Diskursus dan Dilema Mahasiswa Eksodus Papua

0
1626

Oleh: Alleb Koyau)*

 Diskursus Mahasiswa Eksodus

Berawal dari peristiwa ujaran dan tindakan rasialisme masyarakat Melayu Indonesia dari Surabaya-Malang mengagitasi mahasiswa Papua di seluruh pusat-pusat kota studi negeri kolonial Indonesia memutuskan untuk pulang kampung dengan eksodus. Aksi eksodus mahasiswa Papua 2019 merupakan yang terbesar dalam sejarah sejak okupasi Indonesia atas Papua Barat terjadi pada tahun 1961-1963.

Dari data pemerintah menyebut setidaknya 2.046 mahasiswa Papua sudah meninggalkan kota studi mereka dan kembali ke tanah Papua Barat. Sementara menurut sumber mahasiswa eksodus sendiri berbeda. Mereka menaksir lebih dari angka tersebut. Berangkat dari titik tolak aksi eksodus ini, maka timbulah pertanyaan: mengapa mahasiswa Papua meninggalkan kota studi mereka? Apakah mereka benar-benar pulang untuk melakukan perjuangan dan perlawanan demi menuntut hak-hak rakyat dan bangsa Papua Barat yang dilecehkan sejak 1963, ataukah ada faktor lain yang turut dipertimbangkan sehingga mereka ikut melakukan eksodus?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan diskursif yang memerlukan jawaban dari telaah dan perspektif-perspektif mahasiswa dengan dunia aktivisme yang melekat padanya.

ads

Mahasiswa dalam histori dunia adalah kelompok muda-mudi berintelektual tinggi yang telah menorehkan narasi-narasi historisnya ketika menjadi garda terdepan dalam mengusung dan memenangkan suatu perjuangan. Oleh karenanya, ketika mahasiswa Papua melakukan eksodus ke tanah air, maka tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk ekspresi ketakutan mereka atas ketidaknyamanannya di pusat-pusat studi sentral kota kolonial. Melainkan ada latar tertentu yang kiranya menjadi pegangan. Dan itu telah terlintas di dalam benak banyak pihak terutama rakyat Papua yang sedang berada dalam pusaran derita dan tangisan di atas negerinya.

Lantas, apa benar demikian adanya? Untuk memahaminya, maka perlulah kita mengurai dari luar bagaimana pergerakan mereka pasca tiba di tanah air dan hiruk-pikuk dinamika kekiniannya.

Sejak pertamakali para mahasiswa melakukan eksodus, sebenarnya hal yang paling ditakutkan oleh tiap bangsa kolonial manapun di dunia telah terjadi. Penguasa Jakarta pusing. Ketakutan. Bahkan shock. Itu sepintas nampak dari beragam ekspresi langsung yang muncul. Seorang jenderal bintang dua asal Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw dalam suatu media lokal ternama di Papua Barat menyatakan kepulangan mahasiswa Papua ini sangat berbahaya bagi Indonesia, karena mereka merupakan kaum terpelajar. Ada kekhawatiran jenderal ini, bahwa bilamana mengabaikan kepulangan mereka, maka para generasi muda itu dapat menjadi ancaman bagi kedaulatan dan tatanan pemerintahan kolonial  yang menjalankan sistemnya di tanah Papua Barat karena mereka adalah kaum intelektual, menurutnya. Maka ia mewanti-wanti agar semua mahasiswa perlu didata dan dikembalikan ke kota studi mereka masing-masing. Ungkapan jenderal bintang 2 asli Papua ini mengindikasikan bahwa terdapat keraguan dan ketakutan jika keberadaan mahasiswa eksodus tidak ditangani sesegera dan secepat mungkin. Ternyata hal serupa tidak hanya menjadi fokus perhatian sang jenderal. Para petinggi pemerintahan kolonial Indonesia di Jakarta, seperti Jend.Purn. Wiranto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian hingga Panglima TNI, Jenderal Hadi Tjajanto dll. juga turut berkali-kali menyatakan bahwa mereka siap memfasilitasi kepulangan para mahasiswa eksodus untuk kembali ke kota studi masing-masing di sentral kota kolonial, tanah Jawa dan wilayah-wilayah sekitarnya.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Sebagaimana telah dicatat oleh sejarah, bahwa para petinggi kolonial Indonesia ini menyadari benar apa konsekuensi jika mahasiswa eksodus ini tidak segera di atasi. Bagi mereka adalah ancaman. Mahasiswa eksodus dapat menjadi bom waktu. Sehingga  sekali lagi adalah ancaman besar. Maka satu-satunya solusi adalah memulangkan mahasiswa eksodus kembali ke habitatnya. Lalu, dengan begitu apa respon para mahasiswa?

Pentinglah kita menyanjung kekompakan para mahasiswa yang menolak dengan tegas untuk bertemu dengan para pejabat lokal setempat di bawah komando gubernur Papua dan kroninya. Mahasiswa tetap bertahan pada idealismenya walau disisi lain terdapat miskomunikasi di antara mereka sendiri. Sehingga ada yang dicabut dari jalan, dari rumah dan dari penumpangan-penumpangan mereka dengan rayuan untuk kembali ke tanah bangsa Jawa. Tetapi sebagian besar mahasiswa eksodus ternyata masih tetap bertahan. Mereka bertahan atas ideologi mereka. Tanpa paksaan, suruhan atau ajakan siapapun. Mereka kini sedang duduk dan terus menerus mendiskusikan bagaimana  arah gerakan mereka pada esok hari dan seterusnya nanti.

Secara umum keberadaan para mahasiswa eksodus ini mengalami guncangan dan trauma dengan peristiwa Uncen pada beberapa sebelumnya. Dimana kala itu, rektor Uncen yang bekerjasama dengan pihak militer tidak mengizinkan para mahasiswa untuk membuka posko di halaman kampus tersebut. Para mahasiswa yang dikepung ribuan personial militer diarahkan ke anjungan museum seni-budaya Expo yang mana tidak lama berselang, terjadi konflik antar aparat bersama milisi bentukan dengan para mahasiswa eksodus. Peristiwa naas itu memakan korban dari pihak mahasiswa eksodus dan dalam masa-masa itu sekitar tiga orang mahasiswa ditemukan tewas.

Satu mahasiswa ditembak dalam keadaan beralaskan almamater kuning Universitas Cenderawasih, sementara dua lainnya ditemukan meninggal setelah dikabarkan hilang. Atas peristiwa itu, para mahasiswa eksodus yang bagaikan diserang pukulan bertubi-tubi; tidak hanya di tanah perantauan tetapi di atas negerinya sendiri mereka masih dibidik dan dibunuh layaknya binatang. Kini mereka telah bergeser ke asrama-asrama kabupaten yang terdistribusi di Jayapura. Ini tidak termasuk dengan yang sudah tiba di kabupaten masing-masing sejak awal.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Setelah berhasil menciptakan pukulan dan gertakan, pihak berwenang kini  mengklaim telah berhasil memulangkan ratusan mahasiswa eksodus kembali ke kota studi masing-masing. Para pihak berwenang terus melakukan pendekatan dan upaya mempengaruhi para mahasiswa untuk back to school. Lalu akankah hal itu berhasil? Untuk menuju pertanyaan ini, jawabannya ada pada mahasiswa eksodus sendiri.

Apakah mereka akan menyerah dan kembali ke studi masing-masing atau akan tetap berdiri untuk berjuang melakukan perlawanan hingga Papua Barat merdeka? Berdasarkan berita yang baru-baru ini dimuat pada salah satu media online di Papua,  telah ada upaya mahasiswa eksodus untuk menemui Gubernur Papua yang pada awalnya mereka tolak. Entah apa isi wacana yang ingin mereka sampaikan, tidak ada yang tahu. Tetapi yang perlu diketahui adalah para mahasiswa eksodus nampaknya sudah mulai melunak atau gerangan apa yang mendorong mereka untuk akhirnya bertemu gubernur, hanya mereka yang tahu.

Dilema Gerakan Mahasiswa di Papua Saat ini

Perlu sebuah kejujuran bahwa sejak aksi amuk massa pada bulan Agustus-September  itu, situsi dan kondisi Papua memasuki predikat darurat. Entah darurat sipil atau militer silahkan dipersepsikan sendiri. Lebih dari 6000an pasukan didroping dari luar Papua. Ada juga mengatakan jumlahnya jauh lebih dari itu. Kehadiran aparat dalam skala besar itu, memicu ketakutan dan berdampak pada matinya kebebasan berekspresi dan ruang demokrasi. Tidak ada satupun gerakan tambahan yang terjadi. Senyap.

Peristiwa Wamena berdarah dan Expo pada 23 September seakan menjadi klimaks dari peristiwa sepanjang tahun ini. Rakyat Papua terbius dalam aroma ketakutan yang dilapisi kesenyapan. Suara-suara berani yang nampak saat amuk massa seolah lenyap dibabat moncong senjata yang berlalu lalang bak burung pengintai dan serigala lapar siang dan malam. Rakyat Papua memasuki masa tenang. Masa senyap karena dijaga ketat aparat berseragam lengkap dengan pos-posnya yang didirikan tidak jauh hanya berjarak sekitar 100-300 meter.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Dalam konteks pergerakan mahasiswa Papua, aksi patriotik dan aktivisme yang berakhir dengan amuk massa Jayapura adalah puncak dari show mereka secara legal pada 2019. Karena setelah itu, Alexander Gobay dan Ferry B. Kombo dkk ditangkap. Mereka dicap sebagai otak dibalik pengerahan massa aksi.

Alexander dan Ferry menjadi simbol terakhir perlawanan mahasiswa Papua yang terafiliasi dari berbagai perguruan tinggi di Kota Jayapura. Almamater Uncen dan USTJ menuliskan sejarah. Kedua presiden mahasiswanya ditangkap dan dipidanakan dengan pasal makar dan dilabeli tahanan politik. Memang tidaklah berlebihan jika mereka berdua dipidanakan sebagai tahanan politik. Mereka telah memulai suatu terobosan yang tidak pernah ditorehkan oleh presiden-presiden mahasiswa sebelumnya yang lebih konservatif dan sangat sarat bermain dua arah. Penangkapan mereka menjadi akhir dari narasi demokrasi mahasiswa yang selama puluhan tahun ini ini terus berlangsung dari waktu ke waktu.

Pasca penangkapan mereka, aktivitas pergerakan mahasiswa sepertinya membutuhkan waktu lagi untuk kembali hidup dan turun jalan lagi. Namun yang perlu diingat adalah bahwa selama itu juga proses kehancuran dan destruksi tatan sosial, lingkungan-kebudayaan  dalam kehidupan rakyat Papua akan terus berlangsung. Sebab para perampok dan kolonialis tidak akan pernah berhenti sampai ia merasa puas dan targetnya tercapai.

Gerakan Mahasiswa Ke depan?

Tentu sangat penting merumuskan atau mendeskripsikan bagaimana potensi gerakan mahasiswa ke depan. Dengan sumber daya yang ada, tugas selanjutnya adalah mendiskusikan akan dibawa kemana arah dan haluan gerakan mahasiswa Papua hari ini. Kondisi-kondisi objektif Papua dan manusianya merupakan ruang-ruang spasial dialektik yang perlu dikelola guna merumuskan apa yang perlu dilakukan ke depan. Situasi penindasan yang kini tengah berlangsung menampilkan wajah laksana kita berada dalam periode perang dan di bawah operasi militer, oleh karenanya, para mahasiswa perlu berkonsolidasi dengan organ-organ pergerakan di luar dirinya untuk memandang perjuangan dan mengarahkan tombak perlawanan selanjutnya. Tujuannya, merumuskan gerakan-gerakan perlawanan yang lebih intensif, progresif dan radikal mungkin sudah saatnya mulai digalakkan. Kontradiksi-kontradiksi yang dari nampaknya seolah semakin lebar dan nyata, tidak perlu diladeni dengan apik.

Cukup satukan barisan, konsolidasi dan aksi. Mungkin hanya dengan begitu, ketika momentum itu tercipta maka semua elemen-elemen rakyat dengan sendiri akan mencair dan bergabung mengular di barisan belakang. Kini pertanyaannya: bisakah begitu?

)* Penulis adalah mahasiswa Papua, tinggal di Papua. 

Artikel sebelumnyaPemkab Deiyai Diingatkan untuk Lanjutkan Pembangunan Asrama Mahasiswa di Jayapura
Artikel berikutnyaPerlawanan Damai di Hari Natal 2019