Mahasiswa Eksodus: ‘Emas’ Papua yang Terlantar

1
1464

Oleh: Novilus K. Ningdana)*

Pasti semua orang mengatakan bahwa pendidikan itu penting, bermanfaat dan memiliki peran dalam menjawab kehidupan manusia. Pendidikan menjadi landasan kemajuan suatu bangsa dan daerah. Pendidikan dapat mempersiapkan sumber daya manusia untuk menjawab kebutuhan hidup manusia dalam segala bidang. Maka bangsa yang besar dan maju ialah bangsa yang memiiki sistem pendidikan dan sumber daya manusia yang cerdas dan baik.

Namun di Papua pendidikan semakin terancam karena sumber daya manusia yang terlantar dengan berbagai peristiwa sosial yang mematikan potensi manusia Papua untuk membangun dan memajukan daerahnya. Yakni mahasiswa eksodus: emas Papua yang terlantar merupakan judul yang diberikan untuk menggambarkan sumber daya manusia Papua yang terancam karena dampak peristiwa rasisme yang terjadi pada bulan Agustus lalu di Surabaya.

Peristiwa persekusi dan rasisme yang terjadi pada 16 dan 17 Agustus di Surabaya terhadap mahasiswa Papua memiliki dampak negatif terhadap generasi emas Papua yang mengenyam pendidikan di Nusantara ini. Situasi ini membuat mahasiswa tidak aman karena didatangi oleh aparat dan dipersekusi oleh organisasi pemasyarakatan. Juga  terjadi gelombang demonstrasi yang bertubi-tubi di seluruh Indonesia.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Akhirnya ribuhan mahasiswa Papua memutuskan untuk pulang ke Papua. Ribuan mahasiwa yang pulang berpencar ke kampung halamannya dan membuat pos induk di kabupaten maupun ibu kota Provinsi, Jayapura. Jumlah mahasiswa yang pulang oleh polda papua diperkirakan 3.000 orang, sementara posko induk mahasiswa eksodus di jayapura mencapai 6.000 orang (www. jubi.co.id). Mereka pulang dengan membawa satu misi yakni referendum. Itulah komitmen dan tuntutan awal mereka kepada pemerintah provinsi dan daerah.

ads

Di Papua, mereka telah melakukan beberapa demonstrasi agar untuk segera menuntaskan kasus ini, namun berujung dengan korban jiwa dan beberapa di balik jeruji besi serta beberapa mahasiswa ditangkap dan diproses hukum hingga kini. Mereka tidak didengar, diintimidasi, ditangkap dan diterlantarkan.

Pulangnya mahasiswa eksodus menjadi satu pukulan besar bagi pemerintah dan masyarakat Papua akan masa depan mahasiswa dan sumber daya manusia Papua. Pertanyaannya bagaimana dengan masa depan sumber daya manusia Papua yang terlantar ini? Bagaimana sikap pemerintah daerah dalam menangani mahasiswa eksodus? Mereka terlantar bagaikan anak ayam kehilangan induk di daerah sendiri.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Mahasiswa merupakan tulang punggung sumber daya manusia Papua yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan demi kesejahteraan, kebahgiaan dan kemerdekaan daerah.

Menurut saya pemerintah sedang membunuh, membiarkan dan menelantarkan masa depan SDM Papua. Ideal radikalnya orang Papua membunuh masa depan orang Papua. Suatu pembiaraan yang melanggar hak asasi manusia untuk menuntut ilmu bagi mahasiswa eksodus. Jika daerah mau maju mesti menyikapi masalah ini secara serius dan mengambil solusi yang tepat demi keselamatan masa depan Papua.

Generasi emas Papua yang nantinya memberikan kontribusi besar dalam pembangunan, perubahan, dan menjawab kebutuhan daerah terlantar. Menurut saya akan memberikan dampak beberapa negatif bagi daerah, yakni:

Pertama, terjadi krisis sumber daya manusia Papua. Jangan heran jika kelak tidak menghasilkan tenaga handal yang cerdas, kompeten dan potensial.

Kedua, memberikan peluang besar bagi orang non-Papua untuk menguasai sistem pemerintahan dan peluang lainnya di Papua.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

Ketiga, mematikan potensi dan kesempatan emas anak Papua untuk terus bersaing dalam bidang akademik di level nasional dan internasional.

Tiga hal ini menjadi pertimbangan bahwa mengapa generasi emas Papua harus mendapat perhatian serius dari pengambil kebijakan di Papua untuk memfasilitasi mahasiswa eksodus yang terlantar di negeri sendiri untuk kembali mengnyam pendidikan di kota sutudy masing-masing.

Dengan melihat pentingnya pandidikan dan minimnya SDM Papua maka pererintah provinsi dan daerah, DPRD, dan MRP sebagai lembaga kultur Orang Asli Papua harus memfasilitasi mahasiswa eksodus untuk kembali ke kota study serta melanjutkan perkuliahan yang tertinggal karena peristiwa rasisme yang dialaminya.

Saya yakin bahwa dengan sikap ini pemerintah dapat memberikan jaminan keselamatan SDM Papua yang unggul, maju dan cerdas sesuai dengan visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dalam masa kepemimpinannya serta memberikan satu motivasi tersendiri bagi mahasiswa untuk terus belajar dengan mengembangkan potensi-potensi emas yang dimiliki.

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua

Artikel sebelumnyaSambutan Ketua ULMWP dalam Doa Perkabungan Alm. Andy Ayamiseba
Artikel berikutnyaPON XX di Papua dalam Dua Tegangan