Rekonsiliasi Papua: Upaya Mengubah Paradigma Negara?

0
1724

Oleh: Yohanes Prasetyo)*

Perdamaian merupakan harapan dan cita-cita bersama yang didambakan semua orang. Ketika damai itu didambakan dan diharapkan oleh semua orang maka sebenarnya kita perlu menyadari bahwa ada situasi tidak damai yang sedang kita hadapi. Situasi tidak damai inilah yang membuat banyak orang berusaha agar damai itu tercipta.

Sejalan dengan hal itu maka, keadilan menjadi jaminan munculnya damai di Papua. Keadilan harus ditegakkan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Papua. Jika yang ada adalah ketidakadilan, maka ketidakdamaian juga terjadi di sana. Yang terjadi, orang akan merasa tidak nyaman, tidak tenang, gelisah, khawatir, takut yang berlebihan dan sebagainya.

Situasi tidak damai di Papua, disebabkan karena akar masalah yang tidak pernah terselesaikan hingga kini. Akar masalah inilah yang membuat ketidakadilan muncul ke permukaan, yang tentunya membuat manusia Papua merasa tidak damai di atas tanahnya sendiri. Akar masalah yang dimaksud disini diakibatkan oleh konflik antara Jakarta vs Papua. Pater Neles Tebay dalam bukunya tentang “Dialog Jakarta-Papua sebuah Perspektif Papua” telah menjelaskan bahwa sejarah integrasi merupakan akar konflik bagi orang Papua dan negara. Orang Papua menyadari bahwa harus ada pengakuan dan pelurusan sejarah. Sejarah politik terutama sejarah integrasi tahun 1963 melalui Pepera harus direkonstruksi kembali karena prosedurnya cacat hukum. Sedangkan bagi pemerintah Indonesia sejarah ini sudah final bahwa Papua adalah bagian dari NKRI sejak Pepera itu terjadi.

Pemahaman dan konsep sejarah yang berbeda ini kemudian memunculkan polemik yang besar. Menyebabkan negara melakukan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Perlawanan mengenai pelurusan sejarah itu terus dilakukan oleh orang Papua. Sehingga hal ini kemudian ditanggapi oleh pemerintah dengan pendekatan militeristik dan menyebabkan pelanggaran HAM. Sudah ribuan orang Papua mati di ujung bedil karena memperjuangkan aspirasi Papua Merdeka. Padahal dalam UUD 1945 Negara menjamin rakyatnya untuk berpendapat di muka umum (UUD no.9 thn 1998).

ads

Tentunya dengan latar belakang sejarah konflik Papua yang panjang, kedamaian itu kemudian menjadi terancam di atas tanah ini. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan untuk menciptakan keadilan adalah dengan cara rekonsiliasi. Upaya rekonsiliasi ini harus mencakup semua segi kehidupan orang asli Papua. Rekonsiliasi perlu dilakukan dengan menjawab kebutuhan mendasar manusia Papua bahwa mereka mendambakan kedamaian. Mereka harus merasa bebas di atas tanah mereka sendiri. Mereka perlu diberi keadilan yang setara dengan daerah-daerah lain. Manusia, alam dan kekayaan lainnya yang ada di tanah ini perlu disadari bahwa Papua bukan tanah kosong yang menjadi kepentingan elit negara dan korporasi.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Dengan demikian, upaya rekonsiliasi ini berusaha mengubah rasa prasangka, rasa curiga berlebihan dan sebenarnya stigmatisasi negara terhadap orang Papua. Rekonsiliasi mengupayakan sebuah metode mencari dan memecahkan akar konflik lalu mencari solusi damai menuju kepada kepentingan bersama yakni kedamaian untuk semua orang. Terutama damai bagi orang Asli Papua itu sendiri.

Mengapa rekonsiliasi dibutuhkan di Papua?

Pertanyaan ini menarik untuk kita lihat bersama. Tujuan dari rekonsiliasi adalah untuk melindungi orang Papua dari kepunahan. Rekonsiliasi dibuat demi penyadaran bersama bahwa manusia Papua sedang menuju kepada kepunahan itu sendiri.  Orang Papua semakin termarginalisasi di atas tanahnya sendiri. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, yakni faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya. Melihat situasi ini, jelas bahwa orang Papua menginginkan kedamaian.

Oleh sebab itu upaya rekonsiliasi harus menjadi jalan keluar yang mencerahkan semua orang bahwa urgensi kedamaian dan populasi orang Papua perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Tetapi selama ini hal tersebut tidak pernah dilaksanakan.

Upaya rekonsiliasi bertujuan untuk meminimalisir kejahatan yang dilakukan oleh negara melalui elit politik dan korporasi. Upaya rekonsiliasi dibutuhkan untuk menyadarkan negara bahwa orang Papua membutuhkan keadilan demi terciptanya kedamaian itu sendiri.

Rekonsiliasi sebagai upaya damai di Papua

Rekonsiliasi sebagai upaya damai di Papua bertujuan untuk merubah stigmatisasi dan paradigma sebelah mata negara terhadap orang Papua. Sampai detik ini masih bisa dikatakan bahwa Pemerintah dan negara menciptakan situasi yang menyebabkan negara sendiri tidak percaya terhadap orang Papua. Negara masih merasa bahwa orang Papua bukanlah bagian dari negara sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan terancamnya orang Papua saat menyatakan pendapat di muka umum, masih marak terjadinya pelanggaran HAM, hutan dan lahan dieksploitasi, masalah pendidikan dan kesehatan dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami perkembangan. Buktinya adalah sampai hari ini masih ada sekolah yang gurunya tidak ada. Sampai hari ini masih ada anak yang mengalami gizi buruk. Ini contoh kasus yang memperlihatkan bahwa dana Otsus yang triliunan rupiah bukan jaminan bagi keadilan dan kedamaian bagi orang Asli Papua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Rekonsiliasi sebagai upaya damai memang perlu ditegakkan dan dilaksanakan oleh semua pihak sebagai sebuah langkah jangka pendek. Rekonsiliasi yang diharapkan oleh orang Papua ialah bukan persoalan “bakar batu” lalu semua selesai. Tetapi rekonsiliasi adalah jaminan hidup yang diberikan oleh negara kepada orang Papua harus dilihat kembali. Jaminan negara terhadap orang Papua mengenai demokrasi menyatakan pendapat di muka umum harus ditegakkan. Negara jangan alergi dengan kelompok Papua merdeka dan organisasi-organisai kemerdekaan politik yang digalakkan oleh orang asli Papua. Justru harus sebaliknya negara mengakui kelompok ini sebagai representasi orang Papua. Setelah adanya pengakuan, maka negara perlu mengupayakan bagaimana menjamin dialog bersama dengan kelompok-kelompok ini sebagai bukti pengakuan negara terhadap eksistensi orang Papua itu sendiri.

Upaya rekonsiliasi juga adalah upaya damai yang dalam hal ini, orang Asli Papua membangun kembali kepercayaan terhadap negara. Krisisnya kepercayaan orang asli Papua terhadap negara memunculkan atau berdampak juga terhadap kehidupan sosial masyarakat Papua. Sesuai dengan realitas saat ini bahwa dalam realitas masyarakat di Papua terjadi dua kelompok yang bisa menimbulkan konflik horisontal. Konflik Papua menyebabkan terjadinya dua kelompok yakni kelompok “kami” dan kelompok “mereka”. Padahal menjadi jelas bahwa konflik Papua adalah konflik antara negara dan orang asli Papua. Oleh sebab itu negara harus melakukan upaya-upaya rekonsiliasi yang membangkitkan kembali rasa kepercayaan orang asli Papua terhadap negara itu sendiri.

Rekonsiliasi usaha mengubah Stigmatisasi terhadap orang Papua

Hidup damai dan sejahtera merupakan sasaran pokok usaha dibuatnya rekonsilisi. Maka, rekonsiliasi diperlukan utuk menciptakan damai di Papua. Rekonsiliasi berarti usaha memulihkan keselarasan yang terjadi di dalam konflik. Rekonsiliasi berarti berakhirnya permusuhan antara dua pihak. Rekonsiliasi mengacu ke proses yang diawali dengan pengampunan tindakan-tindakan masa lalu dan berakhir dengan perdamaian. Pada dasarnya, rekonsiliasi merupakan usaha mengakhiri permusuhan dan mendorong terciptanya perdamaian agar konflik tidak terus terjadi (bdk.Brian Starken CSSP dan Robert Schreiter CPPS: 2002,26).

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Maka hal yang penting ialah menghimbau kepada setiap orang untuk berusaha memajukan perdamaian yang berlandaskan pada kebenaran, keadilan, diilhami dan dipadukan oleh Cinta Kasih dan dilaksanakan dalam kebebasan. Inilah garis besar Pacem in Teris oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Ajaran sosial Gereja Katolik.

Dalam mengusahakan perdamaian, rekonsiliasi menjadi salah satu solusi yang tepat untuk membangun damai di Papua. Kedamaian menjadi impian, cita-cita dan harapan bagi orang Papua. Maka ada dua dimensi yang penting dan perlu diperhatikan dalam mengatasi konflik Papua melalui rekonsiliasi yakni dimensi sosial yang berarti bahwa tindakan yang menyangkut usaha untuk mengadakan sarana dan proses sehingga masyarakat yang terpecah-pecah dapat disusun kembali menjadi masyarakat yang dapat dipercaya dan adil. Yang kedua adalah dimensi spritual artinya bahwa rekonsiliasi itu merupakan usaha membangun kembali kehidupan yang hancur sehingga rekonsiliasi sosial itu merupakan usaha membangun kembali kehidupan yang hancur sehingga rekonsiliasi sosial itu dapat benar-benar terwujud.

Dengan melihat pendasaran di atas maka untuk konteks konflik Papua rekonsiliasi itu diadakan untuk mengubah paradigma atau lebih tepatnya mengubah stigmatisasi oleh negara terhadap orang Papua. Jika orang Papua dianggap sebagai bagian dari rakyatnya maka tuntutan, hak dan kewajiban, serta kebebasan yang diminta oleh orang Papua perlu mendapatkan pengakuan dari negara untuk duduk bersama melihat akar persoalan satu sama lain. Dan yang terpenting adalah saling mengakui keberadaan satu sama lain, saling mengakui sejarah satu sama lain, saling mengakui tindakan masa lalu satu sama lain, saling mengakui perbuatan satu sama lain. Oleh sebab itu dialog menjadi jaminan rekonsiliasi dalam mentransformasi konflik Papua sehingga rekonsiliasi menuju pada kedamaian itu terjadi di sana.

)* Penulis adalah Mahasiswa Pada Program Pasca Sarjana STFT  Fajar Timur Padang Bulan, Abepura-Papua

Artikel sebelumnyaRalat: Tidak Ada Warga Yahukimo yang Ditembak Mati
Artikel berikutnyaEkonomi Hijau: Orang Muda Katolik Modio Mengolah Tungku Api Kehidupan