Oleh: Paskalis Kossay)*
Kita sebagai warga negara Indonesia berhak bertanya kepada Presiden Republik Indonesia bahwa status kondisi keamanan Papua saat ini apakah dalam Darurat Sipil atau masih dalam Tertib Sipil. Soalnya belakangan ini banyak menonjol aktivitas militer dan para militer ( polisi ) mulai meningkat ditengah masyarakat papua.
Sejak Agustus 2019 lalu – sampai sekarang (November) konsentrasi kekuatan TNI/POLRI meningkat. Dimana-mana di sudut-sudut kota personil pasukan TNI/POLRI dengan peralatan senjata lengkap berlalu lalang dijalan dan keluar masuk lorong-lorong pemukiman warga.
Belum lagi pasukan militer dengan lengkap peralatan perangnya melakukan latihan perang besar-besaran di pinggiran kota. Terkesan seperti situasi darurat perang. Para pembesar TNI/POLRI maupun sipil silih berdatangan ke Papua mengadakan pertemuan persuasif dengan para pemuka masyarakat di Papua. Apa gerangan sesungguhnya , sesuatu kondisi yang tak pernah terjadi selama ini. Orang mulai bertanya-tanya. Apakah papua kembali dijadikan status daerah operasi militer ? Entahlah.
Tanggal 1 Desember diwanti-wanti sebagai hari puncak membawa malapetaka runtuhnya keutuhan kehidupan satu bangsa besar Indonesia ini. Seluruh kemampuan kekuatan pertahanan bangsa ini disiagakan sebagai langkah antisipasi menghalau gerakan 1 Desember. Semua perhatian mengarah apa yang akan terjadi pada 1 Desember itu.
Seruan moral maupun ancaman dan intimidasi terhadap warga papua mulai disebar melalui berbagai media massa lokal dan nasional. Pesan seruannya mengajak orang papua agar tidak dilakukan aktivitas politik dalam bentuk apapun peringatan 1 Desember 2019 sebagai hari manivesto politik bangsa papua tersebut.
Jika dianalisa secara mendalam, apa yang menyebabkan Pemerintah Indonesia terkesan begitu reaktif dan mendramatisir 1 Desember sebagai hari yang membahayakan keutuhan bangsa ini. Sepertinya tidak ada alasan yang kuat yang bisa dikhawatirkan potensi konflik pada 1 Desember tersebut. Sebab pilar kekuatan lawan politik negara selama ini , entah OPM, ULMWP dan KNPB semua pada posisi diam, tidak ada indikasi seruan kekerasan, kecuali seruan damai oleh ULMWP dan KNPB untuk peringatan 1 Desember melalui doa bersama.
Dari titik ini maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa pemerintah Indonesia sedang panik pada bayangan kalau 1 Desember akan muncul aktivitas politik yang berbau separatis. Sebab kepanikan ini muncul karena dalam sidang Majelis Umum PBB pada September 2019 lalu , pemerintah Indonesia berhasil meyakinkan negara-negara anggota PBB bahwa situasi keamanan Papua sudah terkendali dan kondusif , tidak ada lagi anasir – anasir kelompok separatisme yang mengganggu stabilitas keutuhan bangsa.
Setelah isu rasisme yang menghebohkan dunia internasional, pemerintah Indonesia berusaha meyakinkan negara – negara internasional bahwa isu rasisme direkayasa sebagai kampanye politik separatisme kelompok ULMWP dan KNPB. Klaim tersebut ditunjukan dengan fakta kerusuhan dilapangan yang menimbulkan anarkisme merusak fasilitas umum maupun penetapan status hukum Makar bagi beberapa pentolan anggota ULMWP dan KNPB.
Jika pada 1 Desember muncul kembali aktivitas politik yang berbau separatisme, maka akan mencoreng kembali muka pemerintah Indonesia dalam diplomasi dunia internasional tentang isu papua. Hal inilah yang memaksa pemerintah Indonesia mulai mengarahkan seluruh kemampuannya untuk menjaga stabilitas politik papua tetap dalam keadaan kondusif. Jika tidak diawasi seketat ini , dikhawatirkan akan tetap muncul aktivitas politik yang berbau separatis , kemudian bisa disebar luaskan , terbentuk opini baru dunia internasional bahwa papua masih membara aktivitas politik separatisnya.
Walaupun demikian diperketat sedemikian rupa dari kemungkinan munculnya aktivitas politik menjelang 1 Desember, namun implikasi politiknya tetap meluas, akan mempengaruhi persepsi politik publik bahwa Indonesia sedang panik menghadapi isu papua yang semakin mengglobal.
Posisi Indonesia saat ini dalam menghadapi isu papua seperti dimakan buah Simalakama: bapa makan mati, mama tidak makan mati. Memang isu papua sulit dibendung karena sudah terlanjur mendunia. Karena itu sebaiknya lebih banyak berikhtiar dengan menampilkan program kemanusiaan, dari pada menggerakkan kekuatan militer dan para militer yang ujung – ujungnya menyusahkan rakyat , tetapi efek politiknya justru menimbulkan kesan represifme dan militerisme.
Pendekatan persuasif dengan mengedepankan program kemanusiaan lebih bermartabat dari pada memproduksi kekerasan demi kekerasan yang membawa perasaan saling curiga, serta saling tidak percaya terhadap integritas dan kredibilitas sesama anak bangsa. Kegiatan kemanusiaan pun bukan karena dorongan sekedar menghilangkan kecurigaan , tetapi ikhlas sebagai pertanggungjawaban moral terhadap pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara.
)* Penulis adalah politisi PapuaÂ