Deiyai Miliki Polres, Ini Harapan DPRD

0
1376

DEIYAI, SUARAPAPUA.com — Kepolisian Resort (Polres) Deiyai merupakan satu dari lima Polres usulan Polda Papua pada tahun lalu. Kehadirannya diharapkan mampu melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai misi Polri.

Hendrik Onesmus Madai, anggota DPRD kabupaten Deiyai, mengemukakan hal ini menanggapi kehadiran Polres baru lepas dari Polres Paniai.

“Harapan kami selaku wakil rakyat bahwa dengan hadirnya Polres Deiyai, seluruh aparat kepolisian yang bertugas di daerah ini harus bisa memberikan jaminan keamanan kepada seluruh masyarakat Deiyai,” ujarnya baru-baru ini di Wakeitei.

Baca Juga: Di Deiyai Aparat Hambur Tembakan, 6 Orang Tewas

Daerah Tigi yang kini disebut Deiyai selama masih bergabung maupun setelah lepas dengan kabupaten Paniai tercatat terjadi banyak kasus penembakan yang menimpa warga sipil. Sejumlah oknum aparat keamanan diduga kuat terlibat di dalam beberapa peristiwa berdarah.

ads

Baca Juga: Nestapa Deiyai

Belajar dari sejumlah kasus pertumpahan darah rakyat sipil di kabupaten Deiyai selama ini, diharapkan tak terulang lagi setelah hadirnya Polres Deiyai.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“Polres akan membawahi Polsek. Selama ada Polsek saja di kabupaten ini sudah terjadi banyak masalah hingga memakan korban jiwa. Dengan hadirnya Polres, wajib hukumnya untuk mengamankan daerah dan menghadapi persoalan masyarakat dengan pendekatan kultural dan humanis. Dengan begitu tidak terjadi kasus berdarah. Intinya, Kepolisian harus menjadi pelindung masyarakat yang juga umat Tuhan di daerah ini,” tandasnya.

Baca Juga: Gereja Katolik: 39 Warga Sipil dan Lima Anggota TNI/Polri Luka-luka dalam Insiden Deiyai

Kehadiran Polres, lanjut dia, sebenarnya ditolak masyarakat mengingat kelamnya masa lalu di daerah Tigi dan sekitarnya (Deiyai). Tetapi, aspirasi penolakan itu tak mungkin berbuah karena ini bagian dari kebijakan negara: satu kabupaten satu Polres.

“Karena Polres setingkat di atas Polsek sudah hadir di sini, dari sejak awal kami mau tekankan bahwa masalah-masalah yang terjadi pada saat lalu agar jangan diulangi lagi,” ujarnya sembari menyebutkan fakta empat kasus berdarah besar di kabupaten Deiyai.

Baca Juga: Kapolda Papua Diminta Bebaskan Delapan Tersangka Kasus Deiyai

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Senada diungkapkan Naftali Magai, anggota DPRD kabupaten Deiyai.

Naftali menyatakan, pihak kepolisian harus belajar dari pengalaman empat peristiwa berdarah di Deiyai yang terakhir tragedi penembakan dan penangkapan pascademo lawan rasisme pada tanggal 28 Agustus 2019.

“Kami mau tegaskan bahwa aparat jangan lagi ulangi kejadian masa lalu di Deiyai. Untuk itu, Polres baru harus dari awal bisa tunjukan kinerjanya yang baik supaya masyarakat semakin simpati,” ujarnya.

Baca Juga: Amnesty, YLBHI dan KontraS Meminta Segera Investigasi Kasus Deiyai

Karena kalau itu tak dilakukan alias kisah tragis sama diulangi, ia tegaskan, kehadiran Polres tak ada artinya di kabupaten Deiyai.

Untuk itu, aparat keamanan diharapkan agar harus belajar memahami budaya dan tradisi adat istiadat masyarakat setempat.

“Setiap personil yang dikirim dan ditugaskan di Deiyai harus belajar banyak tentang kebiasaan, budaya dan adat masyarakat Papua, suku Mee, dan khususnya warga Deiyai yang berdomisli di lima distrik,” ujar Naftali.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Baca Juga: Stop Pakai Senjata Tembak Sembarang OAP!

Setelah sudah dipahami dengan baik, ia yakin, aparat akan mampu bedakan ketika orang bawa anak panah, pakai Koteka, gelang di tangan, dan asesoris lainnya, termasuk ketika orang bawa Noken.

“Apalagi di Noken ada gambar atau warna tertentu, tidak boleh langsung disangka sebagai kelompok separatis dan main tangkap. Itu jangan terjadi, seperti pernah dialami oleh beberapa orang di sini,” bebernya.

Baca Juga: Noken Jati diri dan Identitas Orang Papua

Selain Noken sudah diakui oleh UNESCO di Paris-Prancis pada tahun atas perjuangan keras Titus Pekei yang juga putra asli Deiyai, anak panah dan busur merupakan jati diri pria suku Mee yang amat lekat dalam kehidupan sehari-hari.

“Perlu diketahui bahwa ukaa dan mapega biasa dibawa setiap hari oleh laki-laki sebagai bagian dari budaya, bukti jati diri laki-laki Mee. Mereka bawa busur dan anak panah bukan untuk bunuh orang,” imbuhnya mempertegas.

Pewarta: Markus You

Artikel sebelumnyaMiliter Indonesia Gunakan Berita Internet sebagai Senjata di Papua
Artikel berikutnyaMasyarakat Deiyai Diminta Dukung Program Pembangunan