ELSHAM Papua: 2019 Pelanggaran HAM di Papua Meningkat

0
2585
Pdt. Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (Elsham Papua) (tengah), 23/12/2019. (Arnold Belau - SP
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pdt. Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (Eslham Papua) menilai telah terjadi peningkatan pelanggaran HAM pada tahun 2019.

“Tidak ada perubahan apa-apa dari kebijakan pemerintah untuk seriusi penyelesaian pelanggaran HAM. Pada tahun 2019 eskalasi pelanggaran naik secara signifikan,” tegasnya.

Peningkatan tersebut terlihat dalam pembatasan terhadap warga negara dalam melaksanakan kegiatan berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum.

Adadikam menjelaskan, potret Hak Asasi Manusia (HAM) di tahun 2019 masih seperti tahun sebelumnya, terutama dalam batasan-batasan terhadap warga negara dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum.

Menurut Elsham Papua, Kata Adadikam, pemerintah bahkan memperkuat batasan-batasan tersebut dengan mengeluarkan Maklumat Kapolda Papua tahun 2019 tentang Menjaga keamanan dan ketertiban umum dan mempertegasnya dengan menangkap dan menahan sejumlah massa demonstrasi dan proses hukum hingga tingkat peradilan di pengadilan negeri.

ads

“Tindakan yang dilakukan negara dalam membatasi kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum ini tidak sesuai dengan prosedur KUHAP dan berujung pada kriminalisasi pasal – pasal Tindak Pidana dalam KUHP,” katanya kepada wartawan di kantor Elsham Papua, Padang Bulan, (23/12/2019).

Baca Juga:  Bawaslu Papua Hentikan Pemeriksaan Dugaan Kasus Pj Wali Kota Jayapura

Ia mengungkapkan, pembatasan aksi massa, penangkapan dan penahanan terhadap demonstrasi masyarakat dan mahasiswa di kota dan kabupaten di Provinsi Papua, di Kota Jayapura, Kabupaten Deiyai, Wamena, Merauke, Timika dan di Provinsi Papua Barat, seperti Manokwari, Sorong, Fakfak.

“Demonstrasi di kota Jayapura berlangsung dengan damai, tapi terindikasi ada tangan-tangan tersembunyi yang telah memanfaatkan situasi dan kondisi aksi massa dengan melakukan pengerusakan, pembakaran, dan penjarahan,” jelasnya.

Di Wamena, kata dia, demonstrasi massa yang terdiri dari siswa sekolah menengah yang dipicu oleh isu hoax tentang Rasis juga demikian, ada tangan-tangan tersembunyi dan mereka bahkan telah terprovokasi melakukan pengrusakan dan terlibat pertikaian dengan warga Non Papua.

Aksi tersebut, menurut Elsham, melibatkan banyak orang yang tidak bertanggungjawab dan memperkeruh kota Wamena karena pertikaian itu dan isu lain dari kota Jayapura. Sudut-sudut lain kota Wamena menunjukan tindakan pembakaran bukan dilakukan para siswa-siswa sekolah menengah.

Dijelaskan, aparat mebiarkan kelompok yang menamakan diri Kelompok Nusantara  mempersenjatai diri telah melakukan razia dan penyerangan terhadap warga Papua asal Pegunungan Tengah Papua dan pemukiman-pemukimannya.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRD Sulut Tatkala Menerima Aspirasi Mahasiswa Papua

“Aparat Kepolisian yang berada dekat sekitar tidak melakukan tindakan pencegahan, bahkan terkesan membiarkan, termasuk membiarkan pembakaran-pembakaran yang telah terjadi,” katanya.

Untuk Wamena, bagunan Ruko yang terbakar di Homhom, Wamena hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari Polsek Homhom. Razia dan penyerangan oleh Kelompok Nusantara di kota Jayapura telah menyebabkan Michael Kareth dan Evert Mofu meninggal dunia dan Polri belum melakukan penyelidikan terhadap pelaku.

Dari Rasisme ke Pembungkaman Gerakan Sosial

Menurut ELSHAM telah terjadi pengalihan isu dari rasisme kepada separatisme untuk membungkam gerakan sosial dan keadilan di masyarakat.

“Itu terbukti ada tersangka yang dikenakan pasal makar (pasal 106 KUHP). Aparat keamanan juga melanggar HAM karena membiarkan kelompok-kelompok masyarakat bertikai dan membiarkan demonstrasi menjadi anarkis,” ungkapnya.

Untuk itu, kata Adadikam, ELSHAM Papua meminta agar Pemerintah dalam hal ini institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim yang mengadili setiap kasus/perkara yang sedang berjalan agar melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur dalam tatanan sistem hukum di Indonesia dengan mengedepankan sistem peradilan yang terinstegrasi dan melupakan ego sektoral kepada  seluruh tersangka, terdakwa dalam kasus yang terjadi dari Agustus hingga September 2019.

Baca Juga:  ULMWP Nyatakan Tolak Program Transmigrasi dan Perampokan Tanah Adat di West Papua

Identifikasi Sasaran dengan Baik

ELSHAM juga meminta TNI, Polri, dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) berkaitan dengan konflik yang saat ini terjadi di kabupaten Nduga, Lani Jaya, Puncak Jaya, Intan Jaya, Mimika, dan Fakfak agar  mengidentifikasi sasaran dengan jelas sebelum melakukan penyergapan-penyergapan.

“Kami minta supaya pihak-pihak ini harus identifikasikan sasaran dengan baik supaya tidak menyasar pada penduduk sipil yang tidak bersalah. Pengiriman pasukan yang berlebihan ke daerah – daerah sejak Agustus sampai dengan saat ini,” tegasnya.

Koalisi Advokasi mencatat bahwa  sejak Agustus hingga September 2019 Polda Papua telah menangkap 936 orang 120 orang ditahan dan selanjut proses BAP, dan 820 orang dibebaskan, 234 orang meninggal dunia. Dari 120 tahanan yang diproses, 24 orang aktivis mahasiswa dikenakan tuduhan dengan Pasal 106 KUHP atau Pasal Makar.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaBupati Yahukimo Diminta Buktikan Moto “Damai Sejahtera”
Artikel berikutnyaKapolda Papua Diminta Proses Oknum yang Pukul Wartawan Jubi