Kritik Levinas atas Kapitalisme Tubuh Perempuan Papua

0
2726

Oleh: Kris Ajoi)*

Korporate et anima unus (menjaga dan menghormati martabat orang lain merupakan suatu keharusan sebab manusia memiliki kesatuan tubuh dan jiwa).

Kamu tidak cantik kalau kamu belum berambut lurus, kamu tidak cantik kalau belum bertubuh seksi, kamu tidak cantik kalau  tidak berkulit putih, bahkan kamu akan lebih cantik dengan rok mini atau celana pendek di atas lutut (familiar di masyarakat Papua disebut celana umpan).

Di balik kecantikan ada penampilan sexy, kemolekan tubuh, tubuh ideal dan potongan-potongan tertentu yang sengaja dirajut kaum kapitalis (pemilik modal besar, kita penganut paham itu, dan media yang rela diperbudak kapitalis) sebagai sebuah konsep kecantikan yang membantu produk “industri kecantikan” mereka laku terjual di pasaran. Padahal, wajah cantik, rambut lurus, kulit putih mulus, dan tubuh seksi itu bukan ukuran seseorang dihormati atau diterima keberadaannya, melainkan pada apa yang dia buat dan dia hidupi, “ko cantik kalo ko bisa bikin sesuatu yang positif, ko cantik kalo ko bisa  tampil bagus tanpa pake apa-apa (tanpa make  up), ko juga cantik kalo ko tahu diri (mengenal diri). Inilah yang membuat perempuan (secara khusus di Papua) dihormati dan dihargai.

Ada perubahan besar yang terjadi dalam dunia periklanan di Indonesia. Pada tahun 1990an sejak TV mulai berkembang, iklan TV selalu memplesetkan informasi produk dengan suatu hipnotis dehumanis, “putih itu cantik”, kulit putih bersih, cantik berseri”. Kemudian pada sekitar sepuluh tahun terakhir sampai sekarang mulai berubah, “cerahkan kulit dan wajah, wajah berserih lembut sepanjang hari, menjaga kelembaban”. Jelas di sini media (TV) cenderung menjadi promotor terkuat dalam mensuplai ide-ide kecantikan sekaligus “instrument” yang dapat membantu seseorang menjadi semakin  “cantik” dan kaum kapitalis menjadi semakin berkuasa.

ads

Kapitalisme memang secara tidak langsung memaksa manusia perempuan untuk menjajakan tubuhnya. Awalnya dimulai dengan mengubah mindset perempuan tentang kecantikan lalu kemudian menghubungkannya dengan kebahagiaan. Secara tidak langsung hal ini memaksa wanita untuk berusaha sekeras mungkin  menguras tenaga dan uang, bahkan kesehatan dan keselamatannya tidak dihiraukan demi mendapatkan penampilan “cantik” menurut trend masa kini. Bahkan dengan definisi cantik dari kapitalisme ini, dalam kehidupan sekarang, banyak ditemui kasus yang memperlihatkan adanya perusahaan-perusahaan,  kantor-kantor pemerintahan dan mall mall serta supermarket lebih cenderung memperkerjaan wanita-wanita dengan kriteria “berparas cantik” sebagai salah satu syarat penting yang diperhatikan. Itu pula biasanya di urutan pertama dari sejumlah persyaratan lainnya yang substantif. Sehingga kualitas kepintaran (IQ) seorang wanita cenderung tidak dihiraukan.  Siapa yang tidak ingin cantik dan punya pekerjaan?. Tentu saja banyak wanita berusaha mendapatkan kecantikannya untuk dapat memperoleh pekerjaan demi kesejahteraan mereka, dan kemudian kesejahteraan yang diperoleh itu menjadi klaim dari pada indicator kebahagiaan. Alhasil perempuan yang berubah cantik akan lebih mudah memperoleh pekerjaan bahkan dibayar mahal dari pada perempuan yang obesitas atau overweight alias ke-gemuk-an.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Laurie Penny seorang jurnalis dan feminis dari Inggris menganggap ini sama saja dengan kaum kapitalis memberikan aba-aba kepada buruh, jangan malas, jangan pernah merasa lelah, tingkatkan produksi, kerja keras. Jadi sama seperti kamu kapitalis memaksa buruh bekerja, begitulah kaum kapital terus memaksa perempuan (buruh) bekerja. Begitulah kapitalisme terus mendikte dan mempengaruhi wanita dengan mengubah cara pandang mereka dan mengatur siklus pekerjaan  yang memberi keuntungan penuh kepada kapitalis dengan menekan perempuan melalui kampanye model trendy dan gaya hidup. Bahwa kamu harus fitness, jangan makan terlalu banyak, gunakanlah produk shampoo A, parfum B, atau perias wajah C sehingga kau tampak cantik dan bisa punya daya jual, bukan daya tawar.

Satu hal yang pasti, hal-hal semacam yang dilakukan oleh kelompok elit yang menguasai lebih banyak sumber daya dengan modal melimpah terus mendapat penolakan. Mari kita memperhatikan soal ini dengan melihat kembali cara berpikir dari salah satu filsuf renaissance (abad modern), Emmanuel Levinas. Emmanuel Levinas seorang filsuf Prancis (1906-1995) menekankan dimensi keberlainan (otherness) dari yang lain (I’autrui atau the other) yakni orang lain yang kita tatap wajahnya sebagai sesuatu yang lebih utama. Bagi pria bekas tawanan kamp konsentrasi pembantaian massal oleh Nazi, Yang Lain adalah pembuka horizon keberadaan kita, bahkan pendobrak menuju ketransendenan kita. Bagi dia yang lain itu ada dan indah. Yang Lain adalah orang lain atau sesama manusia (individu maupun kelompok) dalam keluhuran martabatnya secara holistik (utuh dan menyeluruh).

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Pandangan ini merupakan kritik diri atas roh totaliter yang mengabsolutkan ego dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah yang lain selalu didekati sebagai obyek, suatu skema dari inteligibel ego. Hal itu memperkosa keunikan dan alteritas Yang Lain sebagai Yang Lain, lain dari saya (aku  atau kami). Singkatnya menurut Levinas manusia atau pribadi yang lain tidak boleh diperlakukan sebagai benda (something). Yang Lain perlu dihargai karena keberadaan mereka adalah bentuk keberadaan Tuhan dimuka bumi (Alkitab Kejadian). Yang Lain adalah jejak (trace) dan tanda (sign) dari keberadaan Tuhan sebagai sang pencipta (the trace of infinity). Kapitalisme justru melihat Yang Lain, dalam hal ini perempuan tidak sebagai subyek (someone) tetapi sebagai obyek (something). Kapitalisme memandang perempuan sama seperti “benda”. Komoditi (barang ekonomi) yang dapat diubah, dijual, dan dibeli kapanpun, dimanapun, oleh siapapun. Dengan kata lain, dalam alam pemikiran seorang kapitalis, perempuan sama sekali tidak memiliki nilai sebagai manusia kodrati, sekali lagi nilai perempuan hanya sebagai benda atau barang komoditi.

Levinas mengatakan wajah sesamaku  mengatakan terimalah aku, jangan membunuh aku. Wajah memberitahukan perintah untuk jangan membunuh, ini kelihatan secara pasti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dan tanpa syarat. Wajah memberitahukan perintah kepada setiap orang untuk bertanggungjawab kepada yang lain. Wajah di  sini dimaksudkan dengan hal fisis atau empiris bukan hanya idealis. Seperti keseluruhan yang terdiri dari wajah, bibir, hidung, dagu, dan seterusnya termasuk hal-hal psikis (who am i, i am is  what do you thinking about me). Yang dimaksudkan dengan wajah adalah orang lain sebagai Yang Lain menurut keberlainannya, jadi kualitas-kualitas fisis atau psikis termasuk identitas kebudayaan yang biasanya tampak pada wajah (tampan, muda, cemerlang, dll) penting bagi Levinas. Ia menegaskan bahwa baru ketika berhadapan dengan orang lain saya menjadi saya, saya menemukan identitas saya, menemukan keunikan dan jati diri saya.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Pria turunan Yahudi itu dengan konsep keberlainannya hendak mengkritik cara pandang kita tentang perempuan, terlebih cara pandang mereka tentang jati dirinya. Bagi Levinas wajah yang cantik, rambut lurus, kulit putih mulus dan tubuh seksi itu penting. Tetapi lebih penting lagi kita menjadi diri kita sendiri dan menemukan diri ketika memandang orang lain dengan cara orang lain memandang dirinya bukan dengan cara orang lain memandang kita. Sebab jika tidak demikian, itu adalah kegagalan melihat sesama dan kegagalan melihat wajah sebagai the others (orang lain).

Oleh karena kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi tubuh dan mengkooptasi arti kecantikan. Inilah bukti yang mempertegas kegagalan kapitalis dalam melihat wajah sesama sebagai Yang Lain. Levinas mengajak kita untuk menghargai identitas diri kita yang hitam kulit dan keriting rambut. Levinas percaya bahwa dalam diri yang hitam kulit dan keriting rambut  itu kita menemukan jejak dan tanda keberadaan Tuhan di Tanah Papua.

)* Penulis adalah Staff Pengajar di Jurusan Antropologi Unipa, Manokwari

Artikel sebelumnyaSatu Guru Ajar Tiga Kelas di SD YPPK Pilimo
Artikel berikutnya61 New Political Prisoners on 1st December West Papuan National Day Commemoration Crackdown