Barcelona-Madrid: Bagai Papua dan Indonesia

0
1656

Oleh: Andi Kamal Reza)*

Banyak yang senang nonton sepakbola. Beberapa juga menyukai tim besar ini yang sengit bersaing yakni Barcelona dan Real Madrid. Tapi, tahukah kalian bahwa ada rivalitas politik juga di sana? Lalu apa hubungannya dengan Papua?

Gerard Pique, bek tengah andalan Klub FC Barcelona, memutuskan pensiun dari Timnas Spanyol setelah  membelanya belasan tahun pada Agustus 2018. Saat pensiun, umurnya masih 31 tahun. Kondisi fisiknya masih sangat prima. Banyak yang heran, kenapa dia memutuskan untuk pensiun dini? Enam bulan setelah pensiun dari Spanyol, Pique kemudian hadir kembali di jajaran timnas, namun kali ini di Timnas Katalan/Catalonia.Tidak hanya Pique. Xavi dan Bojan yang juga mantan rekan setimnya di Barcelona juga ikut masuk skuad Timnas Katalan. FC Barcelona juga mengizinkan.

Mundur di tanggal 1 Oktober 2017. Saat itu Pique bersama jutaan warga Katalan di Spanyol memutuskan untuk referendum. Bahkan pelatih dunia sekelas Pep Guardiola pun ikut voting. Dan hasilnya? 90% warga Katalan setuju agar mereka merdeka dari Spanyol.

Apa yang sebenarnya terjadi?

ads

Dilihat dari sejarahnya, Katalan adalah wilayah independen Semenanjung Iberia yang berada di antara Spanyol dan Perancis, dengan undang-undang dan budaya yang berbeda (daerah otomomi khusus). Daerah Katalan terdiri dari empat provinsi, yakni Barcelona, Girona, Lleida, dan Tarragona.

Mari kembali di tahun 1939. Saat itu Spanyol dikuasai oleh pemimpin diktator bernama Fransisco Franco. Pada rentang tahun 1936-1939, ia membantai ribuan bangsa Katalan dan Basque karena menganggap mereka sebagai pembelot. Fransco menginginkan kekuasaan nasionalisme yang tunggal, bukan nasionalisme regional (per daerah). Padahal, Spanyol saat itu sangat ragam warganya. Ada bangsa Katalan, Basque dan Andalusia yang unik dengan coraknya sendiri.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Basque (dengan tim bola Atletico Bilbao) juga Katalan (dengan tim bola Barcelona) dibiarkan “merdeka” di stadion. Mereka boleh membawakan lagu kebangsaan dan benderanya selama masih berada di area stadion (bahkan hingga kini). Namun, jika di luar stadion, Guardia Civil siap memenjarakan mereka.

Franco bukan fans El Real, begitu juga Real Madrid tidak mau diasosiasikan dengan kejamnya Franco. Namun saat Franco memimpin, semua resource negara hanya dipusatkan di Ibukota saja (militer, polisi, alat birokrasi), sehingga Madrid sebagai ibu kota Spanyol begitu dibenci oleh kelompok yang disiksa Franco (seperti Barcelona, Bilbao dan Valencia).

Mereka dendam ke tim Ibukota.

Sebenarnya tidak hanya Real Madrid, Atletico Madrid pun masuk di list “klub yang dibenci Katalan”. Namun rivalitas jadi sengit karena Real Madrid lahir lebih dulu dan jadi representasi utama di Ibu Kota Spanyol sedangkan Barcelona merupakan salah satu tim tertua dan terkuat di Katalan. Apalagi saat pertengahan 1950-an, Franco (yang tidak terlalu suka bola), akhirnya menggunakan Real Madrid sebagai alat kampanye politik.

Phill Ball, penulis berkebangsaan Inggris yang tinggal di Spanyol selama 20 tahun, menulis di bukunya, Morbo: the Story of Spanish Football.

”Lewat Real Madrid, Spanyol disulap menjadi negara yang memiliki tim sepakbola hebat, bukan negara yang identik politik represif dan reyot secara finansial”.

Maklum, saat PD II, Spanyol kewalahan menangani perang saudara di internal negaranya dan perang eksternal melawan negara lain. Akhirnya Franco mendatangkan beberapa bintang bagi El Real. Salah satunya yang paling kontroversial adalah saat Alfredo Di Stefano datang ke Real Madrid.

Singkatnya, harusnya Barcelona lah yang berhak mendapatkan tanda tangan sang pemain. Namun, Millonarios (klub Di Stefano) mengatakan Di Stefano sebagian masih menjadi hak milik River Plate (eks timnya). Madrid pun juga mengincar Di Stefano. Karena masalah ini rumit, RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol), turun tangan. RFEF memutuskan bahwa Di Stefano harus bermain 2 musim di Barca dan 2 musim di Madrid. Franco juga ikut turun tangan. RFEF kemudian memutuskan bahwa Di Stefano hanya bisa bermain di El Real. Barcelona (yang sudah membayar tansfernya), juga tidak bisa bersuara atas kejanggalan ini. Media mengatakan Barcelona diancam tidak bisa mendatangkan pemain asing lagi jika tetap ngotot.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Berangkat dari aksi pembantaian massal bangsanya, tekanan politik dari masa lalu, dan permainan sepak-bola yang diintervensi Pemerintah, membuat orang Katalan begitu membenci Real Madrid (umumnya) dan Di Stefano pada khususnya. Meski El Real sampai saat ini juga mengecam Franco. Selain itu, Katalan merasa mereka lebih dekat ke kebudayaan Perancis dan sedikit Jerman. Bahkan saat El Clasico, banyak suporter Barcelona yang menyuarakan pandangan politiknya di Camp Nou (stadion Barca). Tidak heran saat melawan Madrid dirasa sangat emosional, karena berbau politik.

Mungkin pecinta sepak bola sering “ngeh”, kadang pemain Barca-Madrid pro-Referendum dan kontra-Referendum suka saling berantem, padahal senegara. Kadang Puyol VS Xabi, Valdes VS Ramos, Pinto VS Casillas, atau Puyol VS Ramos. Baku hantamnya mungkin teringat preferensi politik juga.

Para demonstran pro-referendum Katalan juga sering ditangkapi pihak kepolisian Spanyol saat menyuarakan pendapat politiknya. Bahkan 9 orang aktivis Pro kemerdekaan Katalan ditangkap beberapa hari setelah voting referendum. Massa pro-Referendum pun marah dan clash tak terhindarkan.

Melihat resistensi bangsa Katalan pada Spanyol bagaikan melihat resistensi bangsa Papua pada Indonesia. Sudah pernah baca thread saya soal kenapa bangsa Papua ingin merdeka? Silahkan dibaca threadnya di sini: Kenapa Bangsa Papua Ingin Merdeka

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Ketika bersuara, selalu ada pihak militer yang siap memenjarakan mereka.

Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda juga sempat bertemu dengan Presiden Catalonia pada November 2019 lalu. Pertemuan ini membahas nilai-nilai kebebasan serta demokrasi dan perjuangan yang sama untuk self-determination bagi Papua Barat dan Catalonia.

Baca Juga: Ketua ULMWP Ketemu Presiden Catalonia

Sebenarnya Indonesia bisa melalui buntunya diskusi politik ini dengan pendekatan sepak bola Spanyol. Memberikan warga Papua rasa bangga untuk menggunakan bendera Papua Barat, minimal di stadion. Bukankah hal ini juga sempat kita lakukan di era Alm Gus Dur? Bahkan di area publik.

Atau minimal mengurangi rasa curiga terhadap nasionalisme warga Papua. Ingat saat Turnamen Al-Nakbah di Palestine digelar dan Indonesia diundang? Sejatinya klub melarang mereka, tapi Patrich Wanggai, Titus Bonai, dan Okto Maniani tetap melawan kebijakan klub dan pergi membela timnas. Relevansi antara perjuangan Papua Barat dan Katalan sudah barang tentu akan dinilai sebagai suatu hal yang tidak sebanding. Terutama bagi warga Madrid yang paling mengerti perasaan bangsa Katalan, sama seperti gerombolan nasionalis Indonesia yang paling mengerti perasaan rakyat Papua.

Jika pihak nasionalis merasa referendum bukan solusi, coba jalur diskusi. Tanpa senjata dan tentara. Cukup datang dan dengarkan tetua adatnya. Alm Gus Dur dulu bisa, rakyat Papua cinta. Dan kalau mau ditanya nasionalisme? Tanyakan saja nasionalisme Pemerintah saat ini seperti apa.

)* Penulis adalah netizen

Artikel sebelumnyaMasyarakat Meepago Stop Jual Tanah
Artikel berikutnyaDinas Pendidikan Yahukimo: Dana Bos Harus Dipertanggungjawabkan dengan Baik