Menanti Suara Kenabian Pimpinan Gereja untuk Orang Papua

0
1345

Oleh: Pace Papua)*

“Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” demikian doa Yesus yang tersurat dalam Injil Yohanes 10:10.

Perjalanan ke ‘Tanah Terjanji’

Alam, leluhur dan segenap orang Papua telah menerima Yesus dan Injil. Penerimaan orang Papua terhadap Yesus dan Injil sekaligus menandai hadirnya Gereja di tanah Papua. Gereja Papua menjadi rumah baru bagi orang Papua. Pada Gereja itulah, segenap orang Papua meletakkan harapan hidup dan masa depan mereka.

Peristiwa 5 Februari 1885, ketika Ottow dan Geissler menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat, menandai dimulainya pekabaran Injil di tanah Papua. Kehadiran kedua misionaris tersebut menjadi simbol kehadiran Yesus bagi orang Papua. Sejak saat itu, di tepi pantai, di sungai dan rawa-rawa, di gunung dan lembah, Yesus hadir dan menyapa orang Papua.

ads

Sebelumnya, orang Papua menyembah sang Pencipta yang dikenal dalam setiap suku dan bahasa masing-masing. Kini, orang Papua menyembah Allah, Pencipta yang dikenal dalam nama Yesus. Ia menjadi Guru, Sahabat dan teman seperjalanan orang Papua. Bahkan orang Papua memberi gelar Yesus seturut kebudayaan mereka. Kita dapat menyebut gelar, “Yesus Ninoe” di Wamena. Yesus sebagai Kakak tertua. Ia menjadi yang sulung bagi orang Papua. Ia datang untuk membawa orang Papua ke “tanah terjanji”. Suatu tanah penuh susu dan madu.

Apakah orang Papua sudah memasuki “tanah  terjanji” itu? Sampai saat ini, orang Papua masih berada dalam perjalanan menuju “tanah terjanji” yang dijanjikan Tuhan. Rasanya terlalu lama. Dahulu, orang Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan selama 40 tahun. Sedangkan orang Papua, sudah 58 tahun (19 Desember 1961-sampai saat ini) masih terkungkung di jalan penderitaan. Orang Papua tidak berziarah keluar seperti orang Israel dari Mesir ke Kanaan. Setiap hari, orang Papua mengitari bumi Papua dengan linangan air mata dan setiap hari pula menghirup bau darah yang mengalir dari tubuh-tubuh yang tertembus timah panas dari aparat keamanan Indonesia.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Mama-Mama Papua meratapi anak-anak mereka yang dibantai bagaikan binatang buruan. Bapa-Bapa Papua menyaksikan berbagai penyiksaan yang dialami generasi penerusnya. Pemuda/i Papua mengalami intimidasi dan pembunuhan tidak berkesudahan. Anak-anak Papua mengalami kematian beruntun akibat gizi buruk. Mereka juga tidak bisa mengenyam pendidikan dasar berkualitas.

Bukan hanya manusia Papua yang menderita. Mama bumi Papua pun menjerit. Hutan dibabat berganti pohon kelapa sawit. Gunung-gunung dibongkar demi emas. Perut bumi Papua dibor demi mengais minyak dan gas bumi.

Itulah kondisi hidup manusia orang Papua dan alam Papua. Keduanya sedang menjerit. Siapakah yang dapat menolong?

Gereja Hadir Untuk Menolong yang Menderita

Sebagian besar orang Papua adalah warga Gereja. Mereka telah dibaptis menjadi anak-anak Allah. Mereka menjadi warga Gereja. Seyogianya, Gereja yang kini telah menjadi rumah baru bagi mereka melindungi dan merawat mereka.

Di tengah badai dan gelombang yang menghantam orang Papua, suara kenabian dari pimpinan Gereja Papua hampir tidak terdengar. Padahal, di tanah Papua ada 5 orang Uskup Katolik (Uskup Agung Merauke, Uskup Jayapura, Uskup Manokwari-Sorong, Uskup Agats dan Uskup Timika), dan 50 lebih Sinode denominasi Gereja Protestan. Tetapi, hampir semuanya membisu menyaksikan kematian demi kematiaan yang dialami oleh orang Papua.

Seyogianya, penderitaan orang Papua merupakan penderitaan Gereja Papua. Tetapi, realitas memperlihatkan tidak banyak pimpinan Gereja Papua peduli pada penderitaan warga jemaatnya orang Papua. Pimpinan Gereja masih berdalih tidak terlibat dalam politik Papua Merdeka dan lain-lain. Padahal, kematian orang Papua selama 58 tahun sejak invasi terbuka Indonesia ke Papua melalui Dekrit Trikora, 19 Desember 1961 telah menelan puluhan ribu korban jiwa orang Papua, yang merupakan warga Gereja Kristus.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Gereja mengemban misi Yesus, yaitu misi pembebasan bagi kaum tertindas. Semestinya, pimpinan Gereja Papua bersuara lantang membela kawanan domba yang dibantai setiap hari. Pimpinan  Gereja Papua harus menolak setiap bentuk intimidasi, diskriminasi dan pembunuhan terhadap orang  Papua. Pimpinan Gereja harus berada di baris terdepan untuk melindungi kawanan domba orang Papua. Sebab, untuk itulah mereka ditahbiskan menjadi Imam (Gembala) supaya mereka dapat menjadi gembala yang baik. Gembala yang mengetahui kondisi hidup kawanan domba dan bersedia mengorbankan nyawa bagi kawanan domba.

Apakah para gembala di Papua telah menjadi gembala yang baik seperti yang diminta oleh Yesus?  Kita menyaksikan para gembala masih melayani orang Papua sebatas altar pada hari Minggu. Tepatlah pertanyaan Paus Fransiskus bagi para imam Katolik, “Anda memimpin perayaan Ekaristi pada hari Minggu, selebihnya apa yang Anda lakukan?” Kita jarang menjumpai gembala ideal seperti almarhum Uskup John Saklil, Pastor Neles Tebay, Pr. Kita juga jarang menemukan sosok gembala seperti Pastor John Djonga, Pr, Pendeta Socates Yoman dan Pendeta Benny Giyai. Mereka adalah sosok gembala yang bersedia memindahkan altar ke tengah ruang publik Papua yang sesak oleh kematian ini. Mereka bersedia turun ke jalan dan berbicara lantang membela hak-hak dasar orang Papua yang dirampas oleh Negara Indonesia.

Selama 58 tahun, kawanan domba orang Papua yang merupakan warga Kristus mengalami kematian demi kematian tidak kunjung henti. Operasi militer dan operasi intelejen dilancarkan oleh Indonesia di tanah Papua. Orang Papua tidak mengalami kebebasan hidup di atas negerinya sendiri. Meskipun orang Papua terhimpit dalam ruang gerak yang sempit, tetapi pimpinan Gereja Papua masih bungkam terhadap realitas penderitaan orang Papua ini.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Pimpinan Gereja Papua, baik Uskup, Pastor maupun Pendeta belum memberikan perhatian serius terhadap orang Papua. Tampaknya, orang Papua tidak mendapatkan tempat di hati para gembala Tuhan di tanah Papua. Pada titik ini, kita patut bertanya, “Tuhan Allah mengirim para gembala ke tanah Papua untuk siapa?”

Saat ini, orang Papua merindukan sosok gembala yang berempati terhadap penderitaan mereka. Sosok gembala yang mau hadir, duduk, mendengarkan dan bersama-sama dengan orang Papua mencari jalan penyelesaian permasalahan Papua. Maka, para gembala perlu lebih rendah hati untuk datang dan masuk di dalam hidup orang Papua. Para gembala harus menjadi “orang dalam”, bagian tidak terpisahkan dari hidup orang Papua. Hanya dengan cara demikian, para gembala akan sungguh-sungguh memahami seluk-beluk pergumulan orang Papua. Melalui pemahaman yang mendalam itulah, para gembala dapat menuntun kawanan domba orang Papua menuju “tanah terjanji” yang berlimpah susu dan madu.

Semoga para gembala di Papua mau peduli dan mengarahkan pandangan mereka kepada orang Papua yang sedang menderita. Sebab, kalau bukan kepada para gembala dan pimpinan Gereja Papua, kepada siapakah orang Papua akan meletakkan harapan hidup dan masa depan mereka? Semoga para gembala dan pimpinan Gereja Papua tidak hanya membaptis dan membiarkan orang Papua mati sia-sia di tangan penguasa Indonesia, melainkan berjuang melindungi, merawat dan membawa orang Papua memasuki “tanah terjanji” yang didambakan yaitu Papua damai dan sejahtera, tanpa kekerasan.

)* Penulis adalah warga Kota Jayapura, Papua

Artikel sebelumnyaSiapa yang Sakit Jiwa, Papua atau Indonesia?
Artikel berikutnyaTPNPB dan Aparat Gabungan Baku Tembak di Nggamagae, Distrik Sugapa