Masih Pentingkah Keberadaan NATO?

0
2314

Oleh: Lawrence A. Franklin)*

Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengadakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) selama dua hari di London. Tanggal 3-4 Desember 2019 lalu. Acara yang diadakan untuk memperingati ulang tahun ke-70 organisasi tersebut mungkin ditandai oleh kontroversi. Tetapi bagaimanapun, pertemuan itu merupakan pengingat penting mengapa aliansi internasional didirikan sejak awal.

NATO didirikan April 1949 oleh Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Denmark, Prancis, Islandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal dan Inggris. Ia menjadi pakta pertahanan, yang didesain untuk melawan ancaman terbesar dunia saat itu: Uni Soviet dengan perjuangannya untuk mendominasi global.

Pada saat itu, jelas bahwa semua anggota NATO bergantung dan tunduk pada kepemimpinan politik dan militer Amerika. Namun, sejak runtuhnya Uni Soviet, beberapa negara anggota NATO yang bergabung sejak awal mulai mencari sistem yang khusus melindungi kepentingan individu mereka.

Jerman, misalnya, sudah menjadi kekuatan ekonomi Eropa. Ia menikmati keseimbangan perdagangan yang menguntungkan dengan AS. Prancis tidak lagi melihat Rusia sebagai ancaman eksistensial terhadap Dunia Bebas. Namun, negeri itu kini tampaknya lebih termotivasi untuk melindungi sayap selatan NATO dari kelompok-kelompok teroris Islam radikal di Afrika Barat. Juga dari migrasi massal dari bekas koloni Prancis di Afrika Utara.

ads
Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Banyak negara bekas satelit Soviet pun bergabung dengan aliansi itu. Seperti Polandia, Hongaria, dan negara-negara di kawasan Baltik. Negara-negara itu bagaimanapun, masih menganggap Rusia pasca-Komunis sebagai ancaman potensial yang sangat meresahkan. Persoalan itu hanya satu masalah yang menyebabkan terjadinya gesekan di antara negara-negara NATO. Terutama dengan keputusan Turki untuk membeli sistem pertahanan udara Rusia. Perselisihan internal lainnya adalah karena beberapa anggota tidak mau mengeluarkan biaya pertahanan minimum sebesar 2% dari PDB. Sasaran itu tampaknya hendak ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg.

Masih ada masalah lain yang belum disetujui oleh negara-negara NATO adalah:

  • Apakah NATO harus memperlakukan Cina sebagai pihak yang bisa diajak untuk bekerja sama, pesaing atau musuh. Akankah NATO membantu AS jika negara itu memutuskan menanggapi diplomasi kapal perang Cina secara militer?
  • Apakah NATO harus berperan sebagai pelindung yang melawan semua negara agresif, seperti Iran. Apakah semua negara NATO, yang sekarang berjumlah 29, setuju membantu Israel, satu-satunya negara demokratis di Timur Tengah, dalam perang habis-habisan dengan Republik Islam?
  • Apakah Pasal 5 piagam NATO, yang merupakan landasan perjanjian yang hanya sekali diminta dalam sejarahnya masih berlaku. Permohonan itu diajukan pasca-serangan mengerikan 11 September 2001 atas Menara Kembar Kantor Perdagangan Dunia di New York. Akankah serangan dunia maya Rusia di Estonia, misalnya, menjadi bukti kelemahan komparatif militer NATO untuk menanggapinya? Apakah semua negara anggota organisasi itu bersedia membela Negara Montenegro yang kecil jika Moskow mendukung satu pihak dalam perang saudara di sana, seperti yang terjadi di Ukraina?
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Semua hal di atas mengarah kepada pertanyaan yang lebih besar. Kepada pertanyaan tentang sejauh mana negara-negara musuh menganggap NATO sebagai organisasi terpadu yang akan menanggapi secara militer agresi terhadap negara anggota mana pun yang merupakan faktor psikologis penting dalam pencegahan.

Akibat tidak adanya perpaduan di antara para anggotanya dan penolakan yang dialaminya, NATO menjadi tidak lagi layak atau penting lagi untuk hidup. Tetapi alasan keberadaannya belum dihapuskan karena “kebijakan ruang angkasa baru” sampai “sharing informasi, meningkatkan kemampuan negara-negara anggota untuk bekerja sama (interoperability) sehingga bisa memastikan bahwa misi dan operasi [nya] dapat meminta dukungan yang mereka butuhkan.” Dan “Inisiatif Kesiapannya,” yang berdasarkan langkah pionir itu, maka “pada tahun 2020, Sekutu akan menyediakan 30 kapal tempur, 30 batalyon darat, 30 skuadron udara, untuk siap dalam 30 hari.”

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

)* Dr. Lawrence A. Franklin adalah seorang Perwira Urusan Iran untuk Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Dia juga masih aktif bekerja pada Angkatan Bersenjata AS sekaligus Kolonel pada Pasukan Cadangan Angkatan Udara. Artikel ini diterjemahkan dari naskah asli berjudul “Is NATO still Vital?” yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Gatestone Institute, 12 Desember 2019. Penterjemah Jacobus E. Lato.

SUMBERgatestoneinstitute.org
Artikel sebelumnyaOperasi Trikora 19 Desember 1961
Artikel berikutnyaPeringati Hari Trikora, AMP Bali Desak Bebaskan Tapol Papua Tanpa Syarat