Hidup dan Misteri Penderitaan Rakyat Papua

0
3379

Oleh: I Ngurah Suryawan)*

 Hidup ini Suatu Misteri

 Ciptaan: Arnold Clement Ap

 Tak terbayang juga tak terduga

Beginilah kenyataan ini

ads

Aku tekurung didalam duniaku

 

Yang kudamba, yang kunanti

Tiada lain hanya kebebasan

 

Andai saja aku burung elang

Terbang tinggi mata menelusur

Tapi sayang nasib burung sial

Jadi buruan akhirnya terbunuh

 

Yang kudamba yang kunanti

Tiada lain hanya kebebasan.

Tersayat saya membaca dan menyaksikan lewat media sosial sidang dugaan makar dan bermufakat jahat terhadap negara yang dilakukan aktivis Papua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 Desember 2019. Para aktivis ini, Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere, pada dakwaan pertama dijerat dengan Pasal 106 junto Pasal 55 ayat 1 butir 1 KUHP tentang makar. Pada dakwaan kedua, mereka dikenai Pasal 110 ayat 1 KUHP mengenai pemufakatan jahat. Mereka ditangkap oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pengibaran bendera bintang kejora dalam aksi unjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019. Sebelum unjuk rasa ini, terjadi pengepungan terhadap Asrama Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Saya bisa membayangkan suasana sidang yang emosional sekaligus menyesakkan bagi yang bisa menghayatinya. Satu momen yang menurut saya merepresentasikan kondisi yang terjadi di Tanah Papua adalah saat para aktivis ini berdoa dan menyanyikan lagu Mambesak cipataan almarhum Arnold Clement Ap, “Hidup ini Suatu Misteri”. Jika menghayatinya lebih dalam, lirik lagu ini memiliki arti yang mendalam. Salah satu fase penting kehidupan rakyat Papua di negeri ini adalah sejarah kekerasan dan penderitaan yang tiada henti. Arnold Ap menuliskan dengan lantang nasib burung elang yang jadi buruan (dan) akhirnya terbunuh. Selain menggambarkan nasibnya sendiri, Arnold Ap mengajak kita bercermin untuk melihat dna merasakan nasib rakyat Papua yang hingga kini masih terus diburu dan dilenyapkan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Demikianlah fakta kekerasan dan penderitaan rakyat Papua yang tidak bisa diabaikan negara ini. Tentu, ini tidak mungkin disimpan terus-menerus dalam selimut pembangunan infrastruktur yang kini terus digenjot. Mozaik pembangunan yang ditawarkan di Bumi Cenderawasih terkesan apolitis dan mengabaikan fakta kekerasan dan penderitaan ini. Berkelit dari kekerasan, kini negara menghadirkan bangunan fisik dan janji kesejahteraan. Soalnya adalah, adakah negara dengan aparatusnya memiliki jalan lain (baca: kreatifitas) selain hanya memilih jalan keamanan dan janji kesejahteraan? Kenapa takut untuk mengakui kekerasan dan mengungkapnya?

Enam aktivis Papua di Jakarta saat sidang di PN Jakarta Pusat. (IST – SP)

Misteri      

Batas antara hidup dan ajal begitu tipis bagi orang (asli) Papua. Mereka terkurung dalam “duniaku” yang tanpa bisa mereka kendalikan. Dunia yang justru membuat mereka satu persatu menjadi korban di tanah leluhur mereka sendiri. Budi Hernawan dengan mengutip Achille Mbembe (2003) menggunakan istilah necropolitics yaitu politik yang membenarkan cara-cara yang negara gunakan dalam memikul, mengendalikan, dan menggunakan hak berdaulat atas kematian dan kehidupan warganya. Praktiknya, pembunuhan-pembunuhan terhadap orang (aktivis) Papua menunjukkan cara bagaimana aparat negara Indonesia mengendalikan kehidupan dan kematian warga negaranya yang dianggap sebagai ancaman kedaulatan negara. Itu berlangsung tanpa henti dan ini tentu sangat menyesakkan.

Ekspresi kebudayaan dan politik yang mereka suarakan terus-menerus terhadang tembok kekuasaan. Sejarah panjang kekerasan dan pembantaian rahasia yang dilakukan oleh Negara dan aparat keamanannya tidak pernah berhenti. Diskriminasi mengelilingi ruang gerak mereka tanpa henti. Sementara kekerasan rasisme dan ujaran kebencian berlangsung gamblang malah direspon dengan kekerasan dan penangkapan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tidaklah heran, dalam situasi seperti itu, hidup dan ajal selain tipis artinya, juga adalah sebuah misteri yang tidak dapat mereka artikan. Di tengah tekanan rasisme, kekerasan dan penderitaan tersebut, suara-suara kebebasan adalah sebuah keniscayaan. Seperti kata Arnold Ap, dalam lagu yang saya kutipkan di atas, “yang kudamba yang kunanti Tiada lain hanya kebebasan”.

Kemanakah misteri hidup, kekerasan, dan penderitaan akan bermuara? Dua hal yang saya catat menyemburkan harapan adalah pertama adalah penafsirkan “misteri kehidupan” oleh kelompok anak muda Papua dengan dunia dan imajinasinya sendiri. Kelompok muda Papua berbasis dengan organisasi pergerakan yang modern ini bergerak seiring dunia yang terhubung tanpa sekat. Konsolidasi, diskusi, dan aksi berdialektika. Kelompok organisasi sipil dan aktivis muda dalam media dan HAM (Hak Asasi Manusia) juga berkelidan di dalamnya. Kelompok-kelompok gerakan yang cair dan berjejaring ini sangatlah dinamis dan penting dalam melihat Papua kontemporer.

Namun, satu hal yang secara berhati-hati memahaminya adalah melihat “dunia berpikir” mereka yang saling berpadu antara dunia tanpa sekat (global) dengan pondasi leluhur. Satu medium yang menjadi ekspresi itu adalah lagu dan tarian. Falsafah hidup kebudayaan dan leluhur itulah yang terekspresikan menjadi lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ritual-ritual adat bahkan aksi demonstrasi. Yeimo (2017 dalam Suryawan, 2017) mencontohkan salah satu lagu dari Orang Mee yaitu Mu Man Minggil yang berarti jalan ke tanah leluhur yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Willem Giryar dari Grup Mambesak untuk mengenang kekerasan yang menimpa orang-orang Papua di tahun 1980-an.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?
Arnold Ap (memegang gitar sebelah kiri) memainkan lagu-lagu bersama dengan teman-temannya di Grup Mambesak (foto: Marthen Rumabar in Diana Glazebrook, Permissive Residents: West Papuan Refugees Living in Papua New Guinea, ANU E-Press, 2008, p. 40).

Poin kedua adalah fragmentasi, baku tumbuk (saling tikam) antara sesama orang Papua dalam merepresntasikan dirinya. Sebenarnya ini sudah mulai terlihat dari apa yang ditengarai oleh Giay (2000) bahwa kekuasaan Indonesia membutuhkan kaki tangannya di Papua sejak awal berintegrasi (aneksasi). Mental para birokrat Papua dan juga generasi muda sebagian besarnya terbentuk dari pendidikan Indonesia. Namun, belajar dari pendidikan Indonesia juga membuat mereka memahami bagaimana baku tipu (saling menipu) itu terjadi dan terpelihara, dimana rakyat Papua selalu menjadi obyek penderitanya.

Rakyat Papua, generasi muda, dan para birokrat Papua, berada dalam ruang-ruang antara tersebut. Pada situasi-situasi tertentu, seperti kerusuhan pasca ujaran rasisme 2019, kita menyaksikan para broker yang “menjual” isu-isu kekerasan dan penderitaan untuk tujuan ekonomi politik dan kekuasaan. Salah satunya adalah pemekaran daerah. Keseluruhannya adalah gula-gula (pemanis) dan panggung-panggung yang menjerat cara berpikir dan perilaku orang Papua untuk menipu saudaranya sendiri. Disinilah yang saya maksud dengan fragmentasi dan baku tumbuk tersebut.

Cepat atau lambat, misteri kehidupan, dan kekerasan penderitaan harus dijawab oleh rakyat Papua sendiri. Jawabannya tidak lain adalah “bangkit dan memimpin diri sendiri” melawan kekuasaan dan kekerasan, berjuang menghadapi penderitaan, dan mandiri serta berdaulat di atas kaki sendiri.

Wa…Wa…Wa…

)* Penulis adalah Antropolog yang menulis buku Jiwa yang Patah: Rakyat Papua, Sejarah Sunyi, dan Antropologi Reflektif (2019)

Artikel sebelumnyaNegara Diminta Hargai Hak Hidup TNI/Polri dan Masyarakat Papua
Artikel berikutnyaWarga Distrik Hitadipa yang Lari ke Hutan Mulai Kembali ke Rumah