Papua: Antara HAM dan Kepentingan RI

0
1814

Oleh : Oktovianus Pogau)*

Terkutuklah manusia yang membunuh sesamanya tanpa sebab dan akibat. Membunuh sesama manusia sama saja dengan membunuh sang pencipta yang telah menciptakan, dan tentunya bukan tidak mungkin sang pencipta akan marah dan geram terhadap pembunuh tersebut. Nah dengan demikian hal ini perlu menjadi perenungan panjang kepada setiap bangsa, suku, dan Golongan yang sering melakukan kejahatan biadap terhadap sesamanya.

Papua adalah negeri paling timur, negeri paling kaya, negeri paling subur, negeri paling Indah, sehingga tidak heran kalau banyak Negara didunia berlomba-lomba untuk mendapatkan dan menguasainya. Sebut saja pada abad ke-16 lalu beberapa pelaut spanyol saat menginjakan kakinya di bumi cenderawasih mereka kaget dan tercengah dengan kekeyaan alam di Papua, bahkan mereka sempat memberi julukan yang masih popular samapi saat ini yaitu julukan “negeri emas” (“P.J Droglover, Een daad van vrije keuze De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” (November, 2005).

Selain bangsa spanyol, adalagi bangsa Portugis. Salah satu bangsa yang menginjakan kakinya di bumi cenderawasih sebelum beralih menguasai Papua New Guinea. Ambisi daripada bangsa portugis sangat nyata dengan perjuangan mereka yang begitu gigih untuk mendapatkan negeri emas ini (Papua, red) namun sia-sia karena kekuatan dan kepopuleran mereka kalah kuat dibandingkan bangsa besar lainnya.

Spanyol, portugis, yang kemudian lebih popular dan tren menguasai Papua adalah Bangsa Belanda. Dibawah penjajahan belanda Papua niscaya bisa tertolong dan bisa terbantu. Berbagai kekayaan alam yang ada di Papua bukan saja dibawah untuk membangun negeri mereka, tetapi kontribusi mereka dalam membangun Papua juga sangat besar. Dan hal ini tentunya sangat membantu mereka, sehingga tidak heran pada zaman itu banyak orang Papua dipaksakan untuk menempuh pendidikan di Belanda.

ads

Kehidupan social, ekonomi, budaya pada saat dibawa kendali bangsa belanda sangat baik. Dan selama itu tidak pernah ada satupun golongan atau kelompokpun yang protes dan jenuh terhadap pemerintahan bangsa belanda. Mungkin pada zaman itu orang Papua berpikir, ngapain kita memisahkan diri dari mereka (belanda, red) toh… kehidupan kita terjamin, anak cucu kita bisa makan dan hidup.

Kehidupan yang merata antara pemerintah belanda dan masyarakat Papua saat dibawa kuasa belanda tentunya menimbulkan kecemburuan yang sangat mendalam bagi pemerintah Indonesia. Dari tahun ke tahun kecemburuan itu semakin tumpuk, sehingga puncaknya pada saat Presiden Soeharto mengeluarkan Trikora, yang berimbas pada adanya New York Agrement, yang sekaligus diadakannya PEPERA sebagai syarat mutlak untuk kejelasan status Negara Papua.

Kemudian moment ini (pepera, red) yang digunakan pemerintah Indonesia untuk tetap menjajah, membelenggu, membantai dan membunuh orang Papua. Padahal gula-gula (pepera, red) yang ditawarkan oleh Amerika telah dan sangat begitu cacat.

Memasuki Kehidupan Baru yang lebih kejam

Kejam dan kejam ketika akan diberlangsungkan keputusan gombal yang dibuat oleh Elswoth Bungker, untuk menyelamatkan muka Amerika agar disebut sebagai Negara adikuasa yang mampu mengubah segalanya, termasuk membawah masuk bangsa Papua kedalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Pada saat itu walaupun Amerika telah menjadi dewi dalam menyelamatkan wajah bangsa Indonesia dari sorotan internasional, toh mereka sendiri yang telah melakukan pelanggaran HAM yang sangat berat. Kita tahu sendiri PEPERA diberlangsungkan pada tahun 1969. Namun kontrak kerja dan kepemilikan PT Freport Indonesia di Mimika telah diberlangsungkan pada tahun 1967. Jadi dua tahun sebelum Papua beralihpaksa ketangan NKRI PT Freport telah menjadi milki Amerika.

Ada apa di belakang semua itu. Ini kepentingan siapa? Memalukan bukan? Amerika telah mencuri, membunuh, dan membinasakan bangsa Papua secara perlahan tanpa sepengetahuna siapapun. Dan ini suatu permainan yang menguntungkan baik Indonesua maupun Amerika.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Amerika layaknya suatu Negara yang berbulu domba, namun berhati serigala. Jangan dengan berbagai iming-iming janji politik yang mereka buat untuk membebaskan Papua dijadikan ukuran tunggal untuk mempercayai mereka dalam membantu dan membebaskan Papua.

Setelah PEPERA diberlangsungkan, kehidupan bak neraka itu dirasakan oleh seluruh rakyat Papua. Dimana beberapa kelompok yang kontra terhadapa Amerika dan Indonesia dihanguskan dari bumi Papua, Militer dengan kejam dan bejat mengusir, menjajah dan memenjarahkan mereka. Semua itu diberlangkan dengan alasan yang sangat tidak jelas. Silas Papare, Frans Kaisepo, Marthen Indey menjadi pahlawan Asal Papua yang diabdikan namanya di seantoro Indonesia.

Padahal ketiga orang inilah yang telah menjual dan mencelakakan Papua. Bebebrapa pejuang Papua yang tidak sepaham dengan sendirinya mengambil jalan pintas untuk ke beberapa Negara yang mereka rasa dapat menjamin hidup mereka. Karena mereka menyadari, kalau hidup di negara Indonesia, neraka kedua akan menjadi pilihan. Siapa sih yang ingin tinggal di neraka.

Kehidupan perekonomiaan di Papua setelah PEPERA berlangsungpun sangat memprihatinkan. Banyak korban yang berjatuhan. Banyak dalih, karena sakit, kelaparan dan lain sebagainya. Padahal hidup di tanah perjanjian yang penuh dengan susu dan madu.

Lain halnya dengan keamanan di Papua setelah berlangsungnya PEPERA. Militer dengan semena-menanya membumihanguskan orang Papua dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Seperti dianggap OPM, GPK, Separtis, pengacau, pecundang dan lain sebagainya. Yang semua itu kalau dikaji bukan salah orang Papua, tetapi semua itu berbicara atas kenyataan dan fakta yang sedang dan telah terjadi.

Lain halnya dengan pendidikan setelah PEPERA berlangsung, rakyat Papua harus menangis dan menangis melihat putra-putri kebanggaan mereka tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Hanya didikan mental ala jawa yang ditanamkan, sehingga tidak heran kalau sampai saat ini mental semua pemuda-pemudi di Papua telah rusak.

Saat belanda berada di Papua, mengenyam pendidikan yang layak bagi mereka dalah suatu kewajiban yang harus diberikan. Sehingga beberapa orang Papua didik oleh beberapa orang belanda dengan didikan yang sangat keras dan luar biasa. Sehingga sekarang banyak tua-tua yang didik oleh orang belanda masih memiliki pikiran yang sangat cemerlang.

Bahkan pada saat itu banyak anak Papua yang dikirim ke beberapa Negara di luar negeri untuk menempuh pendidikan. Sehingga mereka memilki kemampuan yang sangat luar biasa dibandinkan dengan beberapa anak Papua yang menempuh pendidikan di dalam Negara Indonesia.

Ingin Kembali Ke Era Itu

Siapapun orang Papua, kalau disuruh memilih. Maka dengan tegas akan menjawab semua ingin kembali ke era belanda dulu. Lebih enak tinggal bersama bangsa yang mengutamakan nilai kemanusiaan, dari pada hidup dibawah tekanan Negara yang tidak pernah menghargai kemanusiaan sesamanya.

Negara Indonesia adalah salah contoh Negara yang tidak pernah menghargai harkat, martabat dan jati diri setiap orang. Saat ini setiap orang Papua dibekap dengan berbagai janji mengairahkan yang kalau ditelusuri berarah pada “politk devide et imper” politik yang digunakan nazi Jerman untuk menghanguskan orang Yahudi abad ke 13 Lalu.

Memang sanagt menyakitkan hidup di Negara yang seperti ini. Punya susunan hukum, norma dan aturan yang terstruktur dengan sangat rapi. Namun kerapiaan itu hanya untuk mencari dan nama baik dari beberapa pengamat dluar. Nama baik bagi Negara Indonesua adalah segalanya, dari pada membumihangsukan sekian banyak orang Papua. Data yang dirangkum pada tahun 2007 lalu dari Komnas Amnesti Internasional orang Papua yang hilang dengan berbagai macam alasan adalah kurang lebih 2 juta orang.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Kematian orang Papua bagaikan fenomena gunung es yang tak terbendung banyaknya. Data yang kongkrit menunjukan, bahwa adanya peningkatan jumlah masyarakat Papua yang meninggal saat setelah berlangsungnya PEPERA. Bagi pemerintah Indonesia, saat setelah berlangsungnya PEPERA kekuasaan dan balas dendam yang harus dijalankan.

Makanya Ortiz sanz, utusan PBB untuk mengawasi jalannya PEPERA untuk Papua lalu pernah mengukapkan dengan jelas kekecewaan pada pemerintah Indonesia yang memutarbalikan berbagai keadaan untuk tetap dan tetap menjajah Papua. Hal yang paling memalukan menurutnya bahwa bangsa Indonesia dengan terpaksa menarik diri dari keanggotan PBB dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal, supaya Papua tetap berada dalam keutuhan NKRI agar pihak PBB tidak bisa menggagalkan jalan ini.

Dalam beberapa kali pertemuan di Markas PBB Oritiz sanz mengukapkan dengan jelas permintaan maafnya pada rakyat dan Masyarakat Papua, yang beliau tahu sendiri kalau hal ini (pepera, red) tidak sesuai dengan amanat hati nurani rakyat Papua. Bahkan saat Ortiz san berkeliling ke Papua saat akan diberlangsukannya PEPERA beberapa warga Papua yang tidak terima dengan perlakuan pemerintah NKRI ngotot agar PBB melaporkan dan usut tuntas kelalaian pemerintah Indonesia dalam menjalankan PEPERA.

Namun apa kata, sampai PEPERA diberlangsukan. Tindakan yang diambil oleh PBB dalam hal ini Ortiz sanz dan beberapa pengamat sama sekalit tidak menunjukan pembelaan dan pro terhadapar rakyat Papua. Dalam beberapa kesempatan ketemu dengan beberapa tokoh pemuda dan masyarakat Ortiz sanz pernah mengukapkan permintaan maafnya, yang bukan berarti tidak mau membela rakyat Papua, tetapi karena perintah dan aturan yang berlaku di Negara Indonesia sangat bejat.

Menyadari berbagai kesalahan dan kelemahan yang dihadapi oleh beberapa saat lalu. Maka dengan ketulusan dan ketegangan hari sebenarnya seluruh rakyat Papua ingin meminta agar memisahkan diri mereka dari segala penjajahan, walaupun kenyataannya penjajahan itu tidak Nampak ke permukaaan.

Alasan Sumber Daya Manusia

Suatu alasan sanga tidak valid yang bisa mereka berikan, apabila alasan SDM dijadikan ukuran dan standar untuk tidak melepaskan orang Papua dari berbagai penjajahan. Karena dengan jelas, dalam UUD 1945 sendiri mengatakan bahwa setiap warga Negara berhak menentukan nasibnya sendiri, jadi bukankah seluruh warga Papua punya hak juga untuk menentukan nasibnya sendiri, jangan jadikan PEPERA sebagai ukuran untuk Papua tetap ada di tangan NKRI karena jelas-jelas PEPERA telah cacat dan bercela.

Saat Presiden Soekarno mengadu nasib di Negeri belanda dalam Pidatonya Dengan judul “Lahirnya Pancasila” teringat persisi beberapa contoh yang yang beliau beberkan. Dan bagi saya, contoh ini adalah salah satu contoh yang patut dipelajari oleh para petinggi Negeri ini.

Saat Negara arab Saudi memperjuangkan nasib Negara mereka yang masih dalam penjajahan Kolonila Inggris, dengan lantang pimpinan mereka tuan Ibn Saud mengatakan, bahwa pemerintah Inngris tidak bisa menilai keterbelakangan bangsa Arab Saudi sebagai suatu alasan untuk tidak memberikan kebebasannya. Saat itu keterbelakangan (kebodohan, red) yang mereka alami sangatlah krusial atau memalukan. Saking bodohnya mereka, saat itu mereka berpikir bahan bakar mobil adalah gandum. Padahal gandum adalah bahan makanan pokok.

Jadi situasi mereka pada saat itu sangat bodoh dibandingkan dengan bangsa Indonesia pada saat bangsa Belanda menjajah. Bahkan jauh lebih pintar orang Papua saat ini. Dengan situasi seperti itu, toh bangsa Inggris memahami mereka dengan memberikan kemerdekaan pada saat itu, sehingga saat ini arab Saudi tergolong sebagai suatu Negara yang cukup sangat makmur dibandingkan dengan Negara lainnya di dunia, bahkan jauh makmurnya dibandingkan dengan Negara Indonesia. Karena Kolonial Inggris memahami kebebasan dan hak setiap orang untuk hidup.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Jadi bagi saya, dan bagi Presiden Soekarno pada saat Menggagaskan lahirnya pancasila pada beberapa tahun silam, ukuran ketidakberdayaan Sumber Daya Manusia bukan alasan utama untuk tidak memberikan kebebasan kepada suatu daerah dalam hal ini kepada Bangsa Papua. Sudah sangat jelas kan, problematika yang terjadi.

Mungkin ini Alasan Sebenarnya

Saya bukanlah serang pengamat politik yang handal dan luar biasa, tetapi saya hanyalah seorang pengamat ketidakbenaran yang sudah sangat memalukan yang terjadi di Negara yang mengatasnamakan TUHAN dalam sila mereka. Sehingga apapun yang saya beberkan dalam tulisan ini, inilah yang bisa saya ungkapkan, karena kebenaran fakta dan kelogisan sejarah.

Seperti paragraph utama di atas, bagaimana saya membeberkan dengan jelas alasan beberapa Negara untuk menjajah dan menguasai orang Papua. Dan bukan alasan yang tidak benar kalau, tujuan utama bangsa Papua tetap dijajah dan dijajah oleh pemerintah Indonesia atas dasar kekyaan orang PAPUA yang ingin dinikmati dan dilahap oleh pemerintah Pusat.

Bukti rakusnya mereka pada kekayaan Papua itu terbukti besar dengan pemberian status Otonomi Khusus yang lebih menguntungkan pemerintah Pusat. Dengan hadirnya Otsus orang Papua lebih dibodohi lagi, dengan iming-iming pemberdayaan orang Papua.

Siapapun tidak bisa menilai kalau Otsus telah membantu rakyat Papua, lihat saja beberapa Perdasi dan Perdasus yang di susun oleh DPRD dan MRP sampai saat ini belum ada satupun yang ditandatangani oleh Gubernur. Semua itu bukan salah gubernur, tetapi semua itu salah Pemerintah Pusat. Tidak lain tujuannya untuk memecah belah orang Papua.

Setelah Presiden Mengawati Soekarno Putri memecah belah orang Papua dengan pemekaran Irian Jaya barat (Papua barat, red) nah sekarang giliran Presiden SBY untuk memecah belah orang Papua. Dengan pemberian beberapa KEPRES yang dinilai sangat krusial untuk ditanamkan di Papua, aneh bukan permainan seperti ini?

Membingunkan, ketika Theys Hiyo Eluay, Opius Tabuni dan beberapa orang Papua meninggal pemerintah Pusat tidak pernah sibuk dengan hal itu. Tetapi ketika kekayaan dan harta orang Papua direbut oleh beberapa Negara luar, maka dimana-mana akan menjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luar biasa. Kemana wajah neger ini?

Papua hanya dijadikan ajang untuk memperkaya Jakarta dan sekitarnya. Papua hanya dijadikan symbol untuk mendapat berbagai pengakuan dan kekayaan dari luar. Memalukan bukan? Bagi mereka kemanusia orang Papua sangat tidak bernilai dibandingkan dengan harta dan kekayaan yang ada. Makanya jangan heran, kalau SBY serta kroni-kroninya pergi ributkan masalah LNG Tangguh di negeri china.

Ulasan ini hanya perenungan yang perlu untuk direnungkan, terutama di tujukan untuk Pejabat Jakarta dan sekitarnya yang selalu jahat dan begis terhadapa masyarakat dan Kekayaan alam di PAPUA. Pada akhirnya perlu dipahami, bahwa semua manusia di muka bumi perlu yang namanya kebebasan. Kebebasan adalah pintu untuk mencapai keselamatan.

Artikel ini disadur ulang dan diterbitkan kembali dari blog pribadi penulis yang ditulis pada 9 November 2008.

)* Penulis adalah pendiri Suara Papua, aktivis dan jurnalis Papua

Artikel sebelumnyaDamai Itu Ladang Bagi Penjajah
Artikel berikutnyaKemiskinan Vs Pembelaan Kekuasaan di Papua