Sumbangan Pemikiran Paus Fransiskus Bagi Penghayatan Manusia akan Alam Ciptaan dan Relevansinya Bagi Papua

0
2533

Oleh: Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM)*

Dalam kehidupan sekarang ini, manusia tidak lagi memandang alam ciptaan sebagai bagian dari hidupnya, yang pada dasarnya harus dirawat, dipelihara dan dijaga. Manusia melihat alam sebagai bagian yang dapat mendatangkan keuntungan dalam kehidupannya. Maka, alam ciptaan dan manusia tidak berada dalam kondisi relasi yang sesuai rancangan Pencipta. Perubahan itu memperlihatkan kebangkrutan mutu relasi keduanya. Cikal bakal kebangkrutan ini bermukim pada kesadaran dan penemuan diri manusia di hadapan ciptaan.

Manusia diharapkan dapat membangun suatu pemahaman yang baik tentang bagaimana berada di tengah alam ciptaan yang ada bersama dengan dirinya, sebagai sesama ciptaan. Karena pada dasarnya alam ciptaan ini memiliki makna tersendiri yang ada pada dirinya, ia dapat memuji dan memuliakan Sang Pencipta dengan caranya sendiri. Karena segala ciptaan baik manusia maupun ciptaan yang lain, adalah ciptaan Allah. Kedudukan mereka di hadapan Allah adalah sama. Oleh karena itu sebagai sesama ciptaan, manusia perlu mengembangkan suatu spritualitas sebagai saudara terhadap sesama ciptaan yang lain. Hal inilah yang dikembangkan dalam spritualitas persaudaraan yang universal.

Memiliki Pemahaman yang Benar Tentang Alam Ciptaan

Dalam kehidupana manusia sekarang ini, alam ciptaan dilihat sebagai suatu bagian yang dapat menjamin seluruh kelangsungan hidupnya. Alam dilihat sebagai obyek yang dapat menguntungkan manusia. Maka, tidak mengherankan terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran. Pembongkaran hutan berskala besar dengan tujuan pembangunan. Pengambilan bahan tambang dan mineral tanpa dikontrol secara baik dan lain sebagainya. Inilah bentuk pemahaman yang salah dari manusia dalam melihat seluruh alam ini.

ads

Dari semua aktivitas yang salah ini, maka tidak mengherankan terjadi akibat yang buruk dan menelan korban. Banjir yang terjadi dimana-mana. Hilangnya keanekaragaman hayati yang menjamin keseimbangan kelangsungan hidup seluruh ciptaan ini. Krisis air yang melanda sebagaian negara di dunia ini. Suhu udara dan iklim yang tak menentu musimnya. Ini semua merupakan krisis yang dialami oleh manusia di atas planet ini.

Dalam ensiklik Laodato Si’, Paus Fransiskan mengutarakan dampak kerusakan alam ciptaan kepada semua orang. Di sisi lain, Paus juga mengutarakan pemahaman yang benar tentang alam ciptaan yang disertai dengan sumbangan yang dapat dibuat untuk mengatasi krisis tersebut. Bagi Paus, alam ciptaan pada dasarnya mempunyai makna intrinsik tersendiri, yang daripadanya ia sendiri dapat memuji dan memuliakan Allah. Sehingga sekali lagi, manusia tidak bisa menjadikan alam ciptaan sebagai obyek saja demi kepentingannya. Karena itu tepatlah kalau dikatakan Allah adalah sumber dan pusat segala sesuatu. Maka manusia harus memiki pemahaman teosentris bukanlah pemahaman antroposentris.

Cerita dalam Kitab Kejadian menyatakan kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, dengan bersabda dan juga dalam suatu proses. Allah adalah pelaku tunggal dalam penciptaan. Allah sendirilah yang menjamin seluruh ciptaanNya. Jika semua ciptaan ini, termasuk manusia, diciptakan oleh Allah, maka, Allah saja yang mempunyai kuasa atas ciptaan. Tetapi kenyataannya, manusia sekarang ini salah mengerti atau mempunyai pemahaman yang keliru dengan alam ciptaan. Manusia melihat alam sebagai suatu bentuk keuntungan yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya, tanpa menghargai alam ciptaan sebagai bagian dari hidupnya yang dipelihara dan dijaga.

Kenyataan bahwa keseimbangan yang terganggu telah menjadi isu global yang menarik untuk dilihat secara bersama. Kerusakan alam yang terjadi, mengakibatkan bencana, seperti tanah longsor, banjir, pencemaran air, udara dan tanah, makin bertambahnya marga satwa yang punah. Hal ini terjadi karena manusia tidak lagi mampu menguasai dampak-dampak teknologi yang dikembangkannya. “teknologi menawarkan diri sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan masalah-masalah, tetapi pada kenyataannya, biasanya tidak mampu melihat jaringan hubungan yang tersembunyi antara banyak hal, lalu kadang-kadang memecahkan satu masalah hanya untuk menciptakan masalah yang lain (Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si’ Tetang Perawatan Rumah Kita Bersama  Jakarta: Obor 2015) Selain itu, kegiatan eksploitasi kandungan alam secara besar-besaran juga telah menambah kerusakan lingkungan alam.

Kesadaran manusia akan pentingnya keseimbangan alam sangat dibutuhkan. Keseimbangan alam merupakan sentral bagi setiap tindakan manusia. Keseimbangan alam yang harmonis menjadi kekuatan yang mendorong manusia untuk meningkatkan rasa tanggung jawabnya terhadap seluruh alam ciptaan.

Menyimak berbagai persoalan yang terjadi berkaitan dengan kerusakan alam ciptaan, yang kita butuhkan sekarang adalah perubahan prilaku secara kongkrit. Sebab pada prinsipnya dan paling fundamental dari krisis dan bencana lingkungan hidup secara global adalah kesalahan cara pandang, maka sebenarnya memungkinkan terjadinya perubahan prilaku tersebut yang paling pokok adalah diperlukan adanya perubahan cara pandang. Hanya dengan cara atau metode ini, bisa terjadi perubahan prilaku kita terhadap alam dan lingkungan.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Hal mendasar yang harus terjadi dalam kehidupan kita manusia adalah terjadinya perubahan cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Alam tidak sekedar mempunyai nilai instrument bagi kepentingan manusia, melainkan memiliki makna intrinsik pada dirinya, sehingga pada dasarnya, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup, terlepas dari kegunaan manusia dalam mengeksploitasi alam ini demi suatu tujuan atau maksud dari kehidupan ini.

Secara nyata dan terbukti bahwa dari pengalaman manusia, baik tingkat internasional ataupun tingkat nasional, yang secara nyata menunjukan sikap kepeduliaan terhadap alam dan lingkungan hidup, tidak hanya pada dirinya secara pribadi, tetapi juga bagi kelangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan. Bila dilihat dan dikaji secara baik, alam dan lingkungan itu mempunyai peran sangat mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Karena itu, manusia salah dan tidak masuk akal kalau manusia masih saja melakukan kerusakan kepada alam sekehendak hatinya seakan-akan alam dan lingkungan hidup ini adalah hal yang tidak bernilai apa-apa di mata manusia. Suatu kekeliruan jika manusia masih saja menyamakan alam dan lingkungan dengan suatu kepentingan ekonomi. Hal-hal yang kurang terpuji ini yang seringkali kita jumpai dalam kehidupan kita di atas planet ini.

Di sisi lain perubahan itu juga dituntut harus sampai pada tingkat moral, bahkan boleh dibilang dalam tingkat teologi. Pada tingkat moral, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia berada dalam lingkungan moral yang tidak hanya dengan manusia. Manusia ada dalam tingkat kehidupan moral bersama seluruh kehidupan yang ada di planet ini dan seluruh ekosistem. Karena, itu yang disebut sebagai komunitas itu tidak hanya menyangkut komunitas manusia, melainkan juga komunitas ekologis. Manusia tidak hanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, melainkan juga terhadap kehidupan seluruhnya dan terhadap ekosistem, alam semesta, khususnya planet bumi ini (Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius 2010)

Kenyataan sekarang ini, seiring dengan perkembangan budaya, sadar ataupun tidak sadar manusia menjadi perusak alam ciptaan itu sendiri. Pengrusakan itu, dibuat demi suatu kebutuhan yang menguntungkan diri sendiri. Bila dilihat zaman dahulu orang-orang masih berburu atau mengambil makanan dari hutan seperlunya. Misalnya, ketersedian pangan, manusia harus membuka hutan, mengubah menjadi area pertanian, yang di satu sisi menggunakan cara-cara pertanian yang tidak rama lingkungan. Di sisi lain, keperluan industri, penambangan besar-besaran yang dilakukan. Mereka membuat lubang-lubang raksasa di muka bumi untuk mengambil biji tambang.  Manusia sebenarnya lupa bahwa dirinya sebenarnya bergantung pada alam semesta.

Pemahaman  yang Benar tentang Manusia

Dalam cerita penciptaan yang pertama dalam Kitab Kejadian, rencana Allah meliputi ciptaan manusia. “setelah Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Pada dasarnya Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia mempunyai martabat yang tinggi, yang bukan hanya sesuatu, tetapi merujuk kepada seseorang. Dia mampu mengenal diri, menguasai diri dan bebas memberikan dirinya dan masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain.

Menurut pemahaman Kristiani, manusia berkedudukan khusus dan berperan unik di antara ciptaan. Peran dan kedudukan khusus ini lahir dari pemahaman Kristiani tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26, Gaudium et Spes 34). Sebagai gambar dan rupa Allah maka, manusia diberi tugas untuk menjaga dan memlihara seluruh ciptaan ini. Ini semua dilaksanakan karena mnusia memiliki akal dan kehendak yang baik, yang diterimahnya dari Allah sendiri sebagai Penciptanya, sehingga pada prinsipnya manusia adalah patner Pencipta dan bukan tuan atau penguasa atas ciptaan (Peter C. Aman, Lingkungan Hidup, Keadilan dan Ekaristi, Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2013)

Dalam Kitab Suci diungkapkan dengan cerita-cerita  tentang manusia itu dan sebenarnya dalam cerita-cerita itu mengandung ajaran tentang eksistensi manusia yang terbentang dalam realitas sejarah. Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia didasarkan pada tiga relasi dasar yang terkait: hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Menurut Alkitab, tiga hubungan penting itu telah rusak, bukan hanya secara lahiriah, melainkan juga di dalam diri kita. Perpecahan ini merupakan dosa. Harmoni antara Pencipta, manusia dan semua ciptaan dihancurkan karena kita mengira dapat mengambil tempat Allah, dan menolak untuk mengakui diri sebagai makhluk yang terbatas. Hal ini juga telah menyebabkan salah pengertian atas mandat  untuk “menaklukkan” bumi (Kejadian 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15). Akibatnya, hubungan yang awalnya harmonis antara manusia dan alam, berubah menjadi konflik (Kejadian 3:17-19). Maka manusia itu adalah bagian dari ciptaan Allah. Manusia sebagai bagian dari ciptaan, diharapkan harus menghargai, menghormati dan memelihara alam.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Manusia diciptakan pada hari terakhir penciptaan alam semesta. Sebagai puncak dari  segala ciptaan, manusia tampaknya lebih istimewah daripada ciptaan yang lain. Hal ini benar, namun keistimewahan itu terletak pada tanggung jawabnya pada kebaikan tata ciptaan yang telah diciptakan lebih dahulu. Alam semesta telah diciptakan sebelum manusia, ia memiliki nilai pada dirinya sendiri demi keseimbangan ekosistem bumi. Hal ini menjadi tanggung jawab manusia yang memiliki kesadaran akan nilai alamiah setiap benda yang ada di atas bumi ini.

Panggilan Untuk Melestarikan Alam Ciptaan.

Atas nama keuntungan ekonomi, alam dieksploitasi sedemikian rupa. Manusia sekarang ini bertekad untuk mengambil alam seisinya tanpa mengindahkan kelestarian bahwa manusia tak pernah bisa hidup sendiri tanpa sesamanya yakni sesama manusia maupun sesama ciptaan Tuhan yang lain. Maka, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk sosial dan juga merupakan makhluk ekologi karena manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa alam ciptaan yang lain. Karena, “sebagai makhluk ekologis, manusia semestinya menyadari cara hadirnya di bumi dan cara berelasinya dengan bumi dan alam ini”.

Kuasa yang diberikan oleh Allah kepada manusia, bukanlah kuasa untuk menguasai alam secara penuh. Akan tetapi kuasa itu, diberikan dengan tujuan manusia itu merawat dan menjaga alam ini. Karena manusialah yang memiliki akal dan budi yang dapat melaksanakan tugas ini. Dengan menjalankannnya sekali lagi manusia menjadi rekan kerja Allah dalam memelihara karya Penciptaan ini.

Mentalitas zaman ini turut memberi andil yang sangat besar dalam menghancurkan bumi. Kita menyadari bahwa bumi ini karena sifat-sifat destruktif yang ada dalam diri manusia. Sadar atau tidak sadar sifat-sifat itu muncul karena dorongan pemuasan nafsu sesaat. Dalam esklik Laodato Si Paus Fransiskus menyadari mentalitas manusia zaman ini dan pemuasan sesaat. Mentalitas ini telah menjadi akar dari lunturnya nilai-nilai luhur dan tiadanya penghargaan serta rasa hormat terhadap martabat manusia dan alam semesta. Hal ini berdampak pada kurangnya kepedulian dan hilangnya rasa solidaritas terhadap yang lain.

Namun perlu diakui bahwa, atas nama keuntungan ekonomi dan alasan kesejahteraan, alam itu dihancurkan. Contoh yang dapat kita lihat yakni: tanah-tanah yang diambil dan diolah oleh suatu perkebunan besar, mereka ini menghancurkan tanah dengan berbagai obat-obat kimia yang merusak. Akibatnya ada berbagai limbah dan tanah rusak. Ini hanya contoh kecil yang dapat ditunjukkan, masih banyak contoh-contoh yang lain.

Situasi seperti ini sangat memprihatinkan bahwa kekerasan merusak jati diri manusia ekologis. Kehancuran ekologis sebagaimana menentukan nasib manusia dalam seluruh kelangsungan hidupnya di dunia ini. Pada dasarnya masa depan akan menjadi bencana jika planet ini dihuni manusia yang buta ekologis. Bahkan tak perlu menungguh masa depan, beberapa bencana alampun telah menunjukan hal ini, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dsb. Demi terciptanya pelestarian alam yang baik, manusia semestinya kembali kepada jati dirinya sebagai makhluk ekologis yang terlibat dalam seluruh relasi antar makhluk yang ada dan hidup di atas planet ini. Kearifan alam  selama ini menunjukan bahwa makhluk hidup satu dengan yang lain sebenarnya saling membutuhkan dalam kondisi seimbang. Hal lain bahwa, alam dilihat sebagai ketergantungan bagi kelangsungan hidup.

Manusia sebenarnya memiliki kesadaran untuk melestarikan alam. Ia sadar bahwa tindakannya yang menyebabkan rusaknya alam merupakan suatu tindakan yang kurang baik, salah dan tidak dipuji. Manusia sadar bahwa yang ia lakukan itu merupakan tindakan yang tidak mencerminkan dia sebagai citra Allah, yang dipanggil oleh Allah sendiri untuk turut serta dalam karya di bumi ini.

Relevenasi Untuk Kita di Papua : Mencintai Alam Ciptaan Dengan Usaha Nyata

Di bagian ini dibicarakan tentang perubahan prilaku. Perubahan prilaku itu dinyatakan dalam tindakan nyata. Tindakan nyata itu bisa bersifat pribadi maupun bersama sebagai wujud kepedulian manusia terhadap alam ciptaan. Maka ada beberap hal yang perlu diperhatikan dalam tindakan nyata itu.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Pertama, mencintai alam ciptaan diwujudkan dalam tindakan nyata pengolahan sampah, baik itu sampah industri maupun sampah rumah tangga. Dalam hal sampa rumah tangga, digunakan tas belanja yang ramah lingkungan daripada plastik,  apalagi plastik,  yang tidak mudah hancur. Dalam hal belanja kurangilah pembelian barang baru dan gunakanlah barang-barang yang masih bisa dipakai.

Kedua, mencintai alam ciptaan dapat diwujudkan dengan, perubahan pola konsumsi, khususnya makanan. Kurangilah makan-makanan yang membutuhkan pengorbanan dari ciptaaan yang lain. Demikian juga makanlah makanan yang didapatkan dari sekitar lingkungan tempat di mana manusia itu tinggal, daripada harus mendapat dari luar, dengan membutuhkan biaya dan pengorbanan. Intinya makan makanan yang bergizi namun pengolahan dan proses mendapatkannya  bersifat sederhana.

Ketiga, mencintai alam ciptaan dapat diwujudkan dengan menanam pohon atau penghijauan kembali di lahan-lahan yang kosong, pekarangan rumah dan di tempat-tempat yang memungkinkan hal itu terjadi.  Bersama dengan hal ini, perlu adanya undang-undang bagi industri yang mengatur penggunaan kayu secara teratur dan dikontrol secara baik. Sehingga tidak ada kesan, pengambilan kayu sebagai bentuk eksploitasi atas nama kepentingan bisnis.

Keempat, mencintai alam ciptaan dengan dialog tentang lingkungan dalam skala internasional, lintas agama dan budaya. Dari dialog ini diharapkan ada kesepakatan bersama yang dapat dijadikan dasar dalam menata dan mencintai alam ciptaan ini sebagai saudara dan saudari. Bukan lagi atas nama bisnis atau kepentingan ekonomi. Karena pada dasarnya sangat dibutuhkan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif. Hubungan antarnegara harus menjaga kedaulatan masing-masing negara, tetapi juga membangun jalur-jalur kesepakatan untuk mencegah bencana lokal yang akhirnya akan menimpa semua orang. Diperlukan kerangka peraturan global untuk memaksakan kewajiban, dan mencegah tindakan yang tidak dapat diterima, misalnya, ketika beberapa negara yang kuat memindahkan limbah dan industri yang sangat mencemari negara-negara lain. Boleh dikatakan, bahwa masih banyak aksi nyata yang perlu dilakukan oleh manusia dalam hal mencintai alam ciptaan. Tetapi di sini peneliti membatasi diri pada keempat hal yang sudah dibahas di atas, karena bagi peneliti hal-hal ini cukup konkret dan mendasar dalam kehidupan manusia saat ini.

Paus Fransiskus mengundang manusia semua untuk turut bekerja sama dengan Allah. Paus mengundang manusia semua untuk terlibat memulihkan dunia termasuk tanah air kita ini dalam proses penyembuhan dari luka-luka yang selama ini dideritanya. Manusia juga dipanggil untuk memulihkan martabat seluruh ciptaan baik manusia maupun alam semesta. Kita diajak untuk merawat ibu bumi dengan memulihkan kesadaran kita bersama sebagai makhluk yang diundang Allah untuk bekerja sama membangun suatu peradaban yang luhur dan mulia yang telah Tuhan sediakan untuk manusia.

Melihat persoalan yang sedang dihadapi manusia, di sini dibutuhkan penanganan yang serius, sebagai bentuk tanggung jawab manusia terhadap Alam Ciptaan ini.  Paus Fransiskus mengajak manusia seluruhnya untuk membangun niat bersama mencari solusi dalam mengatasi persoalan kerusakan Alam Ciptaan ini. Solusi yang diberikan oleh Paus ialah melalui jalan dialog. Dialog antar agama, dialog antar budaya dan dialog dalam lingkup hukum internasional. Dari semua solusi ini, bagi paus diharapkan ada suatu kesepakatan bersama untuk mengatasi persoalan Alam Ciptaan. Karena segala ciptaan baik manusia maupun ciptaan yang lain, adalah ciptaan Allah. Kedudukan mereka di hadapan Allah adalah sama. Oleh karena itu sebagai sesama ciptaan, manusia perlu mengembangkan suatu spritualitas sebagai saudara terhadap sesama ciptaan yang lain. Hal inilah yang dikembangkan dalam spritualitas persaudaraan yang universal.

Perubahan cara pandang dan prilaku manusia dalam mencintai Alam Ciptaan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di tengah ciptaan yang lain. Diharapakan perubahan ini, maka manusia itu dapat menyatakannya dalam tindakannya nyata. Salah satu tindakan yang nyata itu ialah: pengolahan sampah, baik itu sampah industri maupun sampah rumah tangga. Untuk itu digunakan tas belanja yang ramah lingkungan daripada plastik,  apalagi plastik,  yang tidak mudah hancur. Dalam hal belanja kurangilah pembelian barang baru dan gunakanlah barang-barang yang masih bisa dipakai. Dan masih banyak tindakan nyata yang dapat diwujudkan oleh manusia sebagai bukti bahwa manusia itu mencintai dan menghargai seluruh ciptaan ini.

)* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Artikel sebelumnyaPengalaman Pertama Mengajar di Uncen
Artikel berikutnyaLagi, Keluarga Minta Tujuh Tapol Dipulangkan dan Gelar Sidang di Papua