Assessmen Merusak Karakter Guru dan Murid di Papua

0
1265

Oleh: Sebastianus Ture Liwu)*

Pendidikan merupakan jalan menghantar anak-anak semakin menggapai terang pengetahuan.  Anak murid dalam proses mengandung pengetahuan dari pengalamannya akan dibantu oleh Para guru.  Tugas guru seperti seorang bidan memiliki keahliannya untuk membantu melahirkan benih pengetahuan yang telah dikandung muridnya.

Masalah yang kita alami selama ini adalah para guru belum mampu menerjemahkan setiap kurikulum yang ditetapkan oleh dinas pendidikan. Ada guru yang gigih memanfaatkan kemampuan dan keterampilannya untuk menanggapi kebutuhan anak muridnya.  Jelas bahwa setiap pengetahuan yang dikandung oleh siswa setiap semester selalu dievaluasi agar mengetahui kemampuan kognitifnya. UN yang diadakan setiap tahun merupakan upaya menguji tingkat pemahaman artinya materi yang di sajikan oleh guru dapat merangsang anak untuk memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Segala pengetahuan yang dikandungnya itu bisa dilahirkan berupa jawaban pada saat UN. Di tempat lain, pengetahuan itu juga akan menampakan karakternya dalam pengalaman sehari-harinya. Akan tetapi, kemendikbud menganggap UN tidak efektif dan menggantikannya dengan Assessmen.

Bertolak dari wacana di atas dan beberapa kasus yang akhir-akhir ini menjadi diskusi hangat masyarakat tentang kebijakan kepala sekolah yang kurang bijak terhadap siswa SD yang tidak menghormati bendera merah putih, masalah penarikan guru PNS dari sekolah swasta ke sekolah negeri,  masalah radikalisme agama dan banyak kasus lainnya yang memperlihatkan krisis karakter manusia, maka saya akan mengembangkan suatu kritik terhadap kemendikbud yang saya anggap telah membuka peluang bagi setiap instansi, Golongan, organisasi, setiap sekolah untuk bebas menentukan cara yang terbaik bagi sekolahnya.  Pertanyaannya: apa ukuran di balik kebijakan Nadiem?  Bagaimana tanggapan para tokoh terkait?  Apa dampak positip dan peluang negative dari kebijakan tersebut?

Tanggapan Atas Assessmen

ads

Mentari pendidikan dan kebudayaan, Nadiem menilai bahwa UN yang selama ini dilaksanakan setiap tahun sekali di setiap sekolah hanya berusaha mencari angka terbaik dan ujian sekarang hanya mengukur aspek kognitif. Atas dasar penilaian itu, maka mendikbud membuat terobosan baru agar UN dihapuskan mulai tahun 2021 dan diganti dengan Assessmen, penilaian kompetensi minimum.  Karena,  melalui Assessmen,  kita akan melakukan survei karakter dan juga anak-anak dapat membaca,  berpikir, menganalisa dan mengaplikasikannya di lapangan. Melalui Assessmen, para guru di setiap sekolah dapat dihargai,  dengan bebas menentukan cara yang baik untuk mengembangkan minat belajar anak murid. UN bukan menjadi ukuran nasional Tapi Assessmen menjadi ukurannya di mana memberikan sepenuhnya kepada kebebasan otonomi sekolah.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Akan tetapi, Wacana yang diteloran oleh Mendikbud menuai banyak cara pandang. Sala satunya adalah Ibu Ledia Hanifa mengatakan bahwa “memberikan kebebasan bagi Setiap sekolah untuk menentukan Kebijakan belajarnya sendiri (otonomi sekolah). Para guru diberikan kemerdekaan sepenuhnya untuk menjalankan proses pendidikan tetapi kemerdekaan yang dimaksud bisa saja disalah-artikan”.

Budi Trikorayanto, pengamat pendidikan mengatakan bahwa “Arah pendidikan itu memang harus dengan model yang sekarang ini, berdasarkan standar kompetensi yang harus dicapai siswa dan sudah ada ukurannya seperti itu. Guru yang baik adalah guru yang sudah mengenal kemampuan siswanya, tanpa ada tes seperti ulangan harian ataupun ujian nasional. Nggak usah ada ulangan, dia ngerti”.  Budi mengakui bahwa dirinya menjamin bahwa setiap prestasi dan hasil proses pendidikan di setiap sekolah di berbagai daerah akan mudah dikumpulkan. Dalam pembelajaran tidak hanya baca, tulis, menghitung,  Ipa,  Ips,  matematika tetapi harus ada survei karakter. Hal senada diungkapkan oleh Indra bahwa Assessmen akan lebih baik karena tidak hanya menekankan cara kerja soal,  menghafal,  dan angka tetapi juga menganalisa.

Wakil Presiden,  ma’aruf amin menegaskan bahwa “belum ada pembicaraan dan nanti akan diadakan pengujian terhadap Assessmen dan apa alat ukur efektif yang harus dipakai untuk standar pendidikan masing-masing daerah?” dilansir dari tayangan KompasTV, Rabu(11/12/2019).

Dampak Assessman

Otonomi sekolah artinya kebebasan diberikan sepenuhnya kepada setiap sekolah di daerah-daerah untuk mengelolah sekolahnya. Otonomi sekolah ini dinilai membawa dampak positip dan peluang negatif bagi kelompok yang berkepentingan.

Dampak positifnya adalah guru-guru akan semakin bebas mengekspresikan pengetahuannya sesuai konsepnya dan konteks setempat. Pengetahuan dan keterampilan guru akan terealisasi dengan leluasa dan kebebasan para guru semakin dihargai. Guru bisa mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang membangun karakter siswa/i yang lagir dari budaya setempat. Akan tetapi, dengan adanya otonomi sekolah, kita bisa mengalami dampak negatif dan peluang negatifnya:

  1. Tidak ada ukuran Assessmen yang jelas dari kemendikbud hanya akan mengurangi nilai persatuan sebangsa. Tidak ada lagi satu ketentuan yang jelas untuk menilai prestasi dari setiap sekolah.  Tidak ada lagi standar nasional yang sama diberlakukan untuk semua sekolah.
  2. Kebebasan otonomi sekolah akan merusak, menentang kebinekaan dan melawan UUD sebagai asas dan dasar bersama.
  3. Terbentuknya organisasi Baru, kelompok radikal, paham-paham baru, doktrin baru,  ideologi baru dan ajaran yang tidak dapat dibendung oleh pemerintah yang berakhir dengan perlawanan/pembangkangan.
  4. Kebebasan sepenuhnya bagi guru dan kepala sekolah untuk menentukan yang terbaik buat sekolahnya akan berakhir dengan munculnya paham fanatisme. Hal itu akan terjadi karena mengingat bahwa Assessmen ini belum diuji dan kemungkinan besar ada penentuan kebijakan-kebijakan yang akan mengabaikan golongan minoritas. Hemat saya, ketika belum ada ukuran yang jelas untuk dipakai dalam Assessmen maka  wacana menghapus UN tersebut akan semata-mata kembali ke moral agama yang ketat.
  5. Jika moral agama menjadi ukurannya maka jelas UUD dan pancasila akan ditentang. Karena setiap kelompok-kelompok tertentu akan memperjuangkan moral agamanya sendiri. Hal ini berujung pada suatu keterasingan yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang sedang mengenyam pendidikan. Jika suatu sekolah swasta atau sekolah negeri diterapkan moral keagamaan dengan bebas dan sesuak hati, maka tidak ada toleransi antar agama dan kelompok minoritas akan tersingkirkan. Kebijakan sekolah yang bebas akan memaksakan paham atau moral agama bagi keyakinan yang berseberangan.
  6. Pelimpahan kebebasan bagi sekolah-sekolah adalah suatu strategi yang dibangun untuk menyangkal demokrasi dan sebetulnya melawan asas negara yang sedang tidak diinginkan lagi.
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Situasi Pendidikan di Pedalaman Papua: Dogiyai dan Paniai

Guru-guru telah merasakan kemerdekaan dalam dunia pendidikan karena kenyataan sekolah-sekolah di pedalaman, para guru memanfaatkan status sebagai pengajar.  Yang terjadi adalah banyak guru dan kepala sekolah hanya bersedia diangkat jadi guru atau kepala sekolah setelah itu mereka tidak tinggal dan mengajar anak-anak.  Mereka hanya menunggu gaji pada saat pencairan dana sesudah itu,  mereka akan mencari kemerdekaan pribadi di kota.  mereka bebas menentukan kewajibannya sebagai guru sangat berseberangan dengan aturan ketentuan yang berlaku dalam dunia pendidikan.

Kebebasan dan kemerdekaan para guru dipandang sebelah mata oleh dinas pendidikan di setiap kabupaten.  Tidak Pernah ada kunjungan Terhadap sekolah di pedalaman seperti sekolah sekolah yang ada di Kabupaten Dogiai.  Sudah beberapa kali diberikan surat undangan kepada dinas pendidikan untuk melakukan kunjungan tetapi tetap saja tidak ada tanggapan.  Hingga saat ini ada beberapa sekolah negeri yang tidak memiliki guru sehingga orang tua lebih memilih anaknya sekolah di sekolah lain.

Papua adalah Target Perwujudan Kehancuran dari Assessmen

Belajar dari masa lampau,  Presiden Soeharto mengelurkan kebijakan membentuk Satuan Perumahan (SP)  demi kesejahteraan orang asli papua.  Tetapi kepentingan terselubungnya adalah usaha mendatangkan para pendatang pada tempat yang telah disediakannya.  Para Transmigran telah bercocok tanam dan memetik hasilnya tapi pada satu sisi masyarakat asli Papua tersingkirkan.  Pengalaman itu menjadi pelajaran bersama untuk lebih kritis menilai kebijakan kemedikbud Nadien.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Hemat saya, wacana penghapusan UN merupakan sistem terobosan baru melalui pendidikan atau sum-sum kehidupan kita yang memecah-belahkan kesatuan bangsa dan setiap keyakinan di atas bumi pertiwi. Pendidikan model Assasmen merupakan pola perkembangan situasi pendidikan barat yang memperjuangkan kelompok-kelompok tertentu yakni orang-orang yang ada di kota dan kelompok elit.

Ketika Assasmen diterapkan di Propinsi Papua maka pola pendidikan semakin hancur karena guru telah memahami kemerdekaan yang cocok buat mereka di kota. Tentunya pemerintah akan berusaha menjawab persoalan guru lari ke kota dengan membuat program mendatangkan guru yang dianggap berkualitas dari jawa,  makasar, flores dll,  yang sebetulnya hanya memiliki teori dan belum tahu situasi kondisi dan kebutuhan dari anak didik di Papua.  Hemat saya,  guru pendatang di Papua yang belum tahu kebudayaan setempat akan lebih sulit mencari gaya mengajar. Paham dari luar Papua diajarkan kepada anak-anak akan lebih menghancurkan mentalitas jati diri mereka. Assasmen bisa menjadi jalan masuknya radikalisme. Kesannya adalah terciptanya intoleransi antar budaya, usaha doktrinasi konsep kebudayaan luar dan doktrinasi moral agama yang dibawa dari luar Papua secara besar-besaran akan menindas budaya dan agama suku setempat. Kebebasan Otonomi sekolah merupakan strategi yang menyembunyikan keyakinan untuk menguasai yang lemah dan tak bersuara.

Wacana Assessmen ini perlu ditentang keras agar tidak diterapkan di Indonesia. Menurut penulis bahwa Nadiem perlu memikirkan masalah pendidikan dan konsep yang diterapkan dalam setiap konteks semasa dan setempat. Tidak bisa suatu kebijakan yang diputuskan tidak menjawab kebutuhan semua konteks. Artinya, Nadiem harus memikirkan bahwa pendidikan di Indonesia bukan hanya milik kelompok tertentu yang ada di kota saja seperti Jakarta. Penulis memikirkan bahwa kemendikbud perlu menghidupi fungsi kontrol terhadap keaktifan guru-guru yang mengabdi di sekolah-sekolah di kota besar maupun pedalaman.  Masalah pendidikan yang kita hadapi sekarang bukan pada masalah Ujian Nasional yang dianggap Nadiem kurang efektif itu, tetapi masalah yang dibicarakan adalah kesiapan dan keberadaan guru di sekolah. Jika guru-guru yang ditugaskan hanya mau menerima gaji tanpa menunaikan kewajibannya, maka karakter dan potensi diri anak tidak bertumbuh dan berkembang. Saya melihat bahwa Assessmen turut mendorong sekolah otonomi yang bukan saja merusak mentalitas anak tetapi juga menumbuhkan mental kemerdekaan guru yang pada dasarnya salah.

)* Penulis adalah Mahasiswa S1 STFT Fajar Timur,  sekarang mengajar di pedalaman Papua

Artikel sebelumnyaJemaat Damai GKII Bolakme Rayakan Natal di Gereja Baru 
Artikel berikutnyaPolisi Lepas 20 Tersangka Makar di Sentani