Peringati Hari Trikora, AMP Bali Desak Bebaskan Tapol Papua Tanpa Syarat

0
1576
AMP KK Bali saat jumpa pers peringati hari Trikora 2019. (IST - SP)
adv
loading...

Siaran Pers 

TRIKORA 19 Desember 1961 Ilegal, Bebaskan Tahanan Politik Tanpa Syarat dan Berikan Kebebasan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Bangsa Papua Barat

Tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan TRIKORA di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta dengan tujuan untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua Barat yang telah dideklarasikan pada 1 Desember 1961. TRIKORA merupakan ekspresi awal dilakukan-nya penjajahan Indonesia atas Negara Papua Barat yang fakta-nya bukan bentukan Belanda.

Realisasi dari isi Trikora, Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer dengan nama Operasi Mandala ke wilayah Papua Barat untuk menganeksasi wilayah West Papua ke NKRI. Isi Trikora yang dicetuskan adalah pertama Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda, Kedua Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, Ketiga Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Akhir-nya , sejak TRIKORA dicetuskan muncullah beragam Operasi militer lainnya, yakni operasi militer lewat udara dan jalur darat dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus), Operasi Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, Operasi Mapeduma, Operasi Khusus Penenganan Pepera, Operasi Tumpas, Operasi Koteka, Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari, Operasi Rajawali, Operasi Maleo.

ads

Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan banyak rakyat Papua Barat yang telah dibantai pada waktu itu dan beragam operasi lainnya masih berlanjut hingga rakyat  Papua Barat menjadi minoritas dari ‘Slow System Genocide’ yang di lakukan oleh kolonialisme Indonesia. Beragam Operasi yang di lakukan oleh kolonialisme Indonesia di Papua Barat merupakan dalil untuk melakukan beragam eksploitasi liar bersama negara-negara Imprealis yang rakus sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi monopoli dunia.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Selama 58 Tahun dibawa Pemerintahan kolonialisme Indonesia sangat cukup kuat militer dan Ormas Reaksioner bentukkannya terus melakukan praktek-praktek  diskriminasi rasisme, penangkapan pemenjaraan terhadap mahasiswa maupun rakyat  tanpa syarat, memainkan propaganda penipuan di media mainstream, eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya Alam, distorsi Informasi, penyiksaan, Genocide perlahan dan melakukan bisnis ilegal logging, penjualan minuman keras dan memantau setiap gerakan rakyat Papua Barat. Selain dari itu, Operasi militer terus dilakukan di Ndugama West Papua yang kini telah satu tahun dua minggu mengakibatkan 189 orang meninggal.

Dari itu, merujuk dengan isu rasisme bahwa  Pada 16 Agustus 2019 di Asrama Kamasan Papua Surabaya terjadi ungkapan kata-kata rasisme oleh TNI/PORLI, Ormas Reaksioner, dan SATPOL PP serta Oknum Lainnya tanpa mengetahui siapa yang merusak atau membuangnya Bendera Merah Putih di selokan, dan akhirnya pada  17 Agustus 2019 berunjuk dengan pengeledahan Asrama Kamasan Papua dan terjadi Penangkapan 42 Mahasiswa Papua lalu dibawa ke Porlestabes Surabaya untuk di Interogasi, akhirnya di bebaskan pada malam hari. Dari kata-kata rasisme yang di keluarkan oleh Oknum-Oknum tersebut membuat Rakyat West Papua menyikapi dengan aksi-aksi demonstransi damai seluruh tanah air West Papua dan mahasiswa pun melakukan dengan aksi demonstrasi damai di luar wilayah West Papua seperti di jawa, Bali, Makasar, NTT, Sulawesi dll. Proses Aksi demostrasi damai yang di lakukan banyak terjadi penangkapan hampir dari 1000-an di wilayah West Papua maupun luar West Papua. Namun, di bebaskan dan ada yang dikenakan makar sebanyak 84 orang. Proses, makar ini tanpa prosedur yang jelas dari pihak keamanan melakukan penangkapan tanpa surat keterangan atau sewenang-wenangnya. Penangkapan di Deiyai pada 28  Agustus 2019 sebanyak 7 orang masih dalam tahanan, pada 30-31 Agustus 2019 sebanyak 6 tahanan masih dalam tahanan di Jakarta, 7 orang tahanan di bawa ke Kalimantan Timur masih dalam tahanan dan bebarapa tahanan yang masih belum bebas juga. Operasi militer dari Trikora 1961 Masih berlanjut, pada 12-18 Desember 2019 ada pengiriminan militer sebanyak  5.000 personel dikrim ke beberapa kabupaten yang ada di Papua seperti di Intan Jaya di Krim 1000 militer, Di Paniai 1000 militer termasuk Deiyai dan Dogiyai serta ke daerah-daerah lain yang dikatakan daerah rawan oleh Militer Indonesia. Pengiriman militer ini, membuat masyarakat traumatis, ketakutan dalam suasana perayaan Natal bagi rakyat West Papua.

Baca Juga:  Pelajar dan Mahasiswa Papua di Salatiga Sukses Hadirkan HIPMAPA

Dari rentetan-rentetan tersebut, kerja kolonialistik,sangat fasis terhadap Rakyat West Papua bahwa dijadikan kasus makar seketika rakyat melakukan kebebasan ekspresi dan diberikan daftar Pencarian Orang (DPO), melakukan pemusnahan etnis (Genocide), Negara dan militerisme sangat menjajah West Papua secara masif. Pembungkaman ruang demokrasi sudah terbiasa oleh Negara dan Pihak Keamanan. Itu merupakan suatu penjajahan  terhadap bangsa West Papua yang sedang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Dan eksploitasi sumber daya alam pun terus di lakukan bagian dari kerusakan bumi West Papua seperti Freeport di Mimika, MIFFE di Merauke, Kelapa Sawit di beberapa wilayah, Perusahaan  kayu di Sorong, Perusahaan Minyak di Sorong dan lain-lain di eksploitasi secara liar dengan pendekatan militer yang masif melalui persenjataan lengkap hingga 58 Tahun ini.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Dengan melihat catatan Sejarah Rakyat dan Bangsa Papua Barat yang terus berjuang hingga saat ini dan bertepatan dengan peringatan hari TRIKORA yang ILEGAL di Papua Barat dari tanggal 19 Desember 1961 hingga 2019 yang ke  58 Tahun, maka Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komitte Kota Bali, Menuntut Indonesia dan PBB Segera Mengakui Kedaulatan  Negara Papua Barat dan Menyatakan sikap:

  1. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Bangsa Papua Barat
  2. Indonesia dan PBB harus mengakui TRIKORA 19 Desember adalah Awal Pemusnahan Rakyat Asli Bangsa Papua Barat
  3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.
  4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFE, dan yang lainnya, yang merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.
  5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa Papua Barat.
  6. Segera Jamin Kebebasan Jurnalis Nasional, Internasional dan akses terhadap informasi di Papua Barat.
  7. Bebaskan Seluruh Tahanan Politik West Papua maupun Indonesia Tanpa Syarat Termasuk Surya Anta dan kawa-kawan lainnya.
  8. Hentikan Diskriminasi Rasisme, Produk Kolonialisme (Pemekaran-Pemekaran, Otsus, Jln Trans Papua) dan Pembungkaman ruang Demokrasi di West Papua

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.

Kamis, 19 Desember 2019

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat! 

Juru Bicara

NATALIS BUKEGA

Artikel sebelumnyaMasih Pentingkah Keberadaan NATO?
Artikel berikutnyaAJI Jayapura Kecam Kekerasan Polisi Terhadap Wartawan Jubi