Catatan Kelam: Perempuan Amungme di Wilayah Freeport Hidup dalam Kekerasan (6)

0
2801

“Saya kaget, karena kakak saya, kedua istri, dan kedua anak sedang disiksa. Kakak saya kemudian ditembak mati, kedua istrinya diperkosa. Istri yang pertama ditembak mati, istri kedua diperkosa dan disiksa, tetapi dibiarkan hidup.

Kehadiran Freeport membawa malapetaka bagi orang Papua. Mulai dari penyerahan wilayah Papua ke Indonesia, mengkeruk emas dan tambang di gunung keramat suku Amungme, merusak lingkungan dan mengakibatkan limbah di Sungai Ayikwa hingga dan  PHK buruh Freeport dengan sewenang-wenang.

Sejak Freeport mulai beroperasi hingga kini, masyarakat Amungme dan Kamoro diselimuti dengan rasa takut dan kwatir akan kehilangan nyawa karena ditembak oleh militer dan mati akibat kena limbah.

Dalam upaya pengamanan Freeport sebagai asset vital negara maupun, operasi militer dalam upaya  operasi tumpas organisasi Papua Merdeka (OPM) di area penambangan Freeport dan sekitanya,  para perempuan mengalami kekerasan luar biasa, baik kekerasan langsung dan maupun tidak langsung. Mereka ditahan, disiksa, diperkosa,  hingga mati ditembak mati.

Baca Juga: Catatan Kelam: Tentara Perkosa Perempuan Buta di Manokwari (1)

ads

Laporan Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan Papua, 2009-2010 mengungkap kisah-kisah tragis yanga dialami perempuan di wilayah operasi PT. Freeport.

Mama Yosepha Alomang dan Juliana Magal Ditahan dan Disiksa

Sejak masuknya PT Freeport di Timika, banyak anggota masyarakat lari bersembunyi di hutan karena takut. Pada tahun 1982, sekitar 50 keluarga menyerah ke tentara Indonesia. Pada tahun 1984 ada pemboman di beberapa kampong, sehingga terjadi pengungsian besar-besaran, termasuk masyarakat Amungme.

Yosepha Alomang, seorang perempuan Amungme, memimpin masyarakat untuk membersihkan mayat-mayat anak kecil dan orang besar yang berserakan, sulit ditaksir banyaknya.

Masyarakat Amungme kembali bersembunyi di hutan, dan banyak yang meninggal, karena malaria dan kondisi yang sulit di hutan, kondisi ini memaksa  mereka menyerah untuk kedua kalinya pada tahun 1987, dan ditampung di sebuah kamp sosial.

Baca Juga: Catatan Kelam: Pengamanan Tambang dan Kekerasan Seksual di Timika (4)

Pada tahun 1994, Yosepha Alomang dan Yuliana Magal ditangkap, karena beli pakaian dan jaring ikan untuk komandan OPM, Kelly Kwalik. Mereka dibawa ke pos militer dan kemudian dipindahkan ke pos polisi. Di sana, mereka disekap kedalam kontainer yang digunakan aparat keamanan sebagai kakus.  Bertahan hidup dalam genangan tinja selama satu bulan lamanya. Selama masa penahanan, mereka mengalami penyiksaan yang luar biasa.

Setelah dibebaskan, mereka dikenakan wajib lapor selama lima tahun. Mama Yosepha Alomang tidak pernah menyerah dan tetap berjuang bagi masyarakat Amungme.

Pada tahun 1990-an, mama Yosepha kembali ditahan, karena protes pengembangan areal bandar udara Moses Kilangin, perumahan karyawan, dan Hotel Sheraton oleh PT Freeport yang mengambil tanah masyarakat di sekitar Timika.

Pemerkosaan Berulang-ulang Terhadap Perempuan

Tidak sampai disitu, kasus penyanderaan pada Januari 1996, sekelompok ilmuwan internasional dan nasional, yang bergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz ’95 (meneliti lingkungan alam) disandera oleh kelompok OPM di Desa Mapenduma. Pada bulan yang sama, pasukan Kopassus memimpin pembebasan sandera. Operasi militer besar-besaran digelar untuk menumpas kelompok OPM yang dipimpin oleh Kelly Kwalik, berimbas juga pada masyarakat yang hidup di sekitar wilayah Mapnduma.

Baca Juga:  Gloria Assem, Siswi SMP dari Papua Barat Daya Belajar Berwirausaha di Kota Malang

Baca Juga: Catatan Kelam: Kekerasan Seksual dan Operasi Militer di Biak (2)

Kekerasan ini merambah ke Distrik Jila di Kabupaten Mimika. Seorang saksi melaporkan kasus pemerkosaan berulang-ulang terhadap seorang anak perempuan Amungme yang terjadi sesudah aksi militer berkaitan dengan kasus Mapenduma. Pada saat itu, tentara 753 Nabire bertugas di Jila dan mulai melakukan penyisiran.

Seorang Saksi metuturkan, “Saat-saat itu tidak aman, masyarakat takut karena selalu diancam tentara.” Korban, yang waktu itu baru berumur 14 tahun, diambil di rumah dan diperkosa secara bergantian, dan akhirnya jadi langganan aparat.  Setiap kali ada  pergantian pasukan, korban jadi sasaran seksual aparat.

Kalau tidak dilayani, maka akan dibunuh, mulai dari orang tua dan keluarga terdekat. Dan akhirnya korban juga bergantung secara ekonomi untuk mendapatkan beras, garam, dan vetsin.

Korban tidak kawin karena dicap perempuan kotor kemudian mengalami penyakit kelamin dan akhirnya meninggal dunia.

Baca Juga: Catatan Kelam: Polisi Tahan Perempuan dan Lakukan Kekerasan Seksual di Wamena (3)

Penyiksaan, Pemerkosaan dan Pembunuhan Terhadap Satu Keluarga

Perempuan dan anak-anak juga termasuk korban pembantaian terhadap masyarakat sipil oleh pasukan TNI dari Tribuana dalam Operasi Belah Rotan di wilayah Jila pada tahun 1996. Seorang laki-laki yang menjadi saksi mata menceritakan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilihatnya waktu ia pergi ke rumah kakaknya.

“Saya kaget, karena kakak saya, kedua istri, dan kedua anak sedang disiksa. Kakak saya kemudian ditembak mati, kedua istrinya diperkosa. Istri yang pertama ditembak mati, istri kedua diperkosa dan disiksa, tetapi dibiarkan hidup. Begitu melihat kejadian itu, teman saya menghilang dan saya lari sembunyi. Pagi hari, sekitar jam enam, saya bersama beberapa warga kembali untuk melihat keadaan di tempat kejadian. Kami temukan, yang mati mereka biarkan begitu saja.”

“Di sana, satu ibu dan dua anaknya ditembak mati. Mereka menembak di kepala, otaknya berhamburan, ngeri saya lihat situasi itu. Kakak saya dibunuh dengan rentetan peluru sampai pohon-pohon dan rumput-rumput di sekitar bersih. Badan hancur, sudah begitu, mereka memotong tangan dan telinganya. Saya duduk dan menangis, karena tidak sanggup melihat badan kakak saya yang dipotong seperti binatang.  Akhirnya, semua mayat dibuang di kali. Saya sendiri masih duduk di kali tersebut sampai semua mayat tenggelam,” katanya bersaksai dalam dalam laporan itu.

Kekerasan dalam Upaya Paksa Penurunan Bendera Bintang Kejora

Pengibaran Bendera Pada masa awal reformasi, tepatnya tanggal 1 Desember 1999, bendera Bintang Kejora dinaikkan di halaman Gereja Katolik Tiga Raja oleh masyarakat di Timika.

Satu bulan kemudian, pada tanggal 2 Januari, bendera diturunkan secara paksa oleh Brimob dan Tentara disertai penembakan terhadap masyarakat di halaman gereja.  Empat orang perempuan ikut menjadi korban. Salah seorang dipukul hingga tangannya pata, kaki sebelahnya ditembak dan akhirnya diamputasi, satunya dianiaya, yang lainnya lagi meninggal karena luka tembak.

Salah seorang dari keempat korban pergi ke Timika untuk memperoleh bantuan seperti pakaian bekas dan uang dari adiknya. Dia berpikir akan datang sebentar lalu pulang. Waktu di Timika dia mendengar bahwa bendera Bintang Kejora dikibarkan di Gereja Katolik Tiga Raja. Dia juga pergi dan masuk halaman gereja.

Baca Juga:  Bia dan Masa Depan: Hasil Kerja Keras Dua Perempuan Kokoda di Sorong

Pada subuh, bendera diturunkan secara paksa. Bendera masih setengah tiang ketika ada penyerangan dari aparat. Warga masyarakat yang berkerumun mulai lari menyelamatkan diri.

“Saat merasa kena tembak, saya langsung berteriak, sebut nama gunung saya yang dianggap keramat, lalu saya jatuh tertidur di atas darah. Kaki saya hancur. Saya dibawa ke Tembagapura untuk berobat. Dokter langsung suntik keram, lalu potong (amputasi) kaki saya. Sampai sekarang saya tidak tau tahu, kaki yang dipotong ada di mana atau kubur di mana.  Saat sadar, kaki sebelah kiri saya tidak ada, langsung saya menangis. Selama saya berobat di Tembagapura sampai pulang ke Timika, tidak ada orang yang datang lihat saya atau bertanggung jawab atas kaki saya. Saya sering dihina orang kaki popo (bunting), saya malu.” ungkapnnya.

Seorang perempuan lain pergi ke Gereja Katolik Tiga Raja untuk melihat bendera yang berkibar, tetapi sampai di sana, tentara sudah mengepung. Ada mama-mama yang berdiri berhadapan dengan tentara. Mereka minta supaya tidak ada perang, tidak ada pembunuhan atau pertumpahan darah. Noken 46 mama-mama ini ditahan aparat; mama-mama ini dipukul hingga mengalami luka-luka. Tiga mama harus dirawat, termasuk seorang perempuan yang menderita patah tangan. Sampai saat ini, tangannya sakit dan dia tidak bisa angkat barang berat.

Ketidakadilan Terhadap Perempuan

Keadaan di Timika dan di sekitarnya di mana kebijakan negara terkait eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan perilaku perusahaan akhirnya berdampak pada keadaan di mana kekerasan merajalela, termasuk perang suku dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ada kekerasan oleh negara dan juga kelalaian negara ketika membiarkan terjadinya perang suku. Di sini, terdapat kasus yang bisa disebut sebagai kekerasan dalam masyarakat sekaligus kekerasan oleh negara.

Laporan ini mengungkap, pada tahun 1996, ada kesepakatan antara PT Freeport dan lembaga adat yang muncul dalam upaya advokasi lingkungan dan HAM, yaitu dana 1% dari keuntungan tahunan PT Freeport diberikan bagi penduduk asli di sekitar lokasi. Namun, dana 1% ini juga meningkatkan konflik.

Banyak kritik ditujukan terhadap penyalahgunaan dana tersebut, antara lain, pembagian yang tidak adil, peningkatan konflik antar suku karena kecemburuan, serta penggunaan dana untuk kepentingan pribadi para kepala adat atau pemimpin masyarakat setempat.

Diskusi dengan perempuan di dua kampung, menunjukkan bahwa perempuan sama sekali tidak mendapatkan manfaat apa pun dari dana ini, baik secara langsung dalam bentuk tunai atau program khusus untuk perempuan  maupun tidak langsung.

Kedua desa ini, kondisi kesehatan perempuan begitu memprihatinkan. Ditambah lagi dengan kemiskinan, minimnya akses pendidikan dan ekonomi, dan kerentanan terhadap berbagai kekerasan.

Baca Juga: Catatan Kelam: Operasi Militer Disertai Penyiksaan dan Kekerasan Seksual di Jayapura (5)

Komplik Antar Suku dan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Lebih parah lagi, di sebuah kampung di wilayah Timika terjadi konflik antar suku pada tahun 1996, 2003, dan 2006 yang memakan banyak korban dan materi. Banyak suami dan anggota keluarga terbunuh, dan perempuan menjadi lebih rentan terhadap kekerasan karena dianggap sebagai musuh oleh suku yang bermusuhan. Seorang perempuan menceritakan pengalamannya menjadi korban pemerkosaan oleh kelompok suku yang berseberangan.

Baca Juga:  Suku Moskona akan Miliki Rumah Belajar Bersama Berbasis Budaya

Saya bersama dua anak saya, delapan dan sembilan tahun saat jalan ke pasar, ditarik paksa ke mobil. Kami dibawa kemudian ditaruh ditempatkan di satu rumah. Setelah itu, saya tidak sadar lagi. Waktu saya sadar, saya keluar kamar dan melihat semua perempuan telanjang dan kami diantar pulang. Waktu itu, saya tidak bisa berdiri, berat sekali, dan banyak darah keluar. Saya berobat selama satu bulan di rumah sakit.  Sekarang saya di rumah saja. Suami saya juga sudah berhenti kerja karena malu dengan teman kerja dan keluarga satu suku.” 

Sejak operasi militer pada tahun 1977 untuk menjaga kepentingan pertambangan, didirikan pos keamanan di wilayah itu, ada yang masih berdiri hingga sekarang. Sejak hadirnya aparat keamanan, banyak gadis mengalami kekerasan, bahkan itu masih berlangsung hingga tahun 2005.

Pemerkosaan Anak Dibawa Umur

Menurut seorang tetangga, seorang gadis berumur 11 tahun dibawa secara paksa oleh pasukan Batalyon 753 Nabire ke pos mereka pada tahun 2005. Ia disekap di pos tentara lalu diperkosa secara bergantian. Ini terjadi berulang kali, sedangkan orang tuanya pasrah karena takut ditembak. Korban menderita trauma dan menanggung beban psikologis. Karena ia masih anak-anak dan tidak pernah dirawat, maka alat kelaminnya luka sampai busuk. Awalnya dia diam, hingga lukanya semakin parah lalu dibawa ke rumah sakit, tetapi tidak dapat tertolong. Anak ini menderita selama empat tahun sampai ia meninggal pada tahun 2009.

Pada tahun 2006, lima anak perempuan di bawah umur diperkosa pada saat pesta dansa. Kelima orang gadis ini disuruh minum kopi yang telah dicampur obat yang dicuri dari Pustu (Puskesmas Pembantu)  setempat. Ketika sudah tidak sadarkan diri, mereka diperkosa bergilir oleh beberapa anggota Batalyon 752 Sorong yang waktu itu bertugas di lokasi itu. Ada pihak yang melaporkan kejadian ini kepada gereja, namun pelaku tidak mendapatkan sanksi apa-apa.

Peristiwa lain terjadi pada tahun 2008. Saat itu, korban hendak pergi mandi bersama teman-temannya di kali Selamat Datang, di Mimika Barat. Di tengah jalan, korban diajak naik motor oleh pelaku dan katanya mau diantar ke tempat mandi. Namun ternyata, pelaku membawa korban ke tempat lain, ke arah Check Point Mile 32 dan memperkosanya dalam sebuah rumah.

Setelah melakukan perbuatannya, pelaku mengancam korban agar tidak menceritakan kepada orang lain. Pelaku kemudian mengantar korban ke tempat mandi. Orang tua korban kemudian melaporkan kasus ini ke Polres Mimika dan pelaku sempat ditahan di tempat tahanan Polres 32 selama satu bulan.

Kasus ini juga sempat diproses di Pengadilan Negeri Mimika, namun hingga kini tidak ada hukuman bagi korban. Saat itu korban masih berusia 8 tahun. (BY)

Sumber: Laporan Komnas Perempuan  berjudul Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan & pelanggaran ham perempuan papua, 2009-2010

Artikel sebelumnyaHon. Matthew Wale: Jangan Lupa Papua Barat
Artikel berikutnyaBagaimana Sikap Kita pada Corona?