Jurnalis Asing Liput Papua dan Situs Siluman (Bagian 1)

0
2110

Oleh: Dominggus Arnold Mampioper)*

Terkuaknya virus korona ke Indonesia termasuk Papua semakin memperkecil ruang gerak pergerakan manusia. Apalagi orang asing termasuk journalist ke pulau paling timur di Indonesia, Papua Barat. Walau demikian adanya virus korona maupun tidak ada kebijakan pintu terbuka bagi para jurnalis asing dan peneliti harus menjadi salah satu prioritas guna menjaimin keterbukaan informasi.

Mengingat kembali pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama memimpin Indonesia sejak pertama kali dilantik menjadi presiden. Hal ini dibuktikan saat berkunjung ke Papua saat panen raya di Kampung Wapeko Kecamatan Hurik Kabupaten Merauke, Papua, Minggu 10 Mei 2015. Selama menjadi Presiden. Jokowi sudah 12 kali berkunjung ke Papua hanya untuk meresmikan pembangunan infrastruktur di Papua.

“Mulai hari ini wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua sama seperti di wilayah lainnya di Indonesia,” kata Jokowi kala itu.

Pernyataan ini banyak mendapat tanggapan  positif, seorang koresponden Aljazeera, Step Vaesen yang telah melakukan wawancara Presiden Jokowi. Mulai besok semua wartawan asing akan bebas pergi ke Papua, Presiden Jokowi baru saja memberitahuku dalam wawancara eksklusif,” tulis Step, Sabtu, 9 Mei 2015 dalam akun Twitter miliknya @stepvaessen.

ads

Baca Juga: Resensi: OPM, Jurnalis Asing dan Perjuangan Papua

Pernyataan itu dinyatakan pula oleh Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto sebagaimana dilansir tempo.co membenarkan bahwa Presiden Joko Widodo telah memberikan pernyataan pers terkait dengan dicabutnya larangan jurnalis asing meliput di Papua. Kata  Andi, Presiden menyampaikannya di lokasi panen raya, Kampung Wameko, Hurik, Merauke, hari ini, Minggu, 10 Mei 2015.

“Mulai hari ini, wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua sama seperti wilayah lain di Indonesia,” ujar Jokowi, seperti yang ditirukan Andi, Ahad, 10 Mei 2015.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Menurut Andi, pewarta asing tak perlu meminta izin khusus dari Kementerian Luar Negeri untuk meliput di Papua Pasalnya selama sepuluh tahun, para jurnalis mancanegara harus mengisi formulir izin meliput yang harus melalui berbagai lembaga pemerintahan. Walaupun tak banyak yang mendapat restu alias dikabulkan.

Mantan Ketua Advokasi AJI Indonesia Iman D Nugroho mengatakan, AJI Indonesia tidak menyoalkan adanya perizinan yang harus dimiliki oleh wartawan asing yang meliput di Indonesia. “Tetapi jangan sampai Papua menjadi daerah yang tertutup,” kata Supervising Assignment Editor CNN Indonesia TV, Imam D Nugroho dikutip dari CNN Indonesia.com

Imam Nugroho mengatakan pembatasan peliputan terutama oleh jurnalis asing di wilayah Papua dan Papua Barat ini sebenarnya sudah berlangsung sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Baca Juga: Jokowi Belum  Mampu Realisasikan Janji Keterbukaan Akses  Jurnalis Asing ke Papua

Sekadar catatan sejarah Papua integrase ke Indonesia, dari pemerintahan Belanda ke United Nations Temporary Executive Authority badan perwakilan PBB, disingkat UNTEA pada 1962-1963. Selanjutnya UNTEA menyerahkan Papua Barat ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Selama 1963-1969 pemerintah Indonesia harus menyiapkan pelaksanaan referendum atau dalam bahasa Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pemerintah Indonesia bermusyawarah menunjuk sebanyak 1025 untuk mewakili sekitar 900.000 penduduk Irian Barat untuk “memilih bergabung dengan Indonesia atau lepas dari Indonesia.”

Belakangan generasi muda Papua Barat termasuk Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menggugat kembali hasil referendum 1969. Referendum gaya musyawarah dinilai tidak demokratis dan banyak mendapat tekanan militer dalam penentuan wakil angota Pepera 1969. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Prof Dr Pieter Drooglever, sejarahwan Belanda yang menerbitkan buku berjudul An Act of Free Choice pada 2005.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Buku ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Kanisius Yogyakarta, pada 2010 dengan judul Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Mendiang Dr Muridan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan juga Koordinator Jaringan Damai Papua menyebutkan isi buku karya Drooglever kesimpulan umum buku ini Pepera 1969 di Papua Barat diwarnai kecurangan dan kekerasan militer.

Bahkan sejumlah kalangan menilai buku ini merupakan sejarah yang menginvestigasi proses Pepera pada 1969. Buku ini banyak mengungkap kecurangan proses Pepera, yang selama ini tidak dapat ditemukan pada narasi sejarah formal Indonesia. Peneliti asal Belanda ini sempat dicekal masuk ke Indonesia hingga akhirnya meninggal pada 15 November 2017 lalu.

Tak hanya itu kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia pada 1967 dilakukan sebelum pelaksanaan Pepera 1969. Padahal penyerahan UNTEA kepada Indonesia untuk mempersiapkan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Faktanya kontrak karya Freeport ditandatangani tanpa melibatkan orang Papua di atas tanah konflik antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Sebaliknya pemerintah Indonesia menegaskan masalah Pepera 1969 sudah selesai dan Papua Barat menjadi bagian dari NKRI.

Jadi peliputan jurnalis asing ke Papua selama ini menurut Imam D Nugroho harus melalui lembaga clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, sampai Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Mekanisme ini menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis yang ingin melaporkan soal Papua secara bebas. Mekanisme clearing house ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

AJI berpendapat, langkah pertama pembukaan akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing adalah dengan membubarkan lembaga clearing house ini. Jurnalis asing sudah sewajarnya bebas meliput di Papua, seperti mereka meliput wilayah lain di Indonesia.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Di tingkat lokal, implementasi kebebasan pers ini adalah jangan ada lagi jurnalis asing yang mendapat intimidasi aparat keamanan seperti dimata-matai, diikuti, teror yang menghambat kegiatan jurnalistik.

Hal senada juga dikatakan Ketua AJI Kota Jayapura Lucky Ireuw kehadiran jurnalis asing di Papua sangat penting sekali karena bisa memberitakan daerah lebih seimbang ketimbang media nasional. Tentu saja media nasional mempunyai pertimbangan tersendiri  ketika memberitakan sesuatu masalah tentang Papua dan Papua Barat.

“Perspektifnya sangat Jakarta sehingga persoalan di Papua menjadi tidak terbuka dan transparan karena alasan kepentingan nasional dan juga disebut sebagai isu sensitive, ada juga kepentingan politik dan lain sebagainya,” kata Ireuw menjawab pertanyaan Jubi.

Inilah yang membuat pemberitaan soal Papua itu timbul tenggelam (kadang diliput dan kadang tidak ada sama sekali ), dan ini jelas berdampak pada penyelesaian persoalan di Papua.

“Dan dengan sendirinya tidak bisa menjawab berbagai persoalan di Papua secara menyeluruh,” katanya.

Ketua AJI Kota Jayapura, Papua itu mengingatkan agar pemerintah seharusya tidak terlalu mengkhawatirkan adanya pemberitaan jurnalis asing selama memiliki kapasitas untuk menyelesaikan masalah di Papua melalui artikel mereka dalam meliput Papua.

Pasalnya kata dia jika terus ditutup-tutupi, persoalan di Papua sudah pastitidak akan terselesaikan, dan masyarakat di Papua yang akan terus menjadi korban ketidak adilan.

“Diskriminasi akan terulang terus serta demokrasi akan  terpasung dan ini akan terjadi berlarut-larut,” katanya.

Bersambung…. (Bagian kedua dari tulisan ini adalah Clearing House dan Visa)

)* Penulis adalah Penulis, reporter dan editor senior di Jubi.co.id 

Artikel sebelumnyaSumule: Papua Sudah Pesan Lima Ribu Rapid Test Covid19
Artikel berikutnyaCorona Mengajak (Orang) Papua Berkebun