Catatan Tikus Tanah

0
6328

Oleh: Rini Irmayasari)*

Alkisah, beberapa tahun lalu, di luar pagar belakang sebuah pondokan kos di bawah kaki bukit di daerah Gunung Meja Amban, seorang lelaki bertelanjang dada berjalan mengendap – endap. Nafasnya memburu, pandangan matanya tak lepas dari beberapa perempuan muda yang sedang mencuci pakaian. Ada kilat pijar nafsu syahwat yang menggelegak di sana. Para ‘pencuci pakaian’ ini tak lain adalah mahasiswi- mahasiswi UNIPA yang tinggal di ‘Villa Jungle’; sebuah pondokan kos milik seorang dosen yang berada satu areal dengan kawasan hutan lindung Gunung Meja. Lelaki itu bergerak dengan sigap, tanpa suara. Saat Ia sudah bersiap – siap untuk melakukan ‘aksi solo-nya’, entah bersiap – siap menurunkan celananya atau memasang kuda – kudanya, tiba – tiba seorang tamu kos berteriak lantang padanya, “Weeei pace! Ko bikin apa di situ? Tentu saja dengan suara a la ‘tukang gedap’.

Merasa tertangkap basah, lelaki itu dengan percaya dirinya mengambil posisi sempurna dan tampang tak berdosa, berdiri dan bilang, “Ah trada, ade. Kaka cuma cari Tikus Tanah saja.” Tentu saja sambil sibuk meraba – raba tanah, seakan mencari sesuatu.

Sayangnya, wajah lelaki ini sudah sangat familiar di kalangan anak kos pondokan sebagai salah satu pelaku aksi ‘eksibisionisme’ alias pamer organ vital. Tak ayal, tamu kos dan para ‘pencuci pakaian’ dengan cuek-nya bilang, “Aeeeeh, cari Tikus Tanah ka ‘Tikus Tanah’”. Tentu saja sambil menahan geli HAHAHA.

Sejak saat itu, pelaku ‘pamer’ di belakang kos ini dilabel ‘tukang cari Tikus Tanah’. Cerita di atas tentu saja BUKAN kisah rekaaan alias ini kisah nyata HAHAHA, dan dialami beberapa mantan teman kosku.

ads

Catatan ini tentu saja bukan untuk membahas si ‘tukang cari Tikus Tanah’ ini tapi tentang ‘siapa sih Tikus Tanah ini’. Kok sampai ada yang nekat mengaku mencarinya sambil ‘merayap dada’. HAHAHA.

Catatan ini hanyalah catatan kecil tentang seekor hewan endemik Papua bernama resmi ‘bandikut’ yang tentu saja sangat ‘yummy’ alias lezat disantap.

Saatnya berburu. Hajaaaaar aaaahh!!!

Tikus Tanah Tuh Barang Apa kh?

Tikus Tanah atau nama resminya ‘bandikut’ adalah seekor hewan mamalia berjenis marsupial (berkantong) yang biasanya beroperasi pada waktu malam (nokturnal).  Jadi sebenarnya bukanlah seperti jenis tikus  seperti di rumah saya alias hewan pengerat yang sering dieksekusi keluarga saya dengan senapan angin, racun tikus hingga perangkap.

Menurut penelitian Astuti  (2006), Pasereng (2007) dan Febriani (2006), ketiganya mahasiswi Jurusan Biologi UNIPA dalam skripsi–skripsi mereka, kala mengutip beberapa pendapat ahli bandikut seperti Petocz dan Flanerry, ditemukan beberapa hal yang cukup menarik tentang hewan ini, salah satunya adalah hewan ini merupakan salah satu hewan endemik pulau Papua.

Secara fisik, hewan ini tentu saja berbeda dengan hewan marsupial lainnya seperti kus – kus dan kangguru karena mempunyai kepala panjang dengan telinga agak berbulu dan moncong yang runcing. Moncong yang panjang ini karena tandanya hewan ini punya indera penciuman yang tajam menyerupai tikus. Apalagi, Tikus Tanah yang jantan mempunyai bau yang khas yang dikeluarkan  oleh kelenjar di belakang telinga yang digunakan untuk menandai daerahnya.

Jadi, bisa disimpulkan kalau si Tikus Tanah ternyata mirip anjing ya? Yang suka ‘kencing’ di mana saja sesuka hati demi menandakan ‘wilayah kekuasaannya’. HEHEHE. Anak kompleks banget deh *sambil membayangkan bagaimana hewan ini bergerak memberi sinyal ‘it’s my territory. Back off!!!’  Warna rambutnya pun bervariasi dari cokelat hingga cokelat kemerahan dan kadang – kadang juga mempunyai variasi warna noktah putih (pada spesies tertentu) *info lengkap: silahkan ketik di Google ‘bandicoot’.

Bagaimana caranya mengenali Tikus Tanah? Gampang. Pertama, umumnya, jari–jari belakang kedua dan ketiga pada pangkal cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir dan kukunya yang terpisah. Kedua, semua Tikus Tanah mempunyai gigi poliprotodon yang berarti bahwa binatang itu mempunyai tidak kurang dari tiga pasang gigi seri di rahang bawah dan di antara taring. Masih bingung mengidentifikasikannya? Lupakan saja!!!

Di pulau Papua, ternyata Tikus Tanah punya banyak ‘saudara seperjuangan’. Ibarat keluarga besar, riwayatnya, dimulai dari famili yang ternyata ada dua yaitu Peroryctidae (genus: Peroryctes, Microperoryctes, dan Echymipera) dan Peramelidae (genus: Isoodon). Anggota keluarganya antara lain ya Peroryctes broadbenti, P. raffrayana, Microperoryctes longicauda, M.  papuensis, M. murina, Echymipera kalubu, E. clara, E. rufescens. E. Echinista, Rhynchomeles prattorum dan tentu saja Isoodon macrourus. Benar–benar nama–nama yang cantik untuk hewan lezat ini.

Ditinjau dari segi tempat tinggal, Tikus Tanah tentu saja tinggalnya berdekatan dengan tanah, kalau berkeliaran di tempat lain, pasti nama babtisnya  entah jadi ‘tikus rumah’ atau ‘tikus pohon’ kapa eee.

Kata si Petocz (1994), Tikus Tanah hidupnya pada sarang yang terbuat dari daun–daun tua dan rumput yang tersembunyi dengan baik di tanah dan dapat dicapai melalui liang–liang yang tertutup. Penjelasan lain yang saya dapatkan, famili Peroryctidae biasanya ditemukan di hutan hujan, tetapi beberapa spesies Echymipera dapat ditemukan di padang rumput dan daerah kebun.  Bahkan  famili Peramelidae ditemukan pada daerah savanna dan hutan padang rumput pada bagian selatan dan timur pulau Papua khususnya terwakilkan dengan Isoodon macrourus. Apapun pilihan tempat tinggalnya, saya bisa menyimpulkan bahwa hewan ini pastilah seekor hewan penggali yang baik dan juga ahli kamuflase *analisa asal. Karena memilih tinggal dekat dengan tanah, menurut Flannery, hewan  ini merupakan satwa yang insektivora (mengonsumsi beberapa seranggga) dan omnivora (mengkonsumsi pisang, kelapa, lengkuas hutan dan vertebrata seperti kadal dan katak).

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Eits, terlepas dari gaya makannya yang ‘asal hajar’ itu, Tikus Tanah ternyata mempunyai fungsi penting dalam menjaga kestabilan kehidupan khususnya pada habitat dimana hewan ini berada.

Kata Petocz, selain menjadi sumber protein hewani bagi manusia di sekitar habitatnya, ternyata Tikus Tanah juga turut membantu membasmi hama seperti tikus, keong dan lintah tanpa merusak tumbuhan sayuran. Jadi, iseng–iseng saya berpikir, kenapa tidak membuat kebun sayur organik yang besar saja, kemudian si Tikus Tanah  saya pekerjakan sebagai pembasmi hama, kalau memang tidak bisa kerja dengan baik, ya saya ‘eksekusi’ saja sebagai instrument ‘perbaikan gizi’ HAHAHA.

Saudara–saudara, pemikiran ini tak ‘asal’ tentu saja. Karena menurut hasil penelitian Chrysostomus (2003) di Lembah Kebar (sebuah distrik di kabupaten Manokwari), ternyata di dalam tubuh Tikus Tanah punya rincian kandungan gizi sebagai berikut:  air (72, 62 %), protein (18, 62 %), lemak (3, 22 %), abu (2, 63%) dan energi (1090 kcal/kg). Sebuah solusi untuk menambah bobot badan saya. *tiba–tiba lapar mode: ON. Apalagi melihat variasi berat badan spesies Tikus Tanah yang bervariasi itu, misalnya saja  Microperorytes murina umumnya berbobot  sekitar 100 g, sisanya ya berbobot 1 -2 KG, kecuali Perorytes broadbenti yang bisa mencapai  5 KG *tra heran namanya saja mengandung unsur kata ‘broad’ …’luas’. Saya jadi punya banyak pilihan dong HAHAHA.

Ternyata, perbedaan ukuran tubuh baik antara sesama ‘jenis’ maupun antara jantan dan betina diduga karena faktor seperti suhu lingkungan, aktivitas, umur dan kondisi habitat tempat hidup terutama ketersediaan pakan. Apalagi Tikus Tanah jantan lebih aktif dalam melakukan pergerakan dibandingkan dengan Tikus Tanah betina.

Bila ingin mendapatkan Tikus Tanah, hewan ini dapat ditangkap dengan sejumlah metode seperti menggunakan anjing atau tangan, perangkap dan jerat yang umumnya menggunakan umpan buah – buahan seperti pisang dan kelapa, panah, dan juga dengan cara tradisional seperti membuka lahan dengan membakar ilalang *otomatis Tikus Tanah ko hangus.

Menurut penjelasan Winangsih (2006) berdasarkan penelitiannya di kampung Siwi, distrik Momi Waren kabupaten Manokwari, umumnya Tikus Tanah yang tertangkap pada bulan terang  lebih banyak dibandingkan dengan saat bulan gelap. Saat hujan, yang tertangkap pun lebih sedikit dibandingkan saat cuaca cerah. Diduga, aktifitas Tikus Tanah yang tinggi pada bulan terang diduga dipengaruhi oleh adanya bulan terang. *hewan yang romantis? Penasaran mode: ON. Begitu pula pada saat hujan, si Tikus Tanah memilih untuk istirahat dan tidak melakukan aktifitas mencari makan. Mangkali takut kena flu kapa HAHAHA.

Nah, walau Tikus Tanah lumayan berkontribusi dalam menyumbang protein hewani bagi mereka yang mengonsumsinya, tetapi tetap saja ada spesies tertentu yang saat ini telah berada pada ambang ‘vulnerable’ alias rentan yang mana populasinya menurun, sedangkan sebarannya menyusut.

Ini berdasarkan data dari IUCN (international union for conservation of nature) pada tahun 1994 khusus untuk spesies Echymipera clara. Melihat tahun data ini, saya sedikit khawatir, jangan – jangan setelah 17 tahun data ini diterbitkan, bisa–bisa bukan hanya si cantik ‘clara’ saja yang terancam tetapi juga spesies lainnya. Toh populasi manusia di tanah ini makin bertambah, belum lagi bukaan lahan di habitat  Tikus Tanah pun makin menjadi. Apalagi, semisal contoh di kampung Siwi yang menjadi salah satu areal penelitian hewan ini di kota saya pun belum ada aturan atau larangan tradisional terkait pembatasan dan pemanfaatan satwa yang ada di kampung siwi, termasuk Tikus Tanah. Saya jadi ngeri membayangkan bila suatu hari, Tikus Tanah hanya menjadi sebuah cerita pengantar tidur anak cucu saya kelak seperti nasib si burung Dodo di Amerika sana.

Kelangsungan hidup Tikus Tanah cukup dilematis bagi saya. Pada satu sisi, saya dan beberapa penikmat daging hewan ini masih tetap ingin mengenalkan citarasa daging hewan ini pada anak cucu saya kelak.  ‘Ini kam pu makanan tana yang tra mungkin kam dapat biar pi ujung Amerika ka Eropa sana’, kira–kira itu redaksi pidato saya kelak dalam sebuah jamuan keluarga dengan anak cucu saya kelak *menghayal. Tapi pada satu sisi, ah hewan ini bisa – bisa punah kalau tak dijaga dan dibiarkan hidup dan berkembang biak dengan riang bersama anak–cucunya juga. Usut sana–sini, seorang teman dari Jayapura; sebut saja kak Andi alias Ibiroma Wamla mengirimkan pesan, “May, co ko cek skripsinya pace Septer Manufandu, tuh kan tentang penangkaran barang ini”. Rasanya seperti ada bola lampu Phillip 100 Watt yang berpijar di kepala saya. Halaman – halaman skripsi Septer Manufandu (2000), mantan mahasiswa Faperta Uncen dari jurusan Peternakan yang sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jerat Papua pun saya kulik abis.

Prospek Domestikasi dan Penangkaran

Dari penelitian Manufandu didapatkan informasi Berikut. Tikus Tanah khususnya jenis E. rufescens dapat mengonsumsi semua jenis pakan yang diberikan  dan hewan ini minum setelah mengonsumsi pakan, bermain dan membersihkan tubuh sebelum masuk ke dalam sarang. Aktivitas bermain, berlatih hanya dilakukan oleh pejantan. Satu hal yang cukup menarik adalah hewan ini juga punya waktu istirahat bila berada di dalam penangkaran.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Dari hasil pengamatan, Tikus Tanah beristirahat pada pagi hari sekitar pukul 6–11, lalu siang–sore pada pukul 11–6 sore. Setelah itu pada malam hari pada pukul 11–1 pagi. Satu hal yang patut juga dicatat adalah di dalam penangkaran, respon alami bayi hewan ini untuk mencari kantung induknya terjadi secara alami tanpa bantuan induknya. Dalam penelitiannya, Manufandu juga memaparkan jenis–jenis pakan yang diberikan pada Tikus Tanah di penangkaran berdasarkan urutan kesukaan: Serangka, kadal, cacing, pisang, pepaya, kelapa, jambu, petatas, limbah organik rumahtangga,  dan buah roda. Heinsonn (dalam Manufandu) menuturkan bahwa hewan ini memang menyukai pakan yang tidak terlalu keras dan yang rasanya manis seperti buah – buahan.

Pemikiran tentang penangkaran ataupun domestikasi ini juga mengingat tulisan Gordon dan Lyne (dalam Debi; 2006 dan Noriwari; 2000) terkait tingkat reproduksi Tikus Tanah. Hewan poliestrus ini rata – rata beranak 3 – 4 ekor per kelahiran dengan masa bunting sekitar 12 hari dan masa ‘tinggal di dalam kantong induk’ selama hampir 2 bulan. Dalam setahun, seekor betina yang matang secara seksual dapat beranak antara 5 – 6 kali. Jadi, katakan saja secara kasarnya, dalam setahun, seekor betina dapat menghasilkan minimal 15 ekor hewan ini. Selain itu, berdasarkan penelitian Stoddart (dalam Manufandu) dijelaskan bahwa hewan ini sudah dapat dikonsumsi sejak berumur 3 bulan. Jadi, Kalau kalau ditangkarkan, hewan ini tentu saja punya prospek yang cukup menjanjikan. Selain itu, menurut Tate (dalam Manufandu: 2000)  menambahkan pentingnya penangkaran baik dalam bentuk ex-situ dan domestikasi karena hewan ini telah menjadi salah penyumbang protein hewani di beberapa daerah di tanah Papua seperti Jayapura, Biak, Serui, Wamena, Timika, Manokwari, Merauke dan Fakfak.

Meskipun demikian, berdasarkan penelitian Manufandu, selama ini tingkat keberhasilan domestifikasi Tikus Tanah  masih rendah karena beberapa faktor antara lain kurangnya pengetahuan tentang pengawasan dan penanganan awal kelahiran, sedikit informasi tentang pola tingkah laku dan model penangkaran yang sesuai dengan cara hidup hewan ini di alam. Adapun daerah yang pernah membudidayakan hewan ini adalah kampung Assologaima di Kabupaten Jayawijaya. Itulah sebabnya dengan adanya penelitian tentang perilaku hewan ini di penangkaran menjadi sebuah sumbangsih yang cukup berarti dalam memahami  Tikus Tanah.

Bila hendak ditangkarkan dan dibisniskan, tentu saja perlu bibit dari alam. Mungkin cara terbaik untuk bibit adalah mencari tikus tanah yang badan paling ‘bokar’ alias yang dapat menghasilkan bobot daging yang berat, ya seperti spesies Perorytes broadbenti  dan yang tidka berada di ambang ‘rentan’. Selain itu dengan memasang jerat saat mencari bibit dari alam, Tikus Tanah yang ditangkap masih dalam keadaan hidup. Ini hanya pendapat pribadi saya.

Nilai Ekonomis Tikus Tanah dan Prospek Masa Depan

Tentang nilai ekonomis hewan ini, saya belum berhasil mendapatkan data nilai pasaran terkini hewan ini di pasar tradisional, khususnya dalam bentuk panggangan. Beberapa kenalan mahasiswa Biologi UNIPA menyampaikan bahwa minggu kemarin, saat mereka sedang ‘nongkrong’ menunggu kuliah di ‘para – para’ samping gedung, ada beberapa anak kecil yang menjual hewan ini dan diikat seperti ‘pikul ikan’. “Tapi tong tra tanya de pu harga berapa, kaka. Dong bilang dong pasang jerat di hutan Gunung Meja sini,” ungkap para mahasiswa itu kepada saya.

Saya pun iseng membuka catatan Winangsih (2006) dalam skripsinya tentang nilai jual Tikus Tanah di Kampung Siwi. Ia mencatat bahwa hewan ini dijual dengan harga yang berbeda, sesuai ukuran tubuh. Biasanya ukuran kecil: Rp. 5000/ekor, ukuran sedang Rp. 10.000/ekor, dan ukuran besar antara Rp 15.000 – 20.000,-/ekor. Sayangnya saya belum dapat informasi terkini nilai jual hewan ini di kota Manokwari. Ada yang bisa bantu? HEHEHE.

Bila harus bicara tentang bisnis (tiba – tiba saya teringat masa belajar saya selama 3 tahun di sebuah SMK Bisnis Manajemen jaman dahulu kala), mungkin kita dapat memilih dua jenis kegiatan yang dapat dibidik.

Pertama, bisnis kuliner daging Tikus Tanah.  Kadang saya ‘iri’ dengan berbagai jenis kuliner dari seberang pulau bahkan negara dan benua lain yang menjamur di tanah kelahiran saya. Saya ingat benar bagaimana cerita seorang kenalan Amerika saya beberapa tahun lalu yang memamerkan dengan bangga foto ia menyantap daging kelelawar di restoran masakan Manado di kota saya. Ah saya ingin satu hari nanti, masakan Papua yang eksotis itu masih tetap bertahandan bisa masuk dalam tatanan yang lebih tinggi, Toh masih banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan bahan bakunya dengan cara yang lebih mempertimbangkan aspek konservasi. Toh masih saja ada pemikiran, “Rasanya kok betapa mahalnya ‘makanan tana’ itu.” *menerawang.  Saya bermimpi suatu hari nanti akan ada satu restoran makanan khas Papua dan salah satu hidangan eksotis yang bisa ditampilkan adalah hidangan daging Tikus Tanah terlepas dari bagaimana daging hewan ini diolah (lihat catatan saya: Kuliner Tikus Tanah). Pemikiran ini beranjak tentu saja dari fakta tentang perkembangbiakan hewan ini sendiri plus beberapa tulisan tentang penangkarannya.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Itu tawaran bisnis saya yang pertama.

Kedua,  bisnis wisata penangkaran alias membisniskan kegiatan memantau kehidupan hewan ini di lahan penangkaran. Paling bagus, bila kedua konsep bisnis  ini digabungkan. Penangkarannya dapat dibuat seperti  Maru Wildlife Park yang pernah saya kunjungi di Melbourne sana. Jadi, kita mengoleksi beberapa spesies Tikus Tanah khususnya yang ‘rentan’ dalam mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Hal ini tentu saja terinspirasi dari pengalaman sewaktu dulu berkuliah di Australia. Ya semacam pergi tamasya ke tempat – tempat penangkaran hewan liar.  Di sana, sambil duduk menikmati makanan di restoran dalam areal konservasi, saya masih bisa menyempatkan diri mengunjungi hewan – hewan liar di belakang restoran berkonsep terbuka itu. Guess what? Iya, saya membayar karcis masuk tempat ini di luar biaya makan. Pemeliharaan hewan liar kan tidak murah, saudara – saudara. Hehehe.  Kalau masalah etika, apa bedanya dengan metode penjualan ikan bakar yang kerap saya temukan di kota – kota besar ataupun di sebuah hotel berkonsep resor di kota saya; memilih ikan langsung dari keramba dan bak – bak kaca untuk ‘dieksekusi’. Nothing’s different, yang beda hanyalah hubungan emosional kita dengan hewan tersebut. Ini tentu saja pendapat pribadi saya.

Masih bingung atau merasa ‘tra enak hati’ dengan urusan konservasi? Kayaknya saya perlu berbagi pengalaman di Australia dulu. Di Canberra, walaupun itu negara bagian konservasi, ada peraturan sangat ketat terkait perlindungan hewan liar apalagi terkait kangguru. Toh, saya masih tetap bisa mengonsumsi sosis kangguru ataupun daging kangguru dengan membelinya di supermarket karena daging tersebut dihasilkan dari hewan yang ditangkarkan dan bukan tangkapan langsung dari alam. Saya pikir sudah saatnya di Papua dilakukan hal yang sama, karena bagaimanapun ada spesies tertentu Tikus Tanah yang rentan dan terancam punah bila tak ada upaya langsung perlindungan. Di satu sisi, kita tak bisa serta merta melarang masyarakat Papua mengonsumsi Tikus Tanah tanpa menyiapkan solusinya.

Saya berpikir, selama ini hewan ternak yang dijadikan bahan pangan penyumbang protein hewani yang lain membutuhkan teknologi  yang lumayan rumit dan bibitnya kebanyakan harus didatangkan dari luar (bandingkan bibit ayam potong). Bukankah sudah saatnya pula kita berpikir untuk menyiapkan sebuah solusi untuk kebutuhan pangan untuk daerah – daerah yang kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan protein. Apalagi melihat situasi terkini dimana akan ada rencana eksploitasi lahan untuk keperluan tambang dan kebutuhan komersial lainnya. Hal ini tentu saja berkaitan dengan habitat hewan ini.

Saya pemimpi, saudara – saudara. Tapi saya tetap bermimpi, suatu hari nanti, spesies – spesies yang hampir rentan ini dapat diselamatkan. Tapi saya masih tetap bisa mengonsumsi dagingnya. Toh mereka diciptakan Tuhan untuk hadir di bumi Papua.

Anyway, perburuan catatan saya tentang hewan ini tampaknya sudah harus saya tutup juga. Di akhir catatan saya, tak lupa saya lampirkan beberapa bacaan ilmiah baik berupa skripsi maupun buku yang mungkin dapat membantu anda memahami hewan marsupial lezat ini. Iya, ‘lidah tak pernah bisa bohong’ *mengutip tagline iklan.

Semoga suatu hari nanti, bila ada orang yang ’merayap dada’ di belakang rumah saudara dan mencurigakan serta mengaku sedang mencari hewan ini, pastikan ia memang tahu benar hewan ini dan bukan sekedar mencari ‘Tikus’ di tanah ataupun malah jadi ‘Tikus’ di tanah ini alias ‘tukang pancuri’ HAHAHA

(Manokwari, 17 – 23 Oktober 2011; Terima kasih untuk semua narasumber/penulis skripsi & buku, kaka Andi a.k.a. Ibiroma Wamla, ibu teknisi penjaga perpustakaan jurusan Biologi Fak. MIPA, UNIPA, petugas penjaga perpustakaan UNIPA).

)* Penulis adalah Aktifis lingkungan di Manokwari, setelah selesai kuliah S1 di Universitas Negeri Manokwari melanjutkan S2 dan selesai disalah satu Universitas di Australia.

Daftar Pustaka:

  1. Astuti,  Riyani Diah Dwi. 2006. Pendugaan populasi Bandikut pada berbagai tipe habitat di kawasan kabupaten Manokwari.  Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Papua. Manokwari
  2. Chrysostomus, H.Y. 2003. Ukuran morfologi dan kandungan gizi daging bandikut di Lembah Kebar. Skripsi. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Papua. Manokwari
  3. Debi. 2007. Habitat Persarangan Tikus Tanah (Bandikut) di Hutan Kali Es Wosi Manokwari. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Papua. Manokwari
  4. Flannery, T. 1995. Mammals of New Guinea. Australia: Robert Brown & Associates.
  5. Manufandu, Julianus Septer. 2000. Pola Tingkah Laku Harian Bandikut Hidung Panjang (Echymipera rufescens) di Penangkaran. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Cenderawasih. Manokwari
  6. Noriwari, M.A. 2001. Studi Tingkah Laku Makan dan Pertumbuhan Bandikut Hidung Panjang (E. rufescens) di Penangkaran. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Cenderawasih. Manokwari
  7. Petocz, R.G. 1994. Mamalia darat Irian Jaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  8. Pasereng, Meliana Rapan. 2007. Karakteristik Morfologi Bandikut (famili Peroryctidae) di Hutan Sekunder Kampung Mansaburi di Kabupaten Manokwari. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Papua. Manokwari
  9. Samsudin. 2000. Persarangan Tikus Tanah (Bandikut) pada Areal Perkebunan Kelapa Sawit Desa Umbuy Kecamatan Prafi Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Cenderawasih. Manokwari.Win
  10. angsih, Fitriani. 2006. Karakteristik morfologi bandikut di kampung Siwi distrik Momi Waren kabupaten Manokwari. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Papua. Manokwari

Artikel sebelumnyaTermotivasi dari Mama, Ghiovanny Wondiwoy Bangun Komin Bakery
Artikel berikutnyaDua Kampung di Yahukimo Bisa Akses Jaringan 4G