Suatu Perenungan di Musim Pandemik

0
1576

Oleh: Sellina Aurora)*

Ibadah di Rumah hari-hari ini menjadi obrolan problematis di antara umat beragama. Beberapa kelompok kukuh mempertahankan ruang sakral ibadah di rumah ibadah, seperti gereja misalnya, tentu dengan mengikuti petunjuk dan prosedur yang dianjurkan pemerintah; Beberapa yang lain memilih untuk mengikuti ibadah secara streaming atau bahkan mengatur ibadah itu sendiri, menyesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing keluarga dan individu dalam menuntaskan tanggung-jawab imannya di hari minggu yang kudus itu.

Keputusan teologis ini memang menjadi sungguh dilematis, terutama karena pandemik semacam ini menjadi suatu momentum yang baru, yang mengguncang sendi-sendi kehidupan seluruh umat di dunia, termasuk sendi spiritualitas. Sedihnya, dalam kenyataan yang demikian orang masih saja membeturkan ini dan itu, ketimbang membangun suatu sikap solider, ketersinambungan, dan tenggang rasa melihat wabah Covid 19 sebagai suatu sakit kita bersama. Manakah yang lebih bijak, membangun emosi Iman Versus Corona, atau membangun sikap-sikap imanis memutus mata rantai penyebarannya.

Tinggal di rumah, belajar di rumah, bekerja dari rumah, pun beribadah di rumah, sesungguhnya membawa saya pada suatu perenungan yang lain tentang Solidaritas spiritual. Solidaritas spiritual bersama dengan semua orang yang ketika tertentu telah terisolasi, terasing, dan tersendirikan oleh sebab musabab bencana, juga bersama mereka yang ketika tertentu telah terumahkan oleh batas-batas normalitas. Misalnya, keterbatasan (disability) untuk melangkah ke gereja telah membuat rumah untuk sekian  lamanya jadi gereja bagi para difabel, juga kerugian (disadvantage) akibat konflik militer berkepanjangan bahkan telah membuat 610 anak sekolah tidak ke sekolah di Nduga. Mereka bukan lagi harus terpaksa belajar di rumah melainkan harus belajar di antara ketakutan dan kesedihan sebagai pengungsi di atas tanah kampung halamannya sendiri.

Berkaca kepada keterisolasian seperti itu membuat spiritualitas kita seharusnya menjadi semakin reflektif. Keringkihan menghadapi realitas bencana kemanusiaan ini membawa pulang semua umat untuk menatap penderitaan sebagai sesuatu yang lekat, tidak terlepas dari kehidupan. Di titik kita tidak dapat melangkah ke gereja kita bersolider dengan keringkihan para sahabat difabel. Di titik kita tidak dapat bekerja, belajar, berkebun, berjualan, mengaktualisasi kemampuan diri (ability), kita bersolider dengan keringkihan para saudara di Nduga selama beberapa tahun belakangan ini. Begini rasanya terisolasi, tersendirikan dari aksesibilitas sosial. Begini rasanya merindukan normalitas yang kondusif seperti orang Yahudi merindukan Sion dari Babel dan bernyanyi dalam Mazmur 137:1 “Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.”

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Menariknya, Situasi ringkih, rentan, dan tak berdaya ini dalam teologi terkait dengan suatu istilah dalam bahasa Yunani, Kenosis. Dany Purnama dalam tulisannya Spiritualitas Pengosongan Diri, Sunyata Budhis dan Kenosis Kristiani menjelaskan bahwa Istilah ini merujuk pada makna kosong, hampa, sia-sia, tidak punya apa-apa. Kata ini melekat dengan kisah tentang Yesus Kristus yang berkarya di tengah umat manusia, terutama ketika Paulus dalam Filipi 2:6-11 mengutip sebuah madah atau himne liturgis gereja Purba yang memunculkan kata Kenosis ini sebagai suatu situasi yang dialami oleh Yesus, – mengosongkan diri dengan tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah. Seorang teolog Asia, Teresa Kuo-Yu Tsui,  mengatakan bahwa Kenosis yang dilakukan Yesus adalah menggantikan keberadaan dalam rupa yang setara dengan Allah dengan rupa seorang budak. Teologi Kenosis yang beginilah yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh kemanusiaan seperti Toyohiko Kagawa, Teresa dari Kalkuta, atau bahkan Che Guevara yang imanis dan humanis untuk juga berjalan dalam jalan solidaritas terhadap penderitaan itu.

Toyokiho Kagawa, seorang teolog dan sosialis asal Jepang, sejak menjadi mahasiswa di Sekolah teologi Kobe memutuskan untuk hidup dalam solidaritas dengan kemiskinan dan penderitaan di Shinkawa, pindah dari asrama untuk hidup di gubuk yang terbuka bagi para penderita penyakit kudis, peminum arak yang kecanduan, seorang bekas napi, wanita tua bekas pelacur dengan penyakit menahun. Kagawa memberi tempat bagi mereka, memberi ranjang, bantal, dan selimutnya bagi mereka, bahkan ia kerap kali tertular penyakit. Tiap hari ia berkhotbah di perkampungan kumuh itu, setiap waktu ia juga memberi pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak di sana. Uang sakunya dari sekolah teologi digunakan untuk menghidupi orang-orang ini. Ia bahkan mencampur semangkuk nasinya dengan air sepanci untuk menjadikannya lima mangkuk bubur yang bisa dibagi dan dinikmati dengan orang lain. Kagawa menjadi tokoh pendiri serikat buruh di Jepang dan sepanjang hidup mengadikan pelayanan bagi kemanusian.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Begitupun yang dilakukan Agnes Gonxa Bejaxhiu, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Teresa dari Kalkuta. Sejak berusia 18 tahun dan menjadi anggota biara di Loreto dan bertugas di India, Teresa ditugaskan untuk menjadi guru di SMA untuk gadis-gadis Benggali di Entally, timur Kalkuta. Susteran tempat tinggalnya ibarat oasis yang segar dan nyaman di tengah-tengah kumuh dan seramnya kota Kalkuta. Namun, dalam suatu pengalaman perjumpaan dengan penderitaan dan keterpinggiran di sepanjang lorong-lorong Kalkuta yang gelap, pada tanggal 16 Agustus 1948, Ia putuskan untuk meninggalkan biara Loreto yang nyaman dan tinggal dalam solidaritas di tengah kegelapan jalan-jalan di kota Kalkuta. Itu ia lakukan untuk memenuhi panggilan untuk menyerahkan diri dan melayani orang-orang yang paling miskin dan melarat di jalan-jalan di Kalkuta. Di sanalah ia kemudian memulai kongregasi baru bernama Misionaris Cinta Kasih.

Baik Kagawa, juga Teresa atau pun, Che Guevara, seorang dokter, dan revolusioner, pemimpin gerilyawan asal Argentina yang juga menjadi aktor penting dalam pergolakan revolusi Kuba, ketiganya sungguh mempraktekkan apa yang dikatakan Guevara: “Saya Belum menjadi Kristen kalau saya belum berjuang untuk membebaskan orang lain dari ketidakadilan.” Bersolider dengan penderitaan orang lain, mengosongkan diri, meninggalkan jalan-jalan kenyamanan untuk turut menanggung penderitaan orang lain merupakan pilihan-pilihan hidup yang tidak lazim. Namun jalan itulah yang ditempuh oleh Yesus Kristus, sebagaimana dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 1:18 “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.”

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Dengan demikian, keringkihan dunia terhadap pandemik virus Corona yang pelan-pelan memaksa kita terisolasi di dalam bilik-bilik rumah seharusnya dapat menjadi ruang-ruang kontemplatif bagi setiap orang untuk menemukan kembali spiritualitasnya yang hilang dalam rutinitas yang kondusif, suatu perenungan bersama dalam solidaritas dengan saudara-saudara yang sekian lama telah lebih dulu terisolasi dan terumahkan.

Solidaritas dengan penderitaan, bahwa Tuhan yang kita jumpai di dalam rumah-rumah ibadah adalah Tuhan yang sama yang meringkuk bersama dengan para pasien, Ia juga Tuhan yang sama yang menopang tenaga para dokter dan perawat, serta relawan, Ia juga, Tuhan yang berjumpa dengan para saudara difabel dalam doa-doa sederhana mereka di dalam rumah selama ini, Ia juga, tentu, Allah bagi para peratap ketidakadilan di hutan-hutan dan pesisir negri ini. Tuhan yang demikian tidak terbelah dalam ruang dan waktu. Ia menembus ruang dan waktu melalui kesaksian kitab suci dan iman setiap individu.

)* Penulis adalah alumna STT GKI I. S. Kijne Abepura

Referensi:

https://tirto.id/nestapa-nduga-selama-2019-37000-orang-mengungsi-241-orang-tewas-epPx diunduh 29 Maret 2020 Pukul 22.18

Purnama Danny, Spiritualitas Pengosongan Diri, Sunyata Budhis dan kenosis Kristiani dalam Dari Disabilitas ke Penebusan, Potret Pemikiran Teolog-teolog Muda Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

Artikel sebelumnyaPolres Yahukimo Periksa Bapok di Sejumlah Toko
Artikel berikutnyaSejumlah Agenda Pemerintah Indonesia yang Jadi PR di Papua