JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Kelompok progresif lokal dan internasional di Manila. Filipina mengadakan aksi protes menyerukan kemerdekaan West Papua yang diduduki Indonesia di depan Kantor Kedutaan Besar Indonesia di Filipina pada 3 Desember 2019.
Selain itu, aksi yang didukung oleh Jaringan Pendukung Papua Barat Merdeka, Gerakan Masyarakat Adat Internasional untuk Penentuan Nasib Sendiri (IPMSDL), Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS), dan kelompok progresif ini mengutuk Pemerintah Indonesia atas pelanggaran HAM, militerisasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan di atas tanah Papua Barat.
“Kami mengangkat Bintang Kejora di Filipina untuk menyatakan dukungan kami terhadap perjuangan Papua Barat agar bisa menentukan nasib sendiri dan menyerukan keadilan bagi para korban pembunuhan di luar pengadilan, penangkapan ilegal, ancaman dan pelecehan oleh polisi, militer, dan paramiliter di Papua Barat.
Baca juga: Peringati Hari Papua Merdeka, 10 Orang Ditangkap di Ternate
Sementara di sini (Filipina) kita mengalami Darurat Militer de-facto secara nasional dengan serangan kritik terhadap Pemerintahan Duterte, orang-orang Papua juga telah berada di bawah Darurat Militer secara de-facto selama lebih dari lima dekade,” kata Deewa Dela Cruz, Koordinator Jaringan Pendukung Merdeka Papua Barat Filipina, sebagaimana release yang diterima suarapapua.com, Kamis (5/12/2019).
Katanya di Indonesia, mengibarkan Bintang Kejora dianggap sebagai tindakan subversif yang dihukum dengan hukuman penjara minimal 15 tahun. Seperti 1 Desember 1961 ketika bendera Bintang Kejora pertama kali dikibarkan di Papua Barat menandai kemerdekaannya dari Belanda.
Tetapi akhirnya setelah itu, Indonesia melancarkan operasi militer yang agresif di Papua Barat dan akhirnya mencaplok negara melalui referendum yang palsu pada tahun 1969.
“Hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri dirong-rong oleh penduduk Indonesia atas Papua Barat, karena mereka terus hidup dalam ketakutan dan dipindahkan secara paksa dari wilayah mereka, sementara Indonesia menguasai bisnis dan dari asing, terutama di industri pertambangan dan perkebunan. Mereka malah mendapat manfaat dari sumber daya yang kaya dari tanah Papua.
Baca juga: Hari Nasional Papua Barat, Bintang Kejora Dikibarkan di Seluruh Dunia
Skenario ini tidak jauh dari apa yang kami alami, seperti Lumad, Igorot, Aeta, dan Dumagat,” kata Beverly Longid, Koordinator Global IPMSDL Internasional dalam aksi itu.
Lebih lanjut, banyak pasukan militer dan paramiliter negara dikerahkan di Papua Barat, yang pada mulanya merupakan wilayah yang paling termiliterisasi di Indonesia. Laporan telah mengaitkan hal ini dengan tingginya jumlah pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat, karena serangan terhadap ekspresi perbedaan pendapat, termasuk protes terhadap tambang Grasberg yang dimiliki oleh perusahaan AS Freeport.
Tambang Grasberg adalah tambang emas terbesar kedua di dunia yang lubang terbuka terlihat dari luar angkasa.
“Beberapa hari yang lalu, orang-orang Filipina memperingati kelahiran pahlawan anti-kolonial Andres Bonifacio. Kami juga menghormati warisannya dengan melanjutkan perang melawan semua bentuk penjajahan di sini dan di luar negeri. Karena itu seruan kami untuk semua orang Filipina yang cinta damai dan demokrasi dan bahkan kepada pejabat progresif di pemerintah, untuk berdiri bersama Papua Barat,” kata Elmer Labog, Ketua ILPS Filipina.
September lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michele Bachelet menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat setelah protes puluhan ribu orang Papua yang dipicu oleh pernyataan rasis oknum aparat Indonesia kepada mahasiswa Papua.
Alih-alih menangani banding Papua, protes mereka disambut oleh Negara Indonesia fasis yang mengakibatkan ratusan orang tewas, terluka, dan ditangkap di Wamena, Jayapura, Manokwari, dan sejumlah tempat lainnya.
Baca juga: Bawa Bintang Kejora dalam Gereja, Empat Mahasiswa Diperiksa Polisi
Hingga hari ini, pasukan keamanan Indonesia yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut belum dimintai pertanggungjawaban. Media internasional, tim investigasi independen, dan bantuan kemanusiaan belum memasuki masyarakat yang terkena dampak pemboman dan militerisasi berat karena akses ketat yang diberlakukan oleh pemerintah.
“Tujuh hari dari sekarang, dunia akan memperingati Hari HAM Internasional. Ini bukan hanya tentang hak-hak individu tetapi juga masyarakat dan negara, terutama mereka yang terus-menerus terlibat dalam pertempuran melawan rezim represif. Setiap kali hak seseorang tidak diakui, apakah Filipina, Papua Barat atau bangsa tertindas lainnya,” kata Liza Maza, Sekretaris Jenderal ILPS.
Pewarta: Elisa Sekenyap