Sebaik Apapun Kau Menjadi Indonesia, Kau Tetap Papua

0
2165

Oleh: Isani Widigi)*

Ini adalah catatan refleksi saya yang pernah saya bagikan melalui media social kepada orang Papua pasca perlakuan rasis di Surabaya terhadap mahasiswa Papua pada Agustus 2019 lalu. Saya mengolahnya lagi untuk dibaca lebih banyak orang.

Papua sejak dulu sudah dipandang dengan tatapan kolonial: orang Papua itu terbelakang, primitif, tidak beradab, dipandang seakan bukan manusia. Karena itu, misi para penjelajah eropa ke Papua, misi pemerintahan Belanda, dan  Indonesia hingga kini, dan misi penyebaran agama dimaksudkan untuk memajukan, memodernkan, membuat beradab suku-suku bangsa di tanah Papua ini.  Orang Papua asli yang  hitam, keriting, kamu sudah menyandang predikat terbelakang, primitif dan tidak beradab. Narasi-narasi, kajian ilmiah, dan tulisan-tulisan telah ramai-ramai diproduksi mendukung rasisme ini. Pada akhirnya semua itu menjadi alat yang melegitimasi penghancuran kearifan, pengetahuan, kebudayaan dan semua perkakas adat yang dianggap perlambang keterbelakangan itu. Peradaban dan eksistensi ke-Papua-an kita justru menjadi bahan tertawaan, direndahkan, dikalahkan secara diskriminatif dan, kadang dipandang tidak sebagai manusia.

Berikut adalah tinjauan historis tentang bagaimana ‘orang luar’ memandang kita:

  1. Tatapan kolonial yang rasis ini mendasari doktrin hari ini bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada abat ke-13 dan -14 telah menguasai tanah Papua. Padahal, hubungan yang terbangun saat itu tidak secara langsung tetapi melalui Maluku, dan hanya bersifat perdagangan.
  2. Tatapan kolonial ini mendasari motivasi kontak orang Portugal dengan Papua. Berawal dari laporan Pigaffeta tentang pulau Papua yang dinamainya Isla de Oro (Pulau Emas), Alvaro de Saavedra diperintahkan oleh Herman Cortez (1529) dari Meksiko ke Maluku untuk mencari dan menaklukkan Isla de Oro. Karna gagal, Herman Cortez (1537) mengirim lagi Herman Griyalva untuk mencari Isla de Oro dan menaklukannya.
  3. Tatapan kolonial ini mendasari Kapten Ynigo Ortiz de Retes (20 Juni 1545) dengan kapalnya, San Juan, yang terdampar di sekitar muara Sungai Mamberamo itu lalu menamai tanah Papua sebagai Nova Guinea dan memproklamasikan bahwa pulau ini milik Raja Spanyol. Tatapan kolonial juga yang meladasari tindakan Kapten Torres proklamasikan sejumlah tempat di selatan Papua tahun 1606 sebagai milik Raja Spanyol.
  4. Tatapan kolonial ini mendasari kontak dan sejarah bangsa Papua bersama bangsa Belanda. Pada 1606, navigator Belanda Willen Janz, tiba di pantai selatan Papua dalam rangka mencari emas. Sepuluh tahun kemudian, Le Maire dan Scouten mengikutinya, menjelajahi teluk Cendrawasih ketemu pulai Biak, dan seterusnya, hanya untuk mencari sesuatu yang bernilai jual bagi pasar eropa, tentu saja dengan penaklukan, perampokan.
  5. Tatapan kolonial juga mendasari kedatangan bangsa Prancis (1768), Inggris (1770) dan Jerman (1799) ke tanah Papua. Motivasi mereka sama: mencari sesuatu yang berharga untuk diperdagangkan di pasar eropa, tentu saja dengan jalan merampas, merampok, monopoli perdagangan.
  6. Tatapan kolonial juga mendasari penyebaran agama Katolik, Protestan dan Islam di tanah Papua. Agama barat dipaksakan untuk dianut oleh orang Papua tanpa konteks: lalu semua agama adat harus dihapuskan, perkakas dan peralatan keagamaan dibakar, semua upacara-upacara agama adat dibatasi dan dihentikan paksa, lalu orang Papua dipaksa menjadi penganut Katolik dan Protestan persis sesuai dengan tata-cara orang barat. Padahal, agama adat di Papua sebelumnya juga menjadi semacam saluran perekat keharmonisan dan kesinambungan hidup dengan alam dan sebagai sarana mengatasi berbagai persoalan lokal.
  7. Tatapan kolonial juga mendasari pasar budak orang Papua di Banda, juga di Rambati, yang didominasi orang Seram dan Goram sekitar tahun 1700-1800-an. Setiap tahun, orang Seram dan Goram mendatangi kampung-kampung orang Papua sekitar Fak-Fak, Berau, Onim, Kowiyai, dan daerah-daerah sekitarnya, menyerang kampung-kampung orang Papua, menghancurkan semua rumah, bakar, dan orang-orang Papua ditangkap untuk dijual sebagai budak. Orang dari Ternate-Tidore, Makassar, Bugis, Buton, datang beli budak orang Papua di pasar-pasar ini, untuk dipakai atau untuk kemudian dijual lagi.
  8. Tatapan kolonial ini melandasi argumentasi Mohammad Yamin dalam rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945, dimana dirinya ngotot agar Papua menjadi bagian dari Indonesia merdeka, karna menurutnya, secara etnologis, Papua termasuk bangsa Indonesia, dan punya kekayaan alam yang dapat menguntungkan Indonesia.
  9. Tatapan kolonial juga melandasi argumentasi Soekarno, yang mengatakan kepada Jendral Hasaichi Taraci pada 12 Agustus 1945 bahwa bangsa Papua masih primitif dan terbelakang, dan tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Papua.
  10. Tatapan kolonial juga melandasi ditetapkannya Papua sebagai bagian dari NKRI, padahal belum satu pun orang Papua berpartisipasi dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia atau menyatakan hendak bergabung dalam Negara Indonesia yang baru dibentuk saat itu. Ini klaim sepihak yang tidak dapat dibenarkan.
  11. Tatapan kolonial juga melandasi proses Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949, dimana proses pembahasan tentang Papua sama sekali tanpa melibatkan wakil rakyat Papua, bahkan tanpa orang Papua tahu: mereka membahasnya seakan-akan Papua tanah yang tak berpenghuni.
  12. Tatapan kolonial juga melandasi dikeluarkannya TRIKORA (Tiga pendapat rakyat: Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buaatan Belanda Kolonial; Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat; Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kesatuan tanah air dari Sabang-Merauke) pada 19 Desember 1961, dimana NKRI tidak mengakui keberadaan, tidak menghargai dan menghormati keputusan politik rakyat bangsa Papua untuk merdeka, melalui deklarasi Negara pada 1 Desember 1961.
  13. Tatapan kolonial juga ada di dalam pembentukan Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat pada 2 Januari 1962, dimana NKRI sudah mulai menggalang daya upaya mencaplok Papua dengan kekuatan bersenjata.
  14. Tatapan kolonial juga mendasari tindakan Negara Indonesia sehari dua hari setelah penyerahan kekuasaan dari UNTEA ke NKRI, tanggal 3-4 Mei 1963: Indonesia membakar habis tanpa sisa semua buku, dokumen, sketsa dan gambar tentang Papua (manusia, kebudayaan dan sejarahnya) di Jayapura dengan maksud membasmi sejarah bangsa Papua.
  15. Tatapan kolonial juga melandasi aksi NKRI membungkam aspirasi politik bangsa Papua dengan gelombang penangkapan, pemenjarahan, penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh politik Papua sejak 1962-1969.
  16. Tatapan kolonial mendasari tindakan Negara Indonesia merampok semua barang-barang peninggalan Belanda di Jayapura dan sekitarnya tahun 1962-1963, mobil dan motor, termasuk kain horden dan botol-botol bekas.
  17. Tatapan kolonial juga ada di balik penandatanganan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia tahun 1967, dua tahun sebelum Pepera 1969. Indonesia dengan tatapan kolonialnya menandatangani KK atas tanah yang masih berstatus quo.
  18. Tatapan kolonial juga ada dalam kata-kata Panglima TNI Ali Moertopo saat sebelum Pepera 1969 yang mengatakan, bila rakyat Papua ingin merdeka, tinggalkan tanah Papua, pergi pindah ke salah satu pulau di pasifik dan merdeka di sana, atau surati Amerika Serikat agar dibawa pindah ke bulan untuk merdeka di sana.
  19. Tatapan kolonial juga ada di dalam penyelenggaraan PEPERA 1969, dimana hak rakyat Papua untuk opsi menentukan nasib sendiri tidak menjadi pilihan; juga one man one vote tidak dihargai dan dibungkam dengan musyawarah-mufakat: sebuah cara NKRI untuk merekayasa suara rakyat Papua, dimana 1025 orang yang sudah dipengaruhi NKRI saja yang memilih mewakili skitar 800 ribu orang Papua saat itu.
  20. Tatapan kolonial juga ada di balik dibungkam dan dihancurkannya melalui perang dan diplomasi, semua hal yang berhubungan dengan Proklamasi 1 Juli 1971 oleh OPM di desa Waris, Jayapura.
  21. Tatapan kolonial juga ada di balik dibunuhnya Dr. Thom Wanggai dari penjara Cipinang pada 1986; dikucilkan, gerakannya ditumpas dengan senjata, dan tidak mengutamakan jalan damai.
  22. Tatapan kolonial juga ada di balik berbagai isu pelanggaran HAM yang ada di Papua: Uncen Berdarah, Wamena Berdarah, Paniai Beradarah, Biak Berdarah, Wasior Berdarah, Nabire Berdarah, dan semua yang lainnya: semua kasus pelanggaran HAM itu sengaja didiamkan, tidak diselesaikan, oleh karena NKRI menganggap rendah hak hidup dan harkat/martabat orang Papua.
  23. Tatapan kolonial juga ada di balik kurikulum pendidikan sentralistik yang diterapkan di Papua hingga kini: dimana pendidikan pancasila, pendidikan bela Negara, pendidikan integritas NKRI menjadi yang utama didoktrin dibanding pelajaran yang lain. Lebih-lebih soal kearifan lokal Papua yang tidak boleh ada di dalam kurikulum pendidikan (terutama soal sejarah Papua yang sebenarnya). Kurikulum sentralistik, ditambah memoria passionis orang Papua, menghasilkan generasi Papua dengan mental inverior complex, merasa rendah diri, dan seterusnya.
  24. Tatapan kolonial juga ada di balik program transmigrasi: orang-orang luar Papua didatangkan besar-besaran untuk memberi orang Papua pelajaran bagaimana hidup yang beradab. Para transmigran harus mengajari orang Papua membuat sawah, hidup menurut tata cara dan budaya pendatang, karena menanggap tata cara dan budaya orang Papua mewakili zaman batu yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, di awal-awal, orang Papua asli dan atau beberapa suku bangsa Papua diapit oleh banyaknya transmigran, sehingga diharapkan orang asli Papua hidup dan berperilaku laiknya pendatang yang menjadi cermin modernitas.
  25. Tatapan kolonial juga ada di balik program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-V yang digalang Orde Baru RI. Dimana Papua dipandang sebagai objek yang seperti kertas kosong yang harus diisi, diajari, dibangun oleh Negara, bahkan dengan kekerasan: semua orang Papua yang mempertahankan eksistensi diri sebagai Papua dianggap separatis dan berhak dibunuh.
  26. Tatapan kolonial juga ada di balik semua eksploitasi SDA: Emas, minyak bumi dan gas alam, hutan, dan perkebunan sawit-padi dalam rupa perusahaan-perusahaan nasional dan multi nasional. Negara menugaskan militernya untuk menjaga aset-aset para pemodal ini sehingga, rakyat Papua yang melawan harus berhadapan dengan militer bila melawan dan diharuskan mati pasrah menerima nasib dijajah.
  27. Tatapan kolonial juga ada di balik tidak didengarkannya aspirasi bangsa Papua melalui Tim 100 yang bertemu dengan Presiden RI, dan pemaksaan paket Otsus yang tidak diminta orang Papua.
  28. Tatapan kolonial juga ada di balik berbagai pemekaran yang saat ini marak untuk mengerjakan dan membangun semua syarat bagi diekspolitasinya tanah air dan semua yang dikandung Papua ini, yakni hendak membagi tanah Papua menjadi lima provinsi. Padahal, rakyat Papua menolaknya karena merasa diri belum siap.
  29. Tatapan kolonial juga ada di balik ujaran rasis yang dialami orang Papua: terhadap mahasiswa Papua di luar Papua yang dipanggil kete, wong ireng, monyet, kotor, kasar, bau, kanibal, malas, suara besar, tidak bertanggungjawab, bodoh, primitive, terbelakang, manusia zaman batu. Tatapan kolonial ini ada di balik semua hal berbau rasis yang dialami orang Papua di luar Papua. Yang terakhir, kita dengar Pastor dari Ordo Serikat Jesus (SJ), guru di SMA Adhi Luhur Nabire, kotbah di Katedral Jakarta pada 24 Desember 2019 malam yang isinya sangat merendahkan orang Papua yang disebutnya sebagai ‘tempat berkarya’.
  30. Tatapan kolonial juga ada di dalam semua penangkapan sewenang-wenang, pemenjarahan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan paksa atas aktivis orang Papua selama ini; pembungkaman ruang demokrasi dan hak rakyat Papua untuk berpendapat di muka umum, berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapatnya; pembatasan jurnalis/pekerja pers baik nasional Indonesia maupun internasional/asing untuk mengakses Papua.
  31. Tatapan kolonial juga ada di balik semua perlakuan rasis yang dialami orang Papua yang ada di pemerintahan, terhadap gubernur, para bupati dan walikota di Papua kala berhadapan dengan Jakarta; Jakarta selalu menempatkan diri sebagai pihak yang lebih paham, yang lebih cerdas, yang lebih lihai, yang lebih mampu, sebagai guru, sebagai manusia, yang hendak/berusaha/ingin membantu bangsa Papua agar menjadi sama seperti mereka, agar Papua menjadi beradab, terbangun, maju, dan modern seperti mereka.
  32. Tatapan kolonial juga ada di balik semua tafsir, pandangan, kata-kata orang pendatang di Papua yang sebelumnya sudah kenyang dengan doktrin kolonialisme atas Papua melalui media-media masa cetak, elektronik, dan melalui publikasi-publikasi ilmiah lainnya. Sehingga mereka bertindak, berperilaku, berkata-kata, berpikir, dan dan membangun semangat-motivasi yang kolonialistik dalam hubungannya dengan orang-orang Papua dan atau dengan tanah Papua dan kekayaan alamnya.
  33. Tatapan kolonial juga ada di balik pandangan orang Indonesia yang berpikir Papua belum bisa, belum mampu, masih terlalu primitive untuk membentuk dan mengurus Papua sebagai negara sendiri. Tatapan kolonial juga ada di balik pandangan bahwa Indonesia perlu berada di Papua untuk membuat rakyat Papua maju, beradab, dan berkembang, karena tanpa Indonesia, Papua akan kacau dan menuju kepunahan; bahwa Indonesialah yang membantu bangsa Papua menjadi beradab dan bangsa Papua tidak bisa apa-apa tanpa Indonesia; dan pandangan bahwa Papua masih membutuhkan Indonesia.
  34. Dan seterusnya, silahkan diisi untuk melengkapi.
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Semua ini menjadi bukti bagaimana dari dulu hingga kini, orang Papua dipandang sebagai orang kelas dua di Indonesia ini, yang selalu, selalu, membutuhkan NKRI untuk menjadi manusia. Namun, sebaik apa pun, sehebat apa pun, usaha, kepintaran, budi, marifat, kita orang Papua dalam hal menjadi seperti Indonesia, kita akan tetap dipandang sebagai Papua yang ada di kelas dua. Karna itu kita harus merdeka secara politik dan mandiri secara ekonomi untuk menjadi diri kita sendiri: bangsa Papua.

ads
Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Selamat memasuki tahun baru 2020. Mari mendukung agenda Perang Rakyat Papua dibawah komando Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan Mogok Sipil Nasional (MSN) dibawah arahan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menuju Referendum di tanah Papua.

)* Penulis adalah pemuda Papua, tinggal di Nabire.

Artikel sebelumnyaVIDEO: Pastor Managamtua Hery Berthus Simbolon, SJ Meminta Maaf ke Orang Papua
Artikel berikutnyaPEPERA Dinilai Cacat Hukum, MK Akan Memutuskan