JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Masyarakat di distrik teluk Arguni bawah mengeluh tenaga guru kontrak yang hanya bekerja berdasarkan surat keputusan (SK) kontrak.
“Masa kontrak habis. Anak sekolah telantar nasibnya berbulan-bulan,” ungkap Zubaer Furu, Kepala Bamuskam Kampung Sumun, Arguni Bawah, Kaimana kepada media ini pada Selasa pekan ini.
Zubaer mengaku kecewa terhadap tenaga guru kontrak. Selain itu ia juga kecewa dengan dina pendidikan yang tidak tempatkan tenaga pengajar tetap di kampung tersebut.
“Dinas pendidikan juga terlantarkan anak-anak kami di kampung Arguni. Kami kecewa. Kami minta agar ada guru tetap yang ditempatkan di sini,” tegasnya.
Furu berharap, para guru yang ditepatkan di tempat tugas harus ada upaya pengontrolan dari dinas pendidikan sehingga mengetahui perkembangan guru dan juga muridnya.
“Tong berharap, petugas-petugas seperti guru-guru tenaga kontrak ini harus dikontrol oleh kepala dinas pendidikan. Dahulu, tong sekolah di jaman Belanda itu. Dong naik ke kampung. Dong tes anak-anak bisa membaca, menulis, menghitung. Itu artinya, guru-guru benar-benar mengajar sehingga anak-anak bisa demikian pintar. Guru-guru tau mengajar. Anak-anak tau membaca,” katanya berkisah.
Marlina Wejeri, salah satu mahasiswi dari teluk Arguni yang sedang kulih di Universitas Kristen Papua (UKIP) Sorong membeberkan, tenaga guru kontrak memang tidak bertugas lama di kampung.
“Mereka lebih banyak menghabiskan banyak waktu di kota Kaimana. Guru kontrak naik mengajar di kampung tidak lama. Mengajar dua atau tiga bulan kemudian turun ke Kaimana. Padahal, fasilitas rumah untuk guru sudah dibangun, tapi tidak tau. Kenapa mereka lebih banyak waktu di kota kaimana daripada naik ke kampung untuk mengajar,” ungkap Wejeri kesal.
Ia menambahkan, bapaknya adalah guru honor dan sudah mengabdi selama tujuh tahu, namun sampai saat ini belum diperhatikan nasipnya oleh pemerintah atau pun dinas terkait.
“Bapak mengajar dengan hati dan cinta sehingga jarang turun ke kota. Barangkali, ada kebijakan khusus untuk bapak lagi,” tutur Wejeri.
Pewarta: Maria Baru
Editor: Arnold Belau