Rakyat Papua Barat Harus Tetap Bersatu dan Fokus Kepada Tujuan

1
2159

Oleh: Daniel Randongkir)*

Akhir tahun 2019, saya bertemu dengan Hon. Powes Parkop, Gubernur National Capital Distrik of Papua New Guinea, dalam suatu forum yang digelar United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Setelah menerima penobatan beliau sebagai “Duta Keliling” ULMWP atas isu Papua Barat, beliau menyampaikan pidato singkat (dalam bahasa Pidgin English) tentang refleksinya terhadap perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat. Pidatonya menekankan pada prinsip kerja sama sebagai landasan utama yang mengarahkan para pejuang guna mencapai tujuan perjuangan.

Parkop menggunakan ilustrasi masyarakat nelayan di Kepulauan Manus (kampung asalnya), Papua New Guinea, saat hendak mencari ikan. Secara bebas, ilustrasinya diterjemahkan sebagai berikut:

“…… Kami orang Manus adalah nelayan, sama seperti Orang Biak. Ketika kami pergi menangkap ikan, kami tidak akan menghabiskan waktu mengarungi Samudra Raya (Pasifik), namun kami langsung pergi ke reef tempat ikan berkumpul. Kami sudah mengetahui tempat berkumpulnya ikan melalui pengetahuan yang diwariskan para leluhur kami, sehingga kami hanya membutuhkan waktu 1 atau 2 jam untuk menangkap ikan dan membawanya ke rumah. Demikian pula saudara saya, Benny Wenda yang berasal dari Pegunungan Tengah Papua. Mereka adalah masyarakat pemburu. Mereka sudah mengetahui tempat di mana banyak binatang buruan sering berkumpul. Mereka tidak akan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengelilingi belantara pulau New Guinea untuk menangkap binatang buruan. Mereka cukup mendatangi tempat berkumpulnya binatang, lalu menangkap binatang buruan dan membawanya kembali ke rumah…”

Mengakhiri pidatonya, Parkop berpesan “… Kalian (Orang Papua) sudah berjalan sangat jauh, dan kalian kini semakin dekat kepada tujuan (pembebasan Nasional Papua Barat). Jangan kalian menghabiskan waktu untuk bertengkar dengan hal-hal yang tidak membawa kalian kepada tujuan. Organisasi (perjuangan Pembebasan Papua Barat) hanyalah kendaraan yang mengantar kalian kepada tujuan. Saya ajak kalian semua bergandeng tangan, dan fokus kepada tujuan perjuangan. Saya berdoa, Papua akan segera bebas. Merdeka….! Merdeka….! Merdeka….!”

ads

Menyimak kutipan ilustrasi dan pesan moral yang disampaikan oleh Parkop, kita sebagai pejuang Papua Barat perlu melakukan refleksi terhadap tindakan kita hari ini. Akhir-akhir ini, saya membaca banyak diskusi dan perdebatan para pejuang Papua Barat yang beredar di media sosial. Topik yang dipermasalahkan adalah “Organisasi” dan “Figur”. Meskipun keduanya saling terkait, namun saya ingin mengulasnya secara terpisah.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Bagian Pertama: “Organisasi”

Setelah perpecahan panjang selama lebih dari empat dekade, muncul inisiatif baru untuk menghimpun seluruh potensi perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat ke dalam suatu sistem dan tata laksana kerja yang lebih terorganisir, terstruktur dan sistematis. Inisiatif ini kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan Kongres Rakyat Papua II tahun 2000 di Jayapura, yang kemudian membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) sebagai kendaraan politik baru bagi rakyat Papua. Kehadiran PDP bertujuan menghimpun berbagai aliran ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat, organisasi politik, sayap militer dan korps diplomatik Papua Barat. Setelah meninggalnya Theys Eluay selaku Ketua PDP pada 2001 silam, organisasi ini secara perlahan mengalami penurunan pengaruh politik, dan hingga kini hampir tidak nampak aktivitas organisasinya.

Pasca PDP, kekuatan politik baru bermunculan lalu berafiliasi pada tiga wadah politik utama, yaitu West Papua National Coalition for Liberation, Parlemen Nasional Papua Barat dan Negara Federal Republik Papua Barat. Atas inisiatif pemerintah Vanuatu, ketiga wadah politik utama Papua Barat lalu membuat kesepakatan kerja sama dan mendeklarasikan pembentukan ULMWP sebagai wadah nasional bagi perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat. Sejak didirikan pada 1 Desember 2014, ULMWP telah berhasil membawa isu Papua ke pentas Internasional. Beberapa pemerintah negara-negara di kawasan Pasifik berhasil membawa isu Papua Barat ke lantai sidang Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa. Bahkan dalam dua tahun belakangan ini, isu Papua Barat telah diadopsi ke dalam Komunike Pacific Islands Forum dan Resolusi Afica Carribbean Pacifik Group of States.

Namun sangat disayangkan, upaya-upaya ULMWP dalam membawa isu Papua Barat ke pentas internasional masih saja dibayangi oleh sikap penolakan dari beberapa organisasi perlawanan Papua Barat dengan berbagai alasan. Sikap penolakan dan pertentangan yang terkuak ke ranah publik, menyebabkan kebingungan di tengah rakyat Papua Barat, dan juga kelompok solidaritas pembebasan Papua Barat di berbagai belahan dunia. Apakah penolakan ini merupakan suatu reaksi spontan atau upaya polarisasi yang dijalankan oleh musuh? Patut kita telusuri lebih jauh.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Bagian Kedua: “Figur”

Terdapat begitu banyak “Figur” atau tokoh yang telah mendedikasikan diri mereka pada perjuangan Papua Barat. Para “figur” pejuang Papua Barat sebagian telah meninggal dunia, sebagian sedang ditahan dalam penjara Indonesia, sebagian hidup di pengasingan dan sebagian lagi masih eksis di tengah rakyat Papua Barat. Hubungan emosional yang terjalin antara para figur pejuang dengan Organisasi Perjuangan, merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya polarisasi di dalam perjuangan Papua Barat. Umumnya figur pejuang Papua Barat muncul dari basis ideologi dan didukung oleh basis primordial, sehingga jika terjadi pertentangan di antara para figur pejuang maka akan menyertakan pertentangan organisasi, ideologi dan pendukung primordial.

Dua kasus menarik yang terjadi baru-baru ini, telah menyeret publik Papua Barat ke dalam topik diskusi yang menjurus pada perdebatan di media sosial. Salah seorang adalah pejabat pemerintahan di Propinsi Papua, sedangkan seorang lagi adalah pejuang Pembebasan Nasional Papua Barat. Kedua figur sama-sama dituding telah melakukan tindakan pelanggaran seksual. Reaksi pro-kontra segera bermunculan dengan beragam argumentasi. Saya lebih tertarik pada argumentasi yang mengaitkan kedua figur dengan perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat. Sebagian orang beranggapan bahwa kasus yang menyeret kedua figur akan mempengaruhi kontribusi mereka terhadap nama baik orang Papua Barat termasuk perjuangan Papua Barat. Pendapat berbeda diutarakan oleh sebagian orang, bahwa dengan memperkarakan kedua figur secara hukum justru akan membersihkan nama baik orang Papua Barat dan meningkatkan simpati terhadap perjuangan Papua Barat. Dukungan terhadap kedua figur datang dari basis organisasi dan basis primordial, sementara tidak tampak dukungan dari basis ideologi.

Apa yang seharusnya dilakukan?

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Tentu saja banyak hal yang harus dilakukan, namun yang terpenting adalah dengan menjadikan Tujuan Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai parameter refleksi kita bersama. Sebagaimana ilustrasi yang disampaikan oleh Parkop, Orang Papua Barat perlu melakukan pembenahan organisasional dan personal.

Pertama: Orang Papua Barat secara sadar harus membuat batasan perbedaan antara fungsi Organisasi Perjuangan dan tanggung jawab pejuang Papua Barat. Organisasi merupakan kendaraan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengantar Rakyat Papua Barat kepada tujuan Perjuangan. Sementara figur yang menjabat adalah person yang bertanggung jawab mengarahkan Organisasi kepada tujuan perjuangan. Dengan demikian maka figur pejuang berkewajiban untuk menjaga kondite pribadi di hadapan Rakyat Papua Barat, sehingga tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial di tengah masyarakat.

Kedua: Tujuan Perjuangan Papua Barat adalah menghapus sistem penindasan Indonesia terhadap orang Papua Barat. Oleh karena itu, isu Papua Barat jangan sampai dimanipulasi sebagai sarana untuk memperbaiki sistem demokrasi dan hukum di Indonesia. Para pejuang Papua Barat harus peka terhadap upaya-upaya domestikasi isu Papua Barat, karena tujuan perjuangan kita bukan untuk memperkuat sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.

Ketiga: Rakyat Papua Barat harus mampu membebaskan diri dari sekat-sekat primordial yang menghambat pencapaian Tujuan Perjuangan Papua Barat. Nasionalisme Papua Barat semestinya dibangun melalui interaksi lintas budaya, lintas suku dan lintas agama di Papua Barat. Diskusi jangan diarahkan menjadi diskursus politik, namun dilandaskan pada upaya mencapai tujuan perjuangan Papua Barat.

Keempat: Proses hukum terhadap figur yang telah mencoreng nama baik Orang Papua Barat termasuk Organisasi Perjuangan Papua Barat, tetap harus ditempuh. Upaya ini akan menjadi momentum refleksi bagi seluruh figur pejuang Papua Barat, agar selalu menjaga sikap dan perilaku di hadapan rakyat Papua Barat.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak seluruh pejuang Papua Barat agar tetap bersatu, bekerja sama dan “FOKUS KEPADA TUJUAN” Pembebasan Nasional Papua Barat.

ONE PEOPLE ONE SOUL

)* Penulis adalah pemerhati sosial.

Artikel sebelumnyaAlex Goo Tak Dilantik, PKB Dogiyai Dinilai Cacat Hukum
Artikel berikutnyaJokowi Temui Oposisi Australia, AWPA: Tuntaskan HAM di Papua