Catatan Kelam: Di Hutan Kami Lapar, di Kampung Kami Diperkosa (8)

0
3441

“Mereka ada tujuh orang dan tarik kami dan kasih tidur kami di tanah. Anak saya menangis, tapi mereka tutup mulutnya. Saya bilang, Biar saya diperkosa, tapi anak saya jangan.” Tapi tentara satu bilang, “Mama diam!”.

Terdapat korelasi yang erat antara praktik penyiksaan dan siklus kekerasan di Papua. Penerapan kebijakan politik keamanan yang dilakukan melalui pendekatan Daerah Operasi Militer di Papua sejak tahun 1978 hingga tahun kini membuahkan persoalan panjang yang belum dituntaskan Pemerintah Indonesia dan masih akan berlanjut.

Pemberian otonomi khusus dan pendekatan percepatan ekonomi pembangunan di Papua juga belum memulihkan rasa berkeadilan dan bermartabat  kepada seluruh warga dan komunitas Papua. Terutama kekerasan terhadap perempuan.

Baca Juga: Catatan Kelam: Tentara Perkosa Perempuan Buta di Manokwari (1)

Pada masa pelaksanaan Otsus pun tetap ditememukan kasus-kasus kekerasan seksual oleh aparat keamanan terhadap perempuan dan anak-anak. Impunitas terhadap kejahatan masa lalu membuahkan impunitas yang berkelanjutan hingga saat ini.

ads

 Operasi Militer di Puncak Jaya, Pada tahun 2004-2005

Pada bulan Oktober 2004, satu kelompok OPM membunuh lima orang Kopassus yang sedang jalan dari Wamena menuju Kota Mulia. Kendaraan Kopassus dibakar dan senjata dirampas.

Dalam rangka mencari kelompok OPM yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, suatu operasi militer menyasar masyarakat di beberapa wilayah di Kabupaten Puncak Jaya karena dianggap masuk wilayah OPM.

Operasi penyisiran yang menyasar komandan OPM Goliath Tabuni tidak hanya berakibat pada kekerasan terhadap perempuan. Korban perempuan yang diwawancarai oleh Tim Dokumentasi juga menceritakan dampak operasi terhadap keluarga mereka.

Rumah rumah dibakar, ternak ditembak dan dirampas, dan kebun dirusak sehingga ratusan masyarakat mengungsi ke hutan. Ada anggota keluarga yang menderita sakit dalam pelarian, ada yang meninggal karena kelaparan maupun tertembak peluru, dan anak-anak mereka tidak dapat meneruskan pendidikan.

Cap ”separatis” yang dibebankan pada mereka mengakibatkan anak-anak mereka, biar pun sudah sarjana, tidak mendapatkan lowongan untuk menjadi pegawai negeri.

Baca Juga: Catatan Kelam: Kekerasan Seksual dan Operasi Militer di Biak (2)

Para Kaum perempuan sungguh berjuang untuk hidup ketika mengungsi ke hutan saat penyisiran mulai pada tahun 2004. Sementara para suami harus melarikan diri karena dituduh OPM.

Hasil Laporan bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM Perempuan Papua, 2009-2010, berjudul Stop Suda! Mengungkap, kesaksian beberapa perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada saat operasi militer di Puncak Jaya. Mereka dijadikan obyek sasaran, sebab diduga mereka mempunyai hubungan dengan anggota TPM/ OPM atau mempunyai informasi mengenai mereka.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Karena Lapar, Seorang Ibu Kembali ke kebun, dia diperkosa tiga Tentara 

Setelah kampungnya diserang, seorang ibu bersama anak-anaknya dan masyarakat lain lari bersembunyi. Karena tidak ada makanan, dia terpaksa kembali ke kebun dekat kampungnya untuk menggali ubi. Ternyata di kebunnya tidak aman, tentara sudah menjaganya.

Dua orang tentara datang sama saya, kemudian saya disandarkan di batu dan diperkosa. Setelah itu, mereka bilang, “Ko punya suami OPM, to? Kasih tahu supaya dia datang ke sini.” Ubi yang sudah saya gali mereka ambil jadi pulang kosong. Pada saat  saya pulang, tentara satu lagi dating dan tarik saya dekat got (parit) kecil lalu perkosa saya.

Baca juga: Catatan Kelam: Polisi Tahan Perempuan dan Lakukan Kekerasan Seksual di Wamena (3)

Saya tidak kasih tahu sama siapa-siapa karena takut. Setelah itu, saya tidak pernah ke kebun lagi. Kami tinggal lapar, tapi tidak bisa cari makan karena takut.

Sesudah  satu bulan, anak saya yang berumur satu tahun mulai sakit-sakit sampai kurus dan meninggal. Kami kubur di bawah pohon buah merah.

Seorang Perempuan Diperkosa Secara Ganti-gantian 5 Orang Tentara 

Pengalaman serupa diceritakan oleh seorang perempuan, berumur 29 tahun, dari suku Lani.

Tentara turun dengan helikopter, kami lari semua. Saya datang ke kampung karena kami sudah lapar dan terpaksa datang ke kebun untuk gali ubi. Saya kaget karena ada tentara di dalam honai yang berlum dibakar,  saya lihat ujung (moncong) senjata  yang  mereka kasih keluar. 

Karena kaget, saya, langsung balik untuk pulang, tapi mereka kejar dan langsung tutup mulut saya. Yang satu lagi datang tarik tangan saya masuk dan dalam honai. 

Baca juga: Catatan Kelam: Pengamanan Tambang dan Kekerasan Seksual di Timika (4)

Mereka semua ada lima orang dan mereka raba-raba susu saya. Yang lain lagi pegang kemaluan saya dan mereka bilang, ”Di kampung ada OPM-kah?” Tapi saya bilang tidak ada, baru diam saja. 

Mereka langsung buka baju, BH, dan rok, suruh saya tidur lalu mereka memperkosa saya ganti-gantian. Setelah itu, saya disuru pulang. Setelah mengungsi di hutan ,kami hidup dari daun-daunan.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Seorang Ibu dan Anaknya Diperkosa Secara Bergilir Oleh Tentara

Seorang perempuan lain juga terpaksa kembali ke kebunnya di kampung. Pada bulan Maret 2005, ia pergi bersama anak perempuan, tetapi mereka sergap oleh TNI yang bersembunyi di pinggir jalan.

Mereka ada tujuh orang dan tarik kami dan kasih tidur kami di tanah. Anak saya menangis, tapi mereka tutup mulutnya. Saya bilang, ”Biar saya diperkosa, tapi anak saya jangan.”Tapi tentara satu bilang, ”Mama diam!”. 

Anak saya pendarahan hebat. Saya diperkosa empat tentara, anak saya diperkosa oleh tiga orang yang lain. Anak saya dan saya menangis. Anak perempuan sekarang sudah besar dan tidak kawin.

Baca juga: Catatan Kelam: Operasi Militer Disertai Penyiksaan dan Kekerasan Seksual di Jayapura (5)

Kalau di jalan dia lihat tentara atau polisi, langsung dia takut dan menangis dan sembunyi. Dia  marah sama kami atau orang yang jalan sama-sama. Yah, kami tidak bisa buat apa-apa.

Anak-Anak dan Orang Tua Meninggal Karena Lapar, Dingin  dan Tertembak dalam Pengungsian di Hutan.

Satu mama menuturkan, bahwa mama-mama tua dari kampungnya, bersama ibu-ibu yang membawa anak-anak, berlari ke hutan.

Setelah sebulan di hutan, anak-anak mulai sakit, kebanyakan muntah berak (muntaber). Ibu-ibu mencari daun-daun yang bisa dimakan, yang dimasak dengan cara dipendam di bawah bara api.

Susahnya, nyala api harus dijaga sebab kalau terlalu besar, asapnya bisa menunjukkan tempat persembunyian mereka kepada tentara.

Pada saat itu, saya punya adik perempuan hamil delapan bulan. Belum waktu, anak itu lahir di hutan, tapi beberapa hari meninggal karena dingin dan air susu saya kering. 

Anak umur 13 tahun meninggal kemudian, orang tua juga meninggal. Mayat-mayat mereka kami kubur di hutan. Kami berpikir untuk buat pondok darurat sebab kalau tidak, anak-anak dan ibu-ibu bisa mati di hutan. 

Kami buat tiga kelompok untuk cari kayu, tali, dan alang-alang. Setelah buat pondok, mama saya juga meninggal. 

Baca juga: Catatan Kelam: Perempuan Amungme di Wilayah Freeport Hidup dalam Kekerasan (6)

Anak-anak sementara bermain di atas gunung, helikopter datang, langsung tembak, anak saya  kena Peluru tembus kepala dan mati tempat. Sepuluh orang meninggal pada saat mengungsi di hutan.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Pada tahun 2004, saya mengungsike hutan. Lima teman saya meninggal karena kelaparan pada Tahun 2009. Ada 20 orang yang meninggal karena sakit setelah pulang dari hutan. Anak-anak kami tidak sekolah karena guru dan sekolah tidak ada. Ibu-ibu kalau ingin ke kebun harus minta ijin pada Tentara.

Pemusnahan Harta Benda, Stikmasisasi dan Pembatasan Akses Terhadap Pendidikan dan Kesehatan

TNI menembak babi, anjing, membakar rumah, dan menodong kami dengan senjata sehingga kami bawa keluarga ke hutan. OPM datang membakar sekolah [yang dijadikan pos oleh TNI]. Anak-anak kami tidak bisa sekolah dari 2004 sampai sekarang. Kami sering sakit hati karena TNI datang, langsung bilang kami separatis waktu rumah kami dibakar, jadi kami dendam.”

Pada April 2004, tentara dan Brimob tembak sembarang di kampung kami. Saya langsung tarik anak saya berusia sembilan tahun dan lari dekat batu-batu tetapi, anak saya tertembak.

Saudara-saudara lain, bawa kami lari ke hutan dan kami semua duduk dan menangis. Anak saya meninggal dan kami kubur di hutan. Tinggal tiga hari di hutan kemudian, Karen tidak mampu bertahan di hutan, pada hari keempat kami mengungsi ke Kota Mulia.

Baca juga: Catatan Kelam: Kekerasan Seksual Berulang Kali di Perbatasan (7)

Ibu, dua adik, dan satu anak dari perempuan meninggal di hutan. Saudaranya juga meninggal, karena waktu penyisiran dipukul di bagian dada dengan popor senjata oleh tentara dan  dia muntah darah.

Keluarga mau kuburkannya di kota, tetapi orang tolak mereka: “Siapa suruh buat masalah?” sehingga mereka lari ke hutan. Selama di sana mereka bertahan hidup dari daun-daun.

Kami tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Anak-anak tidak pernah sekolah lagi. Kalau lihat polisi dan tentara datang, anak-anak lari bersembuyi. Ada anak-anak dari kampung sini sudah sarjana, tapi pemerintah bilang kalau jadi pegawai, nanti kasih uang kepada OPM, jadi tidak bisa jadi pegawai. 

Perempuan-perempuan muda hendak berjualan ke pasar, tentara perkosa di pos, tapi kami tidak bisa lapor karena nanti mereka dating dan bakar kampung kami.

Sumber: Laporan Komnas Perempuan  berjudul Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan & pelanggaran ham perempuan papua, 2009-2010

Artikel sebelumnyaEnam Tapol Papua di Jakarta Dituntut 1 Tahun 5 Bulan
Artikel berikutnyaMahasiswa Minta Pemkab Tambrauw Tutup Semua Akses Transportasi