PON XX di Papua dalam Dua Tegangan

0
2074

Oleh: Yohanes Kayame)*

Saat ini masyarakat Provinsi Papua diperhadapkan dengan suatu isu persiapan untuk menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON). Pemerintah Provinsi Papua disibukkan dengan agenda ini yang diselenggarakan pada tanggal 20 oktober – 2 November 2020. Apalagi, ajang ini merupakan suatu pesta rakyat yang secara nasional dihadiri oleh seluruh Provinsi, dari Sabang sampai Merauke. Provinsi Papua dan panitia PON bekerja keras demi memperlancar kegiatan ini. Merekrut sekian banyak anak muda untuk menjadi relawan PON serta mempercepat pembangunan venue untuk berbagai macam cabang olahraga.

Di sisi lain masyarakat Papua di beberapa daerah masih mengalami krisis kemanusiaan. Luka Nduga masih belum sembuh. Sekarang Kabupaten Intan Jaya yang masih mengungsi dan terjadi penembakan yang menewaskan dua orang, satu anak Sekolah Dasar (SD), Melki Tipagau (11) dan satu orang dewasa, Kayus Sani (51), Kepala Desa Kampung Yopari (suarapapua. com,  20/02/2020).

Masalah-masalah HAM yang hingga kini tidak pernah diselesaikan.

Dengan demikian kita berhadapan dengan dua realitas yang berbeda. Di satu sisi, masyarakat diajak untuk menyambut PON dengan penuh kegembiraan, tetapi di sisi lain rakyat menangis, takut dan berdukacita karena pelanggaran HAM yang terus ada. Luka yang belum pernah disembuhkan yang hingga kini masih membekas.

ads

Dalam dua tegangan itu masyarakat Papua menyambut PON sebagai sebuah pesta olahraga nasional yang. Pertanyaanya, bagaimana PON sebagai Pesta rakyat berhadapan situasi pelanggaran HAM  terhadap rakyat yang belum pernah tuntas?

PON – Agenda Negara

Menurut sejarah PON dibentuk pada tahun 1946 (setahun setelah kemerdekaan Negara Indonesia) dengan nama PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia) yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) sekarang disebut Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Pelaksanaan PON  I terjadi pada tanggal 8 sampai 12 september 1948. PON I ini membawa sebuah misi yakni menunjukan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia dalam keadaan daerah yang dipersempit akibat Perjanjian Renville -perjanjian antara Indonesia dan Belanda soal batas wilayah.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

PON ini merupakan pesta olahraga nasional, yang diikuti oleh semua Provinsi di Indonesia dan biasanya diadakan empat tahun sekali. Terakhir PON diadakan pada tahun 2016, di Jawa Timur. Setelahnya, pemerintah pusat menetapkan Provinsi Papua sebagai tuan rumah PON ke-20 melalui Surat Keputusan (SK) Menpora No. 0110 tahun 2014 tertanggal 2 April (Tribun News.com, 6 April 2014). Papua ditetapkan sebagai tuan rumah PON yang ke-20 tahun 2020.

Dalam rangkan menyambut POn ini pemerintah melakukan persiapan dibeberapa kabupaten dan kota di Provinsi Papua, seperti Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura Kabupaten Timika, Kabupaten Biak, Kabupaten Merauke. Membangun beberapa tempat seperti gedung olahraga, stadion dan lokasi-lokasi yang akan digunakan untuk 47 cabang Olahraga PON (Kominfo). Pada PON ke-20 ini, Lukas Enembe, Gubernur Provinsi Papua sekaligus Ketua Umum Panitia Besar PON antusias menerima PON ini dan memberi tiga pesan perihal penyelenggaraan PON, yakni PON membawa semangat persaudaraan, mengikis stigma papua tidak aman dan kesuksesan PON adalah adalah kesuksesan NKRI (tempo.co, 23/01/2020). Provinsi Papua, melalui wakil Ketua Panitia Besar PON papua, Yohanes Walilo, menyatakan siap menggelar PON 2020 di Provinsi Papua (suarapapua.com, 22/01/2020)

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pelanggaran HAM di Papua

Di samping itu, Provinsi Papua adalah pronvinsi yang menyimpan luka masalah pelanggaran HAM yang mendalam. Semenjak Papua dimasukkan dalam NKRI, pelanggaran HAM masih dialami oleh orang Papua. Dicatat dalam sejarah bahwa pernah terjadi 15  operasi militer hingga tahun 1963-2004 (suarapapua.com, 12/12/2019). Terakhir Operasi Militer di Nduga (2018) dan di Intan Jaya, akhir tahun  2019 hingga sekarang. Di dalam operasi itu di temukan kasus pembunuhan, pemerkosaan, penembakan yang amat menyedihkan. Belum lagi beberapa peristiwa seperti, Paniai Berdarah (2014), Wamena berdarah (2000), Abepura Berdarah (2000), yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Menurut Frits Ramandey, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, mencatat total 154 pengaduan telah masuk ke pihaknya selama tahun 2019 dan itu lebih besar dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 hanya 68 pengaduan, tahun 2017 sebanyak 89, tahun 2016 sebanyak 124 pengaduan dan pada tahun 2015 terdapat 103 pengaduan (CNN, 11/12/2019).

Maka pelanggaran HAM di papua semakin memperihatinkan. Hingga kini kita belum menemukan konsistensi Negara dalam menyelesaikan persoalan-perosalan ini. Hanya terakhir Komnas HAM pusat menetapkan peristiwa penembakan di Paniai itu sebagai kasus pelanggaran HAM berat (CNN, 16/02/2020).

Dengan data-data di atas kita dapat membayangkan betapa buruknya citra orang Papua, seakan tidak dihargai martabat dan keluhurannya di atas Tanah sendiri.

Pelaksanaan PON di Provinsi Papua tahun ini berhadapan dengan sebuah masalah besar yang belum pernah diselesaikan yakni masalah Pelanggaran HAM. PON diadakan di atas luka orang Papua dengan masalah-masalah yang belum pernah diseriusi oleh negara sendiri. Kita dapat membayangkan spikologi orang Papua berhadapan dengan PON yang adalah pesta olahraga, ada kegembiraan dan sukacita dalam sebuah penderitaan yang berkepanjangan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Hal ini rasanya tidak memberi obat bagi eksistensi orang Papua terhadap masalah pelanggaran HAM. Peristiwa ini sama persis dengan sebuah cerita, seorang asing yang datang merampok rumah dan membunuh salah satu anggota keluarga. Lalu orang asing itu datang menghibur dengan candatawa selama beberapa jam dan pergi. Luka itu belum disembuhkan akan tetap membekas. Maka pertanyaannya adalah apakah untungnya PON bagi luka pelanggaran HAM terhadap orang Papua.

Menurut saya, Pemerintah mesti fair dengan situasi dan konteks kehidupan orang Papua. Konteks kehidupan ekonomi, kesehatan, budaya, pendidikan dan martabat orang Papua. Di satu sisi mengembangkan talenta anak muda dan memupuk persaudaraan tetapi di sisi lain negara mesti terbuka dengan orang papua sendiri yang terluka, yang menderita karena masalah HAM yang tak pernah selesai.

Pemerintah harus memahami filosofi kehidupan orang Papua secara utuh. Untuk itu saran saya, Pertama, Negara mesti bijaksana dalam memerintah dan memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua negara mesti jujur dan adil mengungkap semua pelanggran HAM tanpa dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu. Ketiga negara mesti bertanggungjawab dengan semua pelanggaran HAM papua. Sehingga PON di papua tahun ini merupakan pesta rakyat Papua dari masyarakat pelosok-pelosok hinga di Perkotaan dan mereka tergerak untuk memaknai pesta ini secara sungguh. Jika tidak maka sia-sialah.

)* Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura

Artikel sebelumnyaMahasiswa Eksodus: ‘Emas’ Papua yang Terlantar
Artikel berikutnyaParkop Akan Membentuk Sekretariat Free West Papua di Port Moresby