ini, ada beberapa yang hanya bisa dimasuki tanpa mengambil sesuatu, tetapi ada yang tidak dapat dimasuki sama sekali. Areal yang disebutkan, merupakan tempat yang sangat dijaga dan diawasi keberadaannya. Meski dalam beberapa hal, pada tempat-tempat tersebut merupakan lahan subur dan menghasilkan sumber daya alam yang luar biasa. Tidak mungkin sekali air tidak mengalir dari tempat ini ke anak-anak sungai yang mengalir untuk dikonsumsi warga sehingga hutan dan seluruh ekosistem di dalam wilayah yang dilindungi itu merupakan sumber daya terpenting bagi kelangsungan hidup warga Mpur.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

Lembah Kebar begitu sejuk, hawanya begitu dingin, dengan air tanah yang segar dan dingin di sungai. Ini memanjakan penduduk Kebar yang terbiasa menikmati pekerjaan mereka sebagai petani rica, kacang tanah, dan peramu rumput kebar. Meski begitu panas matahari menyengat tetapi mereka kebal dengan terik panas matahari karena kesejukan angin dan hawa yang begitu dingin. Sayangnya 2016 ketika sampai di Kebar, ada perubahan besar lebih dari yang terlihat di tahun 2012. Ada banyak pembangunan perumahan, pembukaan jalan setapak hingga jalan raya (aspal) dan penebangan kayu untuk pembangunan rumah dan gedung. Hutan arokarya telah ditebang membentuk segi empat untuk jalan. Udara dan hawa di Kebar tidak dingin dan sejuk seperti sebelumnya, ada perubahan alam yang terlintas di sana.

Beberapa orang tua dan pemuda di Kebar berceritera bahwa mereka sekarang berburu babi hutan memerlukan perjalanan panjang hingga delapan kilo ke dalam hutan di balik gunung melewati sungai-sungai kecil. Burung-burung dijatuhkan dengan senapan angin. Adapula obat akodan dan tiodan digunakan untuk meracuni ikan di kali Api, Arani, Aponi, Aremi, juga Apriri. Namun satu hal yang pasti, semua kegiatan tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan kehidupan masyarakat Kebar ke arah yang lebih baik.

Kenyataan itu menimbulkan kondisi yang riskan. Adalah konflik tanah adat yang disengketakan oleh beberapa marga. kondisi Konflik dan kekerasan di dataran Kebar antar penduduk Mpur sendiri meliputi beberapa aspek sekaligus. Pertama, keadaan chaos di antara masyarakat Mpur terjadi akibat dari pertarungan politik pemekaran.

Ada berbagai motif ekonomi dan politik di balik penjualan lahan (tanah) marga, sub suku, dan suku hingga proses pemilihan kepala kampung atau ketua marga. Kedua, faktor ekonomi yang mencekik warga hingga tidak bisa meningkatkan keadaan mereka yang sedang mengalami begitu banyak masalah. Denda adat akibat dari masalah-masalah pemukulan, penikaman, dan atas insiden-insiden kekerasan yang menimpa masyarakat semakin besar jika dilihat dari jumlah tuntutan dari tahun ke tahun, termasuk kesulitan membiayai pendidikan yang menyebabkan banyaknya pinjaman warga menumpuk di beberapa keluarga pendatang yang sudah lama di sana.

Parahnya, tuntutan itu hanya bisa ditanggulagi jika semua warga bergabung dan saling melengkapi. Sehingga dalam banyak kasus, uang pemerintah daerah (dan bantuan pengusaha) yang dapat mencukupi harga pembayaran denda (ekonomi) adat yang diminta.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Dua kondisi yang disebutkan itu telah membentuk penduduk Mpur ke dalam beberapa klasifikasi. Konflik terkadang memberikan dampak kerugian yang luar biasa karena terjadi keretakan hubungan sosial dan kekerabatan akibat tarik menarik dan tawar menawar mengenai hak-hak kepemilikan atas tanah.

Di kalangan suku Mpur (termasuk Papua lain), hak atas tanah adalah hak atas seluruh sumber daya alam dan termasuk property kebudayaan yang telah dihidupi manusia di wilayah itu selama ini. Tanah yang diperdebatkan siapa pemiliknya barangkali menjadi kasus menarik dalam melihat kasus kekerasan yang cenderung terjadi sejak pemekaran Tambrauw dan masuknya kuasa kapital dalam bentuk perusahaan perkebunan. Konflik ini meliputi beberapa persoalan tapal batas antar suku, marga, hingga keluarga.

Konflik seperti itu dapat dilihat sebagai sebuah sengketa karena yang diperebutkan adalah tanah. Hierarki kedudukan dan status masyarakat di dalam pranata kebudayaan Mpur seperti kepemimpinan adat, keturunan dan hak-hak atas tanah yang mengalami degradasi kredibilitas dan integritas inilah yang membentuk ruang terbuka dalam tarik-menarik kasus sengketa lahan (tanah) di wilayah Kebar.

Beberapa bentuk konflik yang bisa dilihat di kalangan masyarakat Mpur mencakup:

  1. Bentuk pertama yang bisa dilihat di kalangan Suku Mpur adalah sengketa lahan keluarga. Biasanya tanah yang dimiliki sebagai asset keluarga adalah tanah kolektif dari sub suku yang dibagi menjadi milik marga dan akhirnya masing-masing keluarga mulai saling membagi dan menentukan hak-hak tapal batas. Tanah-tanah ini sekarang menjadi lahan ekonomis yang diperjuangkan, diperebutkan, dan telah banyak penjualan yang dilakukan oleh masig-masing keluarga kepada pihak pengusaha dan pemerintah.
  2. Bentuk kedua adalah sengketa tanah marga yang setidaknya sangat berkaitan dengan tapal batas keluarga sehingga pengelolaan hak milik marga setidaknya semakin berkurang karena tanah-tanah telah dibagi.
  3. Bentuk ketiga adalah sengketa tanah yang berada di level suku-suku. Sengketa tanah antar suku ini sudah terjadi sejak nenek moyang orang Tambrauw ada. Sehingga sejak dahulu sudah diketahui hak-hak kepemilikan tanah masing-masing termasuk kewajiban menjaga tapal batas. Hanya saja kasus-kasus sengketa lahan ini dipengaruhi oleh praktik jual-beli lahan baik untuk kontrak maupun untuk hak milik dan pakai oleh individu yang tidak bertanggungjawab.

Atas dasar penilaian kritis dan analisis dari kasus konflik yang cenderung menimbulkan kekerasan di Kebar pada kalangan masyarakat Mpur maka proses mewacanakan pembangunan lingkungan dan bagaimana budaya disinkronkan dengan wacana pembangunan dari perspektif kebudayaan Mpur penting untuk dilihat. Penting dan tidaknya budaya membangun lingkungan terletak pada keadaan manusia yang telah, sedang, dan akan mengalami konflik (perubahan) di dalam kehidupan mereka (individu dan kelompok) dengan melibatkan darah (blood) dan tanah (boden) (Lih: Jamie S Davidson, dkk 2014).

 

)* Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Antropologi, FASBUD, Universitas Papua dan STT-ET Manokwari

Artikel sebelumnyaKronologis Kematian Alm. Bernard Agapa
Artikel berikutnyaPembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Papua Sangat Mendesak