Siapa yang Sakit Jiwa, Papua atau Indonesia?

0
1371
Ilustrasi
adv
loading...

Oleh: Flabiano Alaman)*

Semenjak dibacakannya teks proklamasi oleh Bung Besar dengan gairah psikologis yang membara, kegagalan demi kegagalan dalam memahami kondisi kejiwaan manusia Papua menjadi suatu pola yang akhirnya membentuk sebuah ilusi dalam diri manusia Indonesia selama beberapa dekade. Hal ini barangkali dikarenakan sikap Bung Besar yang terlalu bergairah jiwanya dalam membenci manusia Belanda sehingga menggadaikan Papua melalui Pepera 1969 itu, 4 tahun setelah peristiwa kelam yang mencabut jiwa-jiwa di tahun 1965.

Manusia maupun rezim Indonesia sering termakan ilusi bahwa dirinya bagaikan seorang terapis bagi manusia Papua. Penulis ingin membawa pembaca untuk mengimajinasikan suatu pertemuan antara seorang terapis –dalam hal ini rezim Indoensia— dan seorang pasien –papua.

Suatu ketika sang terapis dan seorang pasien duduk bersama dalam satu ruangan. Sang terapis berusaha memahami gejala-gejala maupun gangguan-gangguan pada kejiwaan si pasien. Entah sang terapis lupa atau pura-pura lupa pada perintah Freud yang sangat penting mengenai tidak adanya kepura-puraan dan kecurangan dalam menganalisis kemudian mendiagnosa jiwa pasien. Namun ternyata sang terapis tetap berpura-pura bahwa kondisi kejiwaan pasien tersebut sedang baik-baik saja dan bisa ditangani. Padahal trauma demi trauma dihadapi sang pasien karena merekam suara tembakan diiringi tangisan dan mengingat peristiwa-peristiwa kelam yang menyakitkan di tanah iia berasal. Setelah berpura-pura, sang terapis melakukan kecurangan dalam memberikan obat-obat untuk sang pasien. Bukannya bersama pasien untuk meneliti alam bawah sadar, sang terapis malah memberi dua pil yang bernama Otsus dan pil infrastruktur. Otsus memberikan sensasi endorfin dalam otak pasien sehingga pasien merasakan dirinya paling berkuasa dan infrastruktur berfungsi memberikan suatu perasaan bahwa segala sesuatu akan berjalan lancar, cepat, dan efisien. Kedua pil tersebut menciptakan ilusi yang membuat sang pasien melihat sang terapis layaknya seorang Mesias dari Nazaret, sang penyelamat yang selalu ada ketika gangguan-gangguan atau trauma-trauma menyerang sang pasien.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Di sini menurut penulis sangat jelas bahwa apa yang dilakukan sang terapis adalah kepura-puraan dan kecurangan yang tentu akan ditentang oleh pandangan Freud maupun Fromm.

ads

Cerita karangan penulis di atas adalah kurang-lebih mengenai apa yang terjadi di masa lampau sampai sekarang ini. Katakanlah apabila rezim-rezim di Indonesia mengklaim diri bagaikan seorang terapis yang mau menyembuhkan pasiennya manusia Papua, maka ia terlebih dahulu harus memahami dan meneliti kondisi kejiwaannya sendiri sebelum meneliti pasien lain. Ia harus dengan jujur mengakui trauma-trauma masa lalu dan harus berani menghadapi ilusi ketakutan yang dikondisikan oleh masa lampau oleh dirinya sendiri. Ia harus berdiri mengambil suatu respons mental ‘fight’ dan bukannya ‘fly’ ketika diperhadapkan dengan simbol-simbol yang mengingatkan trauma masa lalu. Dengan kata lain jika ia tidak bisa ataupun pernah mengalami sendiri rasanya skizofrenia, depresi, trauma masa lalu atau ketakutan-ketakutan akan maut, maka sebagai sang terapis, dia tidak akan tahu apa yang dibicarakan pasien dan dia tidak akan mampu memahami jeritan-jeritan traumatis jiwa si pasien. Pada faktanya, kejiwaan Indonesia pernah mengalami peristiwa-peristiwa kelam masa lalu yang dilakukan oleh kolonialisme barat dan fasisme Jepang.

Menuju proyek pembebasan 

Dalam usaha menuju sebuah proyek pembebasan sekaligus penyembuhan masa lalu, penulis akan membuat suatu pembalikan, dimana posisi seorang Papua menjadi seorang terapis dan seorang Indonesia menjadi pasien. Sebab menurut penulis, yang sedang mengalami trauma, neurosis, maupun penyakit-penyakit jiwa kolektif adalah rezim-rezim di Indonesia sendiri. Mari membayangkan dalam suatu ruangan ada seorang Papua yang adalah terapis dan seorang Indonesia yang adalah pasien. Pertama-tama sang terapis akan menganalisis motif-motif tak sadar dari si pasien lalu kemudian mendiagnosanya. Sang pasien menanyakan mengapa si pasien menjadi paranoid dengan simbol-simbol seperti palu arit, mengapa menjadi kecanduan dalam pembela radikal NKRI harga mati, mengapa paranoid terhadap keluarga-keluarga korban 65 dan mengapa tetap memiliki sikap rasis berlebihan maupun terselubung terhadap orang Papua (termasuk diri si terapis yang juga orang Papua)?

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Yang kedua sang terapis, sebagaimana seorang arkeolog, setelah merekonstruksi jawaban-jawaban si pasien terhadap pertanyaan-pertanyaannya akan membantu membawa pasien mengumpulkan memori fragmen-fragmen masa kelam, diskontinuitas fragmen, beserta ingatan-ingatan yang berupa dokumen-dokumen penting yang tersimpan dalam alam bawah sadar. Fragmen-fragmen maupun ingatan-ingatan masa lalu itu yakni pembantaian 65, penculikan simpatisan PKI, penculikan mahasiswa beserta aktivis 98, pembantaian Santa Cruz Dili, pembantaian Talangsari, penganiayaan terhadap minoritas Ahmadiyah dan kepercayaan asli, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap etnis Tionghoa dan yang lain-lain. Rupanya sang terapis mendiagnosa bahwa fragmen-fragmen kelam masa lalu tersebut telah menciptakan halusinasi dan ilusi dalam diri pasien. Ilusi tersebut tidak jarang membuat sang pasien merasa dirinya adalah seorang terapis yang mengobati penyakit jiwa pasien-pasien lain.

Setelah mengingat secara tuntas dan mengakui adanya fragmen-fragmen kelam tersebut, barulah sang pasien menyadari penipuan-penipuan dan ilusi dalam dirinya. Demi membawa sebuah pembebasan maupun kesembuhan secara menyeluruh, perlu diusahakan upaya pertemuan intens secara tekun antara terapis dan sang pasien demi sebuah proyek emansipasi.

Menurut penulis, suatu usaha yang berkelanjutan mengenai persoalan masa lalu maupun isu HAM masa sekarang perlu terus diungkap secara berani dan jujur. Semua tindakan tersebut mensyaratkan upaya tekun psikologis, politik, sosiologis, hukum dan teologis yang tak jemu-jemu.

Kesimpulan

Penulis telah membawa pembaca dalam dua penggambaran psikoanalisis antara seorang pasien dan seorang terapis. Melalui dua penggambaran tersebut, penulis berusaha membongkar ilusi ideologis yang diciptakan rezim dan pengaruh terhadap publik juga terhadap cara memahami secara jujur dan berani kondisi orang Papua. Bahwa sebenarnya mitos-mitos sejarah yang dikonstruksi dan dilembagakan sebagai alat kontrol kesadaran publik adalah sebuah kebohongan patologis. Anggapan bahwa orang-orang Papua tidak tahu berterima kasih atas Otsus (otonomi khusus) yang memperkaya sebagian orang, kelompok separatis kejam, pemalas kerja, mabuk yang terkondisi, suka kekerasan dan tak mampu berkompetisi. Anggapan-anggapan demikian justru menelanjangi kondisi kejiwaan rezim-rezim yang sedang dan telah memerintah. Penyakit jiwa ini adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa kelam masa lampau dan masa sekarang yang belum selesai bahkan semakin ditutupi. Rezim hari ini punya watak otoritarian sebagaimana yang diucapkan Horkheimer, “takluk secara mekanis terhadap nilai-nilai konvensional; taat buta kepada otoritas (narasi NKRI harga mati), dan dibarengi juga dengan kebencian buta terhadap sesuatu yang dianggap musuh”.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Penulis berpandangan apabila rezim ini ingin pulih secara menyeluruh menuju proyek emansipasi jiwa bangsa maka dia harus mengambil tindakan politik dan tindakan hukum yang berani terhadap peristiwa kelam masa lalu maupun masa sekarang. Dia harus mengambil sikap ‘fight’ terhadap ketakutan dan bukannya ‘fly’ dari ketakutan. Sebab hal ini akan sangat memengaruhi psikologi rezim maupun bangsa dalam memandang kasus Papua dalam perspektif humanisme radikal dan bukannya mengulang pola-pola sama seperti berlagak menjadi seorang terapis yang memberikan pasien pil Otsus dan pil infrastruktur.

)* Penulis adalah Penulis lepas. Pegiat lingkungan dan kajian budaya

Referensi:

  1. Hardiman, Budi. Seni Memahami. PT Kanisius, Yogyakarta, 2015
  2. Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness. Penguin Books, New York, 1973
  3. Fromm Erich. The Art of Listening’, Immortal Publishing dan Octopus. Yogyakarta, 2000
  4. Dilema Usaha Manusia Rasional. PT Gramedia Usaha Pustaka Utama, Jakarta, 2019
Artikel sebelumnyaBerita Foto: Arus Mudik di Pelabuhan Jayapura dan Bandara Sentani 
Artikel berikutnyaMenanti Suara Kenabian Pimpinan Gereja untuk Orang Papua