Kesejahteraan Dalam Penjajahan? Omong Kosong!

1
1596

Oleh: Victor F. Yeimo)*

Syarat Papua sejahtera adalah kemerdekaan dari penjajahan. Lepas dari kendali system kolonialisme Indonesia. Selama bangsa Papua masih terkungkung di bawah kolonialisme Indonesia, tidak akan ada kemandirian ekonomi, pendidikan yang membebaskan, jaminan kesehatan, dan kedamaian/kebahagiaan yang hakiki.

Kolonialisme, dalam sejarah dimana pun, selalu memiliki misi menduduki, menguasai, dan menindas bangsa terjajah (koloni). Karenanya, bangsa yang terjajah secara fisik dan psikis tidak akan pernah mencapai kesejahteraan yang setara dengan bangsa penjajah.

Secara fisik, bangsa terjajah dibuat terasing diatas negerinya, dan secara psikis tertekan dalam dominasi kekuasaa penjajah, lalu menggantungkan hidup pada penguasa kolonial yang superior sehingga melahirkan rasa tidak percaya diri karena hidup dalam bayang-bayang bangsa lain, dan kehilangan identitas.

Teori kesejahteraan menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dinilai dari tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) sesuai sumberdaya yang tersedia. Lalu pilar-pilar utama untuk mencapai kesejahteraan adalah demokrasi, penegakan hukum, perlindungan HAM, keadilan sosial, anti diskriminasi.

ads

Baca Juga: PASTI: Papua akan Sejahtera Tanpa Indonesia!

Di West Papua, demokrasi tersumbat, yang terbuka hanya demokrasi prosedural (Pilgub, Pilpres, Pileg dan Pilbup). Hukum hanya berlaku untuk menindak rakyat Papua. Jadi TNI/Polri hanya bisa menggrebek orang Papua penjual Saguer/Bobo dan menangkap, memukul dan membunuh orang Papua yang mabuk, tetapi membiarkan dan melindungi penjual Miras di ruko-ruko yang menjamur di seluruh Papua, sekalipun Perda larangan Miras ada.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

HAM Papua sangat terancam, hanya mampu melindungi kaum penjajah (pendatang) dan perusahaan. Pendidikan hegemonik, mendidik dan mempersiapkan SDM (dengan kesadaran palsu) tunduk kerja dalam system kolonial. Rumah-rumah sakit yang menjadi “halte” menuju kematian. Lalu menciptakan ketergantungan ekonomi pada semua produk milik kaum penjajah. Lalu diskriminasi rasial dalam segala bidang yang didominasi kaum penjajah.

Jadi apakah orang Papua merasa puas dan senang akan semua itu? Justru Indonesia merasa puas dan senang (bahagia) kalau orang Papua kobarkan jargon-jargon NKRI harga mati, kibarkan merah putih, diam dan tunduk pada semua hukum kolonial. Dalam kondisi terpaksa, orang Papua dipaksa untuk mencari harga diri yang palsu dengan mengejar uang, kedudukan dan kemewahan dalam kolonialisme.

Kalau orang Papua puas dan senang makan nasi dan mie di kampung-kampung, putar kopi kapal api, terima dana desa, itu bukanlah ukuran kesejahteraan. Itu pembunuhan masa depan bangsa, membunuh ekonomi lokal. Itu Politik nasionalisasi pangan, agar bangsa terjajah tetap tergantung pada produk pangan kolonial. Sama dengan Indonesia akan terus tergantung dari bantuan Utang luar negeri.

Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Kalau Indonesia sungguh-sungguh punya niat sejahterakan Papua, mungkin saat ini sudah banyak orang Papua punya produksi (industry). Mungkin saat ini orang Papua mendominasi Pasar, tokoh, kios, tempat distribusi produk lokal, membuat rakyat mandiri dan berdaulat pada sumber dayanya.

Setelah menciptakan rantai ketergantungan, dan membuat rakyat terjajah secara fisik dan psikis, penjajah berlindung dan menyalakan bangsa terjajah dengan cap pemalas, pengemis, bodok, pemabuk, tidak beradab, primitive, kuno, terbelakang, termiskin, dll. Lalu kepada warga kolonial (non-Papua) diberi cap positif sebagai pendongkrak ekonomi Papua, stimulator (pembangkit) ekonomi orang Papua, dsb.

Kondisi sejahtera (well-being) yang dibayangkan kolonial adalah terpenuhinya kebutuhan material dan non-material milik penguasa dan pengusaha penjajah. Sehingga segala sumber ekonomi tanah air West Papua seutuhnya dimiliki penguasa dan pengusaha penjajah. Orang Papua disedot untuk kerja di instansi pemerintahan yang dimekar banyak-banyak. Dan “pengusaha” asli Papua hanya sibuk mengemis proyek-proyek pembangunan milik kolonial, sementara sektor-sektor produktif dikuasai penguasa dan pengusaha penjajah.

Penjajahan yang struktural dan sistematis yang demikian tidak akan pernah menjamin kesejahteraan bangsa Papua. Bila sebagian orang Papua masih yakin kesejahteraan akan datang dari Negara penjajah, maka sesungguhnya mereka bukan saja gagal paham, atau korban propaganda kolonial, tetapi juga pelarian terpaksa dari kondisi kemiskinan struktural yang diciptakan penguasa kolonial.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Jadi, kebenaran Papua akan Sejahtera Tanpa Indonesia, bukan saja karena nubuat I.S. Kejne bahwa “…bangsa ini akan memimpin dirinya sendiri”, tetapi secara teori (indikator kesejahteraan) membuktikan kolonialisme Indonesia sedang membunuh harapan kemandirian ekonomi politik bangsa Papua. Sebab kesejahteraan tidak dapat dicapai dalam situasi konflik politik antar penjajah versus terjajah.

Selama konflik politik masih belum dapat diselesaikan dengan solusi politik, bangsa penjajah akan menyebar “virus kesejahteraan” untuk melumpuhkan kesadaran bangsa terjajah. Dan bangsa terjajah akan berharap dalam ketidakpastikan hingga lambat laun habis punah dari negerinya. Indonesia tahu 350 tahun dijajah Belanda dengan politik etis, tapi juga dengan propaganda kesejahteraan, namun menyadari solusi kemerdekaan. Begitu pula Papua kini, Papua Akan Sejahtera Tanpa Indonesia (PASTI).

PASTI adalah keyakinan. PASTI adalah cita-cita. PASTI adala giroh perjuangan Kemerdekaan. Papua Akan Sejahtera Tanpa Indonesia. Itu PASTI!

)* Penulis adalah Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB)

Artikel sebelumnyaAparat Tembak Mati Satu Orang dan Dua Orang Tertembak di Intan Jaya
Artikel berikutnyaDemo Dibubar Paksa, Tiga Mahasiswa Eksodus Timika Sempat Ditahan