Mengapa ARV dan Bukan Putier Placenta?

0
1902

Oleh: Benyamin Lagowan)* 

Pokok bahasan tulisan ini sebenarnya tidaklah perlu dihadirkan ke ruang publik atau ditulis ulang, sebab telah banyak tersedia di Internet dan kepustakaan cetak, sehingga sebenarnya sangat mudah sekali diperoleh untuk kemudian dipelajari. Namun, karena kita memaklumi kondisi tingkat literasi orang Indonesia termasuk Papua, maka tidak menjadi soal. Tulisan ini hadir ke ruang publik guna meneguhkan dan mengedukasi publik: mengapa ARV menjadi terapi standar yang diakui saat ini di seluruh dunia daripada obat lainnya seperti, purtier placenta ini. Yang disebut belakangan ini, kini menjadi produk ilegal yang telah dilarang peredarannya di banyak negara di dunia. Apakah benar demikian? Kita akan uraikan sama-sama. Selain itu, dengan hadirnya tulisan ini diharapkan menjadi jelas bagi pihak-pihak yang berupaya ‘melarikan diri’ dari kenyataan pembodohan dan pembohongan yang sedang mereka lakukan untuk mencuri uang rakyat melalui paket bisnis yang dikemas bermoduskan suplemen kesehatan bernama purtier placenta pada lembaga KPA Papua. Selain itu, tulisan ini sekaligus menjadi suatu pertanggung jawaban akademis berdasarkan tinjauan kepustakaan hasil penelitian ilmiah dari berbagai sumber kredibel.

Mengapa ARV ?

Anti Retro Viral atau disingkat ARV adalah istilah untuk obat-obatan yang biasanya dipakai dalam tradisi pengobatan HIV-AIDS. Obat-obatan HIV antara lain, Lamivudin, Tenovofir, Stavudin, Emtricitabin, Abacavir, Indinavir, Delavirdin, Nevirapin dan Efavirenz. Obat-obatan ARV pertama kali diberlakukan sejak penggunaan Vidovudin untuk pengobatan HIV pada tahun 1987 [1]. Penemuan obat HIV-AIDS mengalami kemajuan dari waktu ke waktu hingga saat ini dan penggunaannya dalam terapi HIV menjadi goal standar. Pemberlakuan ARV sebagai obat yang diakui dunia setidaknya karena ARV sudah memiliki prinsip utama dalam dunia medis yang disebut Evidence Based Medicine/EBM (Kedokteran berbasis bukti). Ilmu kedokteran sejak zaman hippokrates (bapak ilmu kedokteran) hingga saat ini menerapkan pendekatan dengan prinsip Evidence Based Medicine (EBM) ini pada seluruh diagnosis dan terapinya. Esensi EBM ini adalah penerapan epidemiologi dan biostatistika pada pengelolaan pasien yang rasional, meningkatkan akurasi, efektifitas dan efisiensi serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran terkini [2].

Sebagai obat yang memenuhi prinsip esensial dan pendekatan EBM, maka  obat-obatan HIV-walaupun tidak melenyapkan virus AIDS-telah terbukti mencegah kematian dan meningkatkan harapan hidup orang yang terinfeksi HIV (ODHA). Esensi dasar ARV terkait EBM itu tampak  dari:

ads

Pertama: ARV memiliki mekanisme dan target kerja yang jelas. Berdasarkan mekanisme dan target kerjanya, maka obat-obatan HIV di atas diklasifikasikan ke dalam beberapa kategorisasi. 1) kategori Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) meliputi: Lamivudin, Emtricitabin, Abacavir, Stavudin, Tenovofir, Zalcitabin  dan Didanosin. Golongan obat-obatan ini merupakan prodrug yang harus diubah oleh kinase sel hospes menjadi senyawa trifosfat yang secara kompetitif menghambat nukleotida berikatan dengan reverse-transcryptase dan juga dapat memutus rantai DNA; 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs) meliputi: Delavirdin, Efavirenz, Saquinafir, Nevirapin dan Ritonavir. Golongan NNRTIs ini berikatan pada  transcryptase tempat yang berbeda dengan tempat ikatan NRTIs. Obat-obatan jenis ini tidak memerlukan aktivasi fosforilasi dan juga tidak bersaing dengan Trifosfat Nukleosida. 3) Protease Inhibitor (PIs) yang terdiri dari: Amprenavir, Lopinavir, Indinavir dan Nelfinavir. Golongan PI bekerja menghambat enzim protease pada virus [3]. Singkatnya golongan obat NRTIs bekerja menghambat enzim reverse transcriptase yang dimiliki virus HIV sehingga proses pembentukan rantai DNA dari RNA (menghentikan rantai replikasi) virus terhenti dan dapat memutuskan rantai DNA yang sudah terbentuk. Proses ini terjadi dalam sel tubuh manusia yang baru saja terinfeksi HIV.  Sementara Golongan ARV NRRTIs bekerja pada protein transkriptase tetapi pada tempat yang berbeda dengan tempat kerja NRTIs. Tempat kerja obat ini pada alosterik tempat ikatan non-substrat HIV [4a]. Sedangkan Golongan obat ARV jenis PIs bekerja dengan menghambat protein protease virus saat pematangan virus HIV sebelum dikeluarkan ke sel inang. Selain ketiga golongan obat HIV ini terdapat juga beberapa golongan ARV lainnya seperti: Integrase inhibitor dan entry inhibitor.

Baca Juga: Membongkar Mafia Bisnis Purtier Placenta di Tubuh KPA Papua

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kedua: Target terapi ARV jelas. Menurut World Health Organization (WHO) 2013, terdapat berbagai target pencapaian dari pengobatan ARV sebagai berikut: Secara klinis, kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan secara optimal dan dipertahankan tetap optimal selama mungkin. Umur harapan penderita diharapkan dapat diperpanjang selama mungkin sejauh dapat diupayakan oleh manusia secara wajar, rasional dan manusiawi. Secara imunologis, status imun yang terganggu diusahakan untuk dipulihkan. Jumlah limfosit total diusahakan dan dipertahankan  > 1200 dan atau CD4 ditingkatkan dan dipertahankan >500 sel per m. Dan secara virologis, jumlah virus dapat ditekan di bawah 400 kopi per militer atau idealnya dibawah 50 kopi permiliter dan dipertahankan tetap rendah selama mungkin. Kemudian secara terapeutik, obat ARV dapat diterima oleh tubuh penderita dengan efek samping dan resistensi seminimal mungkin, serta secara epidemiologis transmisi infeksi HIV menurun bermakna dan perjalanan epidemilogi HIV harus dapat dirubah [4b].

Selain berdasarkan EBM, ARV secara ekonomis, tidak dikemas dengan bisnis seperti MLM dan sebagainya. Secara global pun ARV diakui oleh dunia sebagai satu-satunya terapi untuk HIV. Hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian dari pengobatan yang telah dilakukan selama puluhan tahun. Di Indonesia, ARV diakui dan ditetapkan sebagai terapi utama HIV dengan adanya keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01.07/Menkes/90/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV dan Permenkes No. 21/2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS. Dimana peraturan ini merupakan hasil pembaharuan dari peraturan yang telah ada sebelumnya.

Mengapa Bukan Purtier Placenta?

Sebelum membahas aspek keilmiaannya, yang patut dipertanyakan oleh publik adalah mengapa tak satupun terdapat naskah-naskah publikasi ilmiah yang bisa didapatkan terkait purtier placenta di Internet atau bahkan di teks-teks buku? Padahal tentang ARV telah ada banyak tulisan, berita dan penelitian para ilmuwan yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah hingga buku-buku teks tebal yang membahasnya dengan sangat lengkap dan mudah diperoleh di Internet. Di sinilah letak awal indikasi ketidakberesan dari purtier placenta ini. Namun untuk sampai kesitu juga tergantung pada tiap individu orang. Bagi mereka yang suka update informasi secara rutin tentu tidak akan terhasut untuk percaya dengan mudah, dan sebaliknya bagi mereka yang jarang update dan tidak ilmiah, bisa saja mudah hanyut dan terhasut produk bisnis yang dikemas godaan income miliaran rupiah  berkedok kesehatan seperti ini.

Berdasarkan prinsip Evidence Based Medicine, maka dapat dikatakan bahwa pada produk purtier placenta ini tidak sama sekali memiliki prinsip tersebut. Hal ini dapat terlihat dari tingginya unsur subjektifitas dalam menarasikan efikasi dari purtier placenta tersebut oleh para pengidap HIV yang dinilai hanya dari semacam testimoni. Bukan atas dasar penelitian dan experiment ilmiah. Ini sebenarnya inti yang membuat purtier placenta tidak pernah diakui oleh dunia medis di mana-mana saat ini. Selanjutnya berikut ini merupakan berbagai fakta lain atas peredaran purtier placenta:

Pertama: Produk suplemen Purtier Placenta tidak memiliki mekanisme kerja dan target sel sasaran yang jelas. Dalam tampilan narasi maupun video pada situs-situs promosi yang berseliweran di internet soal produk ini, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana mekanisme kerja dan sel target dari substrat-substrat yang terkandung di dalam produk ini secara jelas. Di antara banyaknya tulisan yang ada, hanya menuliskan tujuan dan manfaat umum yang tidak detail dan tidak rinci yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Semestinya sebagai sebuah produk yang diklaim sebagai obat /suplemen HIV (Khususnya di Papua), ia memiliki kajian yang lengkap dibidang farmakologi dan farmakodinamika yang dapat ikut dijabarkan. Apa saja kandungan produk ini, mekanisme interaksi, hingga efek yang timbul sebagai aksi-reaksi dll. Selanjutnya produk ini juga tidak jelas bekerja pada sel apa saja dalam tubuh manusia. Sebab terdapat banyak jenis sel dan jumlahnya miliaran dalam tubuh manusia.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kedua, Purtier Placenta telah diteliti tidak mengandung stem cell (sel hidup). Temuan ini terkonfirmasi dari hasil penelitian  terbaru pertama yang dilakukan oleh University Of Cambridge.  Melalui sebuah jurnal ilmiah berjudul: “Determining and Charaterizing If Deer Placenta Stem Cell are Present in Commercial Food Supplement Capsule: Utilizing Microscopy, Elemental Analysis, Cytology, Histology, Imunnohisto chemistry and Flow Cytometry” [5].  Dalam penelitian tersebut mengungkapkan bahwa dari semua perlakuan tidak ditemukan adanya bahan dasar sel hidup (Stem Cell) berbentuk seperti powder/kue yang biasanya ditemukan dari suatu proses pembekuan-pengeringan substansi sel hidup. Tetapi yang diamati terdapat banyak minyak globulin, kolagen, protein, lipid dan banyak material solid, material kristal dan bahkan bakteri di dalam kandungan produk purtier placenta.  Dalam kesimpulannya,  para peneliti studi ini  menyatakan bahwa  mereka telah mengamati karakteristik sel hidup plasenta rusa dan yang terdapat di dalam suplemen itu. Mereka menemukan bahwa jika sel hidup memang terkandung dalam suplemen purtier placenta, maka tidak mungkin akan memasuki sirkulasi dan bertahan hidup. Sebab akan rusak oleh enzim-enzim sistem pencernaan. Ukuran stem cell hewan Mamalia tidak berbeda jauh dengan tikus yaitu sekitar 28-29 μm. Maka tidak dapat mungkin melalui mikrovili usus. Demikian hasil paparan penelitian itu.

Ketiga: Purtier Placenta banyak  ditolak  dan dianggap produk ilegal. Berdasarkan hasil penelusuran, ternyata keberadaan purtier placenta telah menuai banyak penolakan dan oknum-onumnya diproses hukum oleh otoritas-otoritas kesehatan di dunia. Hal itu sebagai akibat dari efikasi produk yang dianggap tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Di Singapura pada 11 Juni 2019 lalu, otoritas ilmu kesehatan telah memperingatkan pihak Riway yang merupakan perusahaan yang memproduksi purtier placenta, karena dianggap menciptakan klaim yang salah bahwa suplemen purtier placenta dapat mengobati penyakit kanker. Demikian dikutip dari tulisan Vinleo Ang dalam artikel berjudul: “ HSA To Riway: Stop Making False Cancer Cure Claim” yang dipublis oleh situs SBO.sg [6].  Pemerintah Singapura menyatakan bahwa telah menginstruksikan penyelidikan, dan apabila terdapat promosi yang salah (propaganda) oleh para agen pejualnya dan apabila kemudian terbukti, maka akan ditangkap dan didenda  lebih dari 5,000  US dolar.  Juru bicara otoritas Kesehatan Singapura mengatakan: “ tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung klaim mereka. Dan secara ilmiah juga tidak ada bukti bahwa terapi stem sel dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan kondisi medis lainnya. Sebab stem sel hidup yang dimakan lewat oral (mulut) pada umumnya akan dirusakkan oleh enzim-enzim pencernaan di mulut, lambung hingga usus kita,” demikian keterangan mereka. Pada kesempatan itu pihak PT. Riway dan direkturnya, Lim Boon Hong yang dihubungi oleh wartawan The Straits Times tidak mengkonfirmasi  hingga berita itu diturunkan.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Purtier Placenta dan Kontroversinya

Di Amerika, sebagaimana dirilis oleh media usatoday.com pada  5 Juli 2017 melalui artikelnya bertajuk “Eating Plasenta Pills could Harm your Babi, CDC Warn”. Seorang asisten Profesor Obstetri dan Ginekologi pada klinik Mayo, menyatakan bahwa: “itu proses yang tidak alami,  plasenta hewan tidak boleh dikapsulkan lalu dimakan” [7]. Dan menurut beberapa pakar lainnya tidak ada bukti valid yang dapat diyakini dengan memakan plasenta dapat menyembuhkan penyakit tertentu.

Demikian halnya di Uni Emirat Arab, Purtier Plasenta dipropagandakan sebagai suatu suplemen diet yang berfungsi untuk mengobati tekanan darah, diabetes dan disfungsi seksual. Dr. Amin Hussein Ali Amiri dalam artikel UAE ministry Issues Warning Againts Deer Placenta ‘Wonder Drug’ menyatakan bahwa: “ produk dari Selandia Baru yang dijual dengan harga Dh 1.384 tersebut tidak terdaftar di kementerian, spesifikasinya tidak ilmiah dan memiliki resiko masalah kesehatan yang tinggi”,ungkapnya. Dr. Amin bereaksi setelah  menonton adanya iklan plasenta rusa yang marak di media sosial. Dia menegaskan bahwa mempergunakan sel hewan pada manusia adalah tidak etis dan memerlukan lebih banyak studi dan penelitian tentang keamanannya ketika digunakan pada manusia [8].

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Food and Drug Administration (FDA) pemerintah Filipina dalam suatu imbauannya yang dikeluarkan pada 30 Mei 2018  menyerukan agar publik berhati-berhati terhadap iklan dan promosi tidak benar, tidak valid dan tidak ilmiah dari Purtier Plasenta Rusa plus suplemen makanan yang termonitor pada banyak website di internet. Dalam himbauan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Departemen Kesehatan, Nela Charade G.Puno, RPh itu menyatakan semua iklan produk purtier plasenta Rusa itu sebagai “No Approved Therapeutic Claim” atau klaim terapi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya [9]. Dalam dokumen imbauan itu mencantumkan gambar produk purtier plasenta edisi ke lima dengan kemasan botol putih dengan penutupnya berwarna merah tua sedangkan bungkusannya berwarna merah tua dengan tulisan berwarna putih.

Sementara di Indonesia, seorang peneliti  dari Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Kalbe Farma, Indra Bactiar, PhD mengingatkan agar masyarakat jangan mudah percaya pada produk stem sel yang sekarang sedang marak. Dia menyarankan agar untuk tidak mudah terhasut dan membeli produk apa saja yang dipercaya memiliki kandungan stem sel di dalamnya. “Ada produk yang katanya dari stem sel dan bisa dimakan, lalu ada juga stem sel dari apel, dan stem sel dari anggur sedangkan pada prinsipnya stem sel itu sendiri adalah sel hidup. Stem sel manusia ya buat manusia, masa stem sel dari buah-buahan untuk manusia ?”, tuturnya dalam suatu workshop media bertema ” Stem cell Technology For Better Life” di Bogor Maret 2014 silam [10]. Selanjutnya dia mengatakan bahwa ada temannya bilang banyak masyarakat Indonesia yang keluarkan banyak uang hanya untuk membeli produk stem itu. Padahal tidak memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan.” Tak heran kalau pada akhirnya masyarakat kita selalu menjadi sasaran empuk produk-produk luar dan liar,” katanya dengan nada prihatin.*

Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka ARV tetap menjadi terapi pilihan yang direkomendasikan oleh dunia untuk pengobatan HIV-AIDS saat ini walaupun masih lekat dengan beberapa kekurangannya. Sementara itu, di banyak negara menolak peredaran dan keberadaan Purtier Placenta yang diklaim sebagai obat dan secara samar-samar sebagai suplemen. Perlu dicatat dan digarisbawahi bahwa jika Purtier Placenta ini benar-benar suatu obat atau bahkan suplemen, maka mestinya terdapat kajian ilmiah yang dipublikasi sehingga semua pihak dapat mengetahui dan memahaminya terutama para akademisi, ilmuwan dan dan para medis. Tetapi apabila hingga artikel ini tayang tidak ada argumentasi ilmiah yang dipublikasi, maka dapat dipastikan bahwa produk tersebut bukan saja produk haram tapi ilegal dan berbahaya sehingga musti dihindari.

)* Penulis: Adalah Seorang Anggota Non Aktif  KPA Papua dan  Dokter Muda di Papua

 

Referensi

  1. Arif Azalia et al, 2014. Farmakologi. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal 433-438.
  2. Tjokroprawiro Askandar et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hal. 4
  3. Johnson G.Arthur et al, 2011. Mikrobiologi dan Immunologi. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara. Hal. 254.
  4. Ref. 2, Hal 678.
  5. Santos LD et al, 2019. Determining and Characterizing If Deer Placenta Stem Cell are Present in Commercial Food Supplement Capsule: Utilizing Microscopy, Elemental Analysis, Cytology, Histology, Imunnohistochemistry and Flow Cytometry. America: Cambridge University. Hal.1099
  6. Http://www.sbo.sg (Diakses pada 8 Desember 2019)
  7. Http://www.usatoday.com (Diakses pada 9 Desember 2019)
  8. Http://www.m.khaleejtimes.com (Diakses pada 9 Desember 2019)
  9. FDA Advisory, 2018. Republic Of Philippines Department of Health Food and Drug Administration.
  10. Http://www.liputan6.com (Diakses pada 10 Desember 2019)
Artikel sebelumnyaPemkab dan DPRD Diminta Segera Sikapi Kondisi Intan Jaya
Artikel berikutnyaDua Anggota TNI Tewas dalam Baku Tembak di Intan Jaya