Sejarah ‘Emas Hitam’ dari Pegunungan Bintang

0
2202
adv
loading...

Oleh: Melkior N.N Sitokdana)*

Sejarah Singkat Kopi Di Okbibab

Pegunungan Bintang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di perbatasan Papua New Guinea. Kabupaten ini memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah. Salah satu potensi alam yang kian tersohor di nusantara adalah kopi Typica Arabica atau sering dijuluki “Emas Hitam dari Pegunungan Bintang”. Dalam beberapa ivent festival kopi tingkat Papua dan  nasional Kopi ini selalu unggul dalam hal citra rasanya. Penilaian tersebut bukan tanpa alasan karena berdasarkan  hasil tes laboratorium Puslit Kopi Indonesia di Jember mendapat kategori “Excellent” dengan point 85.  Kopi ini menjadi unik karena hasil persilangan typica, bourbon dan cattura sehingga menjadi “Kopi Langka dan Tua”  sekelas  kopi  Blue Mountain dari Jamaica dan sama dengan Kopi dari Nikaragua. Kopi ini rasanya taste dan flournya masih natural dan seimbang karena diproduksi dari Pegunungan tinggi yang tanahnya subur dan tanpa polusi industri.

Untuk itu, kami ingin berbagi cerita sejarah awal mula budidaya kopi Pegunungan Bintang, khususnya di satu wilayah yang dijadikan sebagai pusat pengembangan kopi Typica Arabica, yaitu Okbibab. Mengapa Okbibab?, karena Emas Hitam dari Pegunungan Bintang  yang tersohor di nusantara ini awal mulanya dibudidayakan di Okbibab oleh para misionaris berkebangsaan Belanda.

Sebelum kopi tersebut dibudidayakan, daerah ini dibuka pos penginjilan dan sekolah buta huruf oleh Paster Hylkema pada awal tahun 1960-an. Setelah membuka pos penginjilan,  Pater Hylkema mulai dengan membuat kebun sayur milik misionaris Katolik, kurang lebih di lahan sekitar 5 hektar. Untuk membuat kebun  tersebut Pater membayar lahan kepada pemilik dusun, yaitu Nongwok Kasipmabin (Kakek dari Jackson Kasipmabin) dengan satu buah kampak yakun, satu kaleng sauris pelat, satu bungkus korek api dan garam.  Setelah membayar lahan kebun, Pater Hylkema dibantu para pemuda setempat membangun kebun untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya.

ads

Beberapa tahun kemudian Pater Hylkema pindah tugas dan  digantikan oleh Pater Suwarces pada tahun 1968. Pada waktu Pater Suwarces  bertugas itulah mereka membangun kebun raya di lahan sekitar 5 hektar. Kebun tersebut ditanami berbagai sayur mayur, seperti sayur kol, kacang boncis, kacang ercis, wortel, kubis, dan lain-lain.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pengembangan kebun raya tersebut dibantu pemuda-pemudi dari kampung Abmisibil, Okbifisil dan Okse-Okbul, al:  Leo Sitokdana, Saperius Sitokdana, Abraham Asemki, Karolus Singpanki,  Yonas Kalakmabin, Anton Wasini, Lukas Apintamon, Mumur Payumka,  Wepram Sipka, Abraham Asemki, Frans Asemki, Yohanes Wasini, Robert Ningdana, Daniel Kasipmabin, Titus Kasipmabin, Lukas Uropmabin, Tadeus Uropmabin, Sakarias Setamanki, Ignas Kasipmabin, David Ningdana, Stefanus Alwolka, Rafel Uropmabin, Simon Siktaop, Basilius Siktaop, Titmin Siktaop, Mateus Uropmabin, dan lain-lain. Selain itu, beberapa muda-mudi dijadikan sebagai juru masak, yaitu Andy Urpon, Alm. Robert Ningdana, Dominika Kasipmabin, Apolonia Tepmul, Apolonia Uropmabin, Willem Asiki dan  Marike Kasipmabin. Mereka yang membantu Pater dibayar dengan baju, celana, korek api dan garam.

Kebun sayur yang ditanam tersebut hasilnya berkarung-karung kirim ke Jayapura untuk petugas keuskupan Jayapura dan pengusaha Cina. Beberapa tahun kemudian datanglah Pater Piet Vande Stap yang dipindah tugaskan dari Paniai. Pater Piet sekalian bawah bibit Kopi Monemani pada tahun 1972 dan tanam diselah-selah tanaman sayur-mayur. Sebagian yang ditanam tidak tumbuh, hanya 5 pohon yang tumbuh karena di bawah pohon Kuki dan Saprek. Kopi yang ditanam tersebut berbuah setelah 5 tahun. Kemudian Pater Pit Vande Stap dibantu Willem Asiki dan Domika Kasipmabin panen dan mengolah kopi tersebut dengan alat seadanya untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Pater dibantu juga oleh Alm. Robert Ningdana dalam hal merawat kebun dan membantu bongkar-muat barang-barang misionaris.

Selama 10 tahun  Pater bertugas di Abmisibil (Okbibab) mengkonsumsi kopi tersebut. Suatu waktu  Pater Piet minum kopi bersama Andy Urpon, Pater mengatakan “Kopi Abmisibil luar biasa, kopi paling istimewa, kopi hebat, kopi luar biasa, kenapa harus saya kasih tinggal kopi ini dan pulang ke Belanda”. Pada waktu minum kopi tersebut ungkapan ini selalu Pater  katakan berulang-ulang.

Untuk memperlancar pelayanan misi penginjilan, pengembangan pendidikan dan ekonomi sejak awal tahun 1960-an dibangun gedung pastoran. Gedung tersebut digunakan juga untuk menyimpan pakaian dan gudang makanan. Pakaian  untuk diberikan kepada pemuda/i yang membantu pater, sedangkan ruangan lainnya untuk menampung umbi-umbian untuk makanan para pembantu pastor.  Bangunan Pastoran tersebut pertama dibangun oleh Pater Keiser bersama dua tukang yaitu, Marius Tanggakma dari fakfak dan Tadeus dari Kamoro pada tahun 1962-1963. Pastoran yang dibuat dengan bahan apa adanya dengan kayu besi, yaitu kayu Ebit, kayu Del,  kayu Bing dan Batu yang diambil dari sekitar pastoran. Sedangkan dinding dibuat menggunakan Solkon. Beberapa tahun kemudian dinding diganti oleh Pater Suwarces pada tahun 1969 dengan papan dari pohon Esip dan Manga, didalamnya diancam menggunakan mase (gabah-gabah). Pada saat anyaman guru-guru katekis dari paniai membantu mengajarkan pemuda lokal membuat pastoran tersebut,  karena anyaman tersebut sama seperti yang para misionaris buat di Paniai.  Pastoran yang dibuat tersebut hingga sampai saat ini masih berdiri kokoh, namun sudah dibangun pastoran yang baru dengan fasilitas yang serbah modern. Pastoran lama tidak bisa bongkar karena merupakan tempat yang sangat bersejarah bagi masyarakat setempat, dimana dari tempat tersebut peradaban manusia setempat dibangun, harga diri umat manusia di angkat, gambaran keistimewaan mengenai nilai-nilai orang barat, dan tempat dimana roh-roh penyelamat tinggal dan memberikan kehidupan bagi masyarakat setempat. Namun setelah saat ini, pastoran tersebut tidak di urus sehingga nilai-nilai rohani sudah tidak ada.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Setelah pohon Kopi  yang ditanam Pater Pit Vande Stap menghasilkan bibit-bibit baru, maka masyarakat setempat mulai mengambil sebagian dan tanam di kebun masing-masing. Salah satu tokoh yang mengambil bibit kopi tersebut adalah Andy Urpon.  Ia mengambil bibit dan tanam dikawasan kompleks kecamatan Okbibab saat ini, tepatnya dekat kantor Koramil. Pada waktu itu Andy Urpon rumahnya dibangun di tempat tersebut karena sempat bantu-bantu juga di kantor pemerintahan. Pada waktu itu Ia tanam kopi  di selah-selah pohon pisang sehingga cepat tumbuh dan subur. Kemudian Andy Urpon pindah rumah ke dekat pastoran baru sekarang pada bulan januari tahun 1982. Sekalian pindahkan kopi ke dekat pemukiman baru. Pada saat itu mulai Ia kembangkan kopi dilahan kurang lebih sekitar 1 hektar. Wilayah tersebut tanahnya subur sehingga tumbuh cepat, sebagian yang sudah berbuah menghasilkan bibit sehingga diperbanyak lagi. Pada waktu itu, pohon kopi yang ditanam tersebut panen pada tahun ke 5. Seperti pengalaman Pater Piet Van Der Stap mulai tanam tahun 1972 dan panen tahun 1977 dan Andy Urpon tanam tahun 1982 dan panen mulai tahun 1987.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Setelah Kopi sudah menghasilkan bibit-bibit, masyarakat lainnya mengambil bibit dari Pater Piet Van Der Stap dan sebagian dari Andy Urpon mengembangkan kopi di kebun masing-masing. Mulai tanam di sekitar Abmisibil, Okbifisil dan sebagian bawah ke Okbab, yang sekarang kita kenal dengan Kopi Lopkop.

Selain itu, Bibit Kopi mulai datangkan dari luar setelah melihat perkembangan kopi di Abmisibil yang cukup menjanjikan melalui program Gersatera atau kepanjangannya Gerajakan Desa Sejahtera. Program tersebut diinisiasi Pemerintah Daerah Jayawijaya pada tahun 1988.  Dari Wamena mengirim alat pertanian, bibit-bibit tanaman, ternak dan ikan. Termasuk banyak bibit kopi yang dikirim ke seluruh Pegunungan Bintang.  Dengan adanya program tersebut masyarakat mengembangkan banyak kebun kopi.

Kemudian pada tahun 2002-2003 ada program DMC, yaitu bantuan sosial dari Bank Asia kepada Papua yang digagas oleh orang Belanda bernama Van De Bergh karena waktu itu terjadi musibah kelaparan. Termasuk Pegunungan Bintang mendapatkan bantuan pengembangan Kopi. Waktu itu masyarakat membangun gudang kopi dan kebun di seluruh kampung. Dengan bantuan bibit Kopi dari program tersebut sehingga rata-rata setiap keluarga memiliki kebun sendiri.

Berikut adalah keluarga yang sudah memiliki kebun kopi, yaitu: Okbab kampung Lopkop, antar lain;  Darius Kalyala, Ananias Uropmabin, Elias Kaladana, Yohanes Kalaka, Sipri Kalaka, Obeth Urwan, Marsel Wasini (Bipban). Kampung Okbifisil; Markus Sitokdana, Abraham Kakerok, keluarga Asemki, Yonas Kalakambin, Victor Sitokdana, Yermias Sitokdana dan Anton Kasipdana. Kampung Atolbol, al:  Willem Sitokdana dan Lidia Sitokdana. Kampung Abmisibil, al: Andy Urpon, Markus Urpon, Klemens Kasipmabin, Marthin Kasipmabin, Sakarias Setemanki, Leitus Setamanki, Obeth Kasipmabin, Mateus Alwolka, Domin Kasipmabin, Palentinus Kasipmabin, Lidia Sitokdana. Kampung menunggal, yaitu Tadeus Uropmabin, Primus Uropmabin, Isak Uropmabin, Aleks Uropmabin, Meli Uropmabin, Amatus Uropmabin. Kampung Fisilkop, al:  Otto Kasipmabin dan Marius Kasipmabin. Kampung Okbetel, al:  Sakeus Mimin, Marselus Kasipdana dan  Barnard Sipka. Kampung Iriding, yaitu Ambrosius Nalsa, dan lain-lain. Hingga sekarang hampir semua keluarga sudah memiliki kebun Kopi. Dari kebun-kebun tersebut dalam sebulan bisa memproduksi kopi greenbean paling sedikit 1 ton.

)* Penulis adalah pengajar di UKSW Salatiga, Jawa Tengah

Artikel sebelumnyaSkuat Persipura Segera Diumumkan
Artikel berikutnyaKepsek dan Guru Honor SDN Kwesefo Dibayar 300 Ribu/Bulan