Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (bagian 2/4)

0
1485

Oleh: Mecky Mulait, Pr)*

 Menciptakan Moment: Membuka Jalan Perdamaian

Dalam dunia politik orang sering mengatakan tidak ada makan siang gratis. Dalam acara apapun, selalu ada biayanya. Terkait masalah Papua, menciptakan momentum itu penting dalam sebuah perjuangan politik. Sesuatu tidak akan datang sendiri atau juga kita tidak bisa dapat makan kalau tidak berusaha atau bekerja.

Bagian pertama baca di sini: Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (Bagian 1/4)

Penulis setuju bahwa perjuangan yang dilakukan oleh JDP dalam sejumlah hal merugikan perjuangan orang Papua seperti yang dikritisi oleh Peyon terutama bagi organ-organ perjuangan di mana pada tahun 2014 sudah bersatu dalam satu wadah koordinatif yakni United Liberation Movement for West  Papua (ULMWP) di Saralana-Vanuatu.

ads

Sudah menjadi cerita umum bahwa isu dialog sering dipakai oleh negara-negara yang berkepentingan dengan Indonesia. Misalnya pernyataan dari mantan menteri luar negeri Amerika, Hilary Clinton ketika melakukan kunjungan kerja ke Indonesia tahun 2012, menegaskan bahwa pemerintah Amerika mengecam setiap kekerasan yang berlangsung di Papua dan mendukung menyelesaikan masalah Papua melalui dialog (News. detik.com). Atau juga seperti yang ditegaskan oleh duta besar Inggris, Moazzam Malik pada 2017 bahwa pemerintah Inggris mendukung dialog Jakarta-Papua dalam menyelesaikan masalah Papua (satuharapan.com).

Dukungan-dukungan itu dijadikan bahan kampanye bagi pemerintah Indonesia untuk mengklaim bahw masalah Papua adalah masalah internal terutama ketika berhadap dengan sejumlah lembaga resmi PBB terkait persoalan HAM maupun kepada negara-negara yang membangun simpatik pada persoalan Papua. Indonesia juga sedang mengklaim bahwa kami sedang berupaya menyelesaikan masalah Papua melalui dialog.

Hal seperti ini bagi para pejuang Papua sangat merugikan bahkan memperhambat langkah diplomasi yang mereka bangun. Karena dengan isu dialog, masalah Papua yang hendak berkembang ke luar-malah dengan usulan dialog masalah kembali ditarik ke dalam negeri.

Tetapi satu hal yang pasti bahwa JDP telah berhasil mempersiapkan jalan diplomatis dalam menyelesaikan masalah Papua tanpa mngahancurkan perjuangan. Konferensi yang diselenggarakan JDP pada 2011 di Audiutorium Uncen di mana akhir dari konferensi itu menunjuk 5 juru runding dialog Papua-Jakarta yang dimediasi pihak ketika. Dan ke-5 juru runding itu kemudian kini bersatu dalam ULMWP yang dibentuk pada 2014 sebagai wadah persatuan Papua.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa orang Papua doyan menyelesaikan masalah Papua melalui kerangkah dialog nasional? Melalui sejumlah pengalaman baik dalam negeri sendiri ataupun pengalaman dari negara lain, orang Papua berkesimpulan bahwa menyelesaikan masalah Papua dalam kerangkah nasional tidak akan mendapatkan suatu keadilan seperti yang diharapkan.

Hal ini dilihat dari pengalaman dialog nasional antara GAM dan pemerintah Indonesia atau kelompok perlawanan di Filipina dengan pemerintah Filipina atau kelompok perlawanan di negara lain yang selalu tidak konsisten berdasarkan kesepakatannya. Yang cenderung mendapatkan keuntungan adalah pihak pemerintah yang berkuasa seperti Indonesia terhadap Aceh. Apalagi orang Papua belajar dari sejarah selama 54 tahun hidup di bawah sistem NKRI sudah pada kesimpulan bahwa tidak ada jaminan hidup dalam Negara Kesatuan RI. Yang ada dan dialami hanyalah pengikaran, penyiksaan, pembunuhan, keterpurukan dalam berbagai lini kehidupan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial-politik dan bahkan budaya yang kesemuanya mengarah kepada tenggelamnya rumpun Melanesia di Papua Barat. Kecemasan dan fakta tenggelamnya ras Melanesia di Papua Barat diulas secara mendalam oleh almarhum Sendius Wonda dalam bukunya; “Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat”.

Dialog Sektoral Peluang atau Hambatan

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kalau jalan menuju Surga itu hanya satu yakni melalui kematian, maka lain dengan jalan menuju ke New York, PBB. Orang Papua bisa memilih beragam rute untuk menuju ke tempat tujuan akhir yang sama yakni PBB. Namun untuk sampai di sana kita tidak mungkin langsung ada di sana. Kita mesti melewati sejumlah rute untuk sampai di sana. Pilihan rute memang seringkali ditentukan oleh pribadi orang. Ada orang yang ingin cepat sehingga memilih rute yang cepat (pintas) meskipun itu banyak resiko tetapi ada yang ingin melewatinya secara perlahan dan aman tetapi tetap pada sampai tujuan akhir.

Ketika muncul usulan dialog sektoral pada 14 Agustus 2017 lalu, hampir sebagian besar orang Papua menolaknya. Penolakan lebih keras dari organ-organ perjuangan pembebasan Papua. ULMWP meskipun secara organisasi persatuan perjuangan belum menyatakan penolakan dialog sektoral yang dimaksud pemerintah pusat, namun secara pribadi beberapa anggota ULMWP menyatakan sikap menolak seperti Buktar Tabuni ketua PNWP dan dewan komite ULMWP, almarhum Andy Ayamiseba dewan komite dari faksi WPNCL.

Viktor Yeimo mantan katua KNPB yang juga anggota tim kerja ULMWP di dalam negeri menegaskan bahwa ULMWP tidak berjuang untuk dialog dengan pemerintah Indonesia tetapi mendorong hak penentuan nasib sendiri (Cara Menyikapi Dialog Sektoral). Bahkan dengan nada sinis di media sosial, orang Papua baik rakyat sipil maupun aktivis menanggapinya bahwa dialog Jakrta-Papua sudah ketinggalan perahu. Masalah Papua sudah menyebrang di Pasifik bahkan sudah terbang jauh ke PBB.

Baca juga: Dialog Sektoral untuk Papua: Epen kah?

Munculnya pidato resmi oleh beberapa kepala negara dari kepulauan Pasifik yakni tahun 2014 dan 2015 oleh perdana menteri Vanuatu Joe Natuman dan Moana C. Kalosil bahkan lebih maju lagi  tahun 2016 oleh 7 negara yakni (Vanuatu, Solomon Iland, Tonga, Tuvalu, Nauru, dan Kepulauan Marshal). Sementara tahun 2017 oleh 4 negara (Vanuatu, Solomon Iland, Tonga dan Tuvalu).

Pengangkatan masalah Papua bukan saja persoalan pelanggaran HAM, namun menjurus pada penentuan nasib sendiri (dukungan politik) mengindikasikan bahwa persoalan Papua bukan saja pembicaraan dari pihak LSM atau organisasi kemanusian, namun secara resmi oleh negara di panggung yang terhormat di PBB.

Jadi bagi orang Papua bukan soal diangkat oleh negara besar atau kecil, namun sudah menjadi isu diantara negara-negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama di tingkat PBB. Maka logislah kalau isu dialog sektoral yang diangkat sudah dianggap ketinggalan perahu atau dalam bahasa nasionalnya merupakan sebuah upaya untuk menarik masalah Papua ke dalam negri lagi.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Baca juga: Dialog Sektoral Vs Referendum

Itulah sebabnya Ibrahim Peyon mengkritik keras JDP berusaha menghancurkan perjuangan orang Papua karena berusaha mau menarik masalah Papua ke dalam negri. Bahkan lebih jauh dikatakan dialog mau mengulangi pepera jilid II karena cara kerja dialog persis sama dengan cara Indonesia membuat pepera tahun 1969. Di mana cara kerja dialog di ruang tertutup tetapi juga siapa mewakili siapa tidak jelas tulisnya dalam artikel yang di sebutkan di atas.

Akan tetapi pertanyaan lanjutannya: apakah orang Papua sudah menyadari kekuatan mobilisasi umum dalam negri?

Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa kekuatan masa (orang Papua) sebagai sebuah bangsa yang siap bergerak itu belum nampak. Pada awal tahun 2017 KNPB dan kelompok organ perjuangan lain mendorong petisi dalam mencari dukungan referenduum. Hasilnya 1,8 juta rakyat Papua menyatakan mendukung referenduum Papua. Itu secara hukum menurut Peyon memberikan legitimasi yang kuat bahwa gugatan orang Papua terhadap pepera 1969 hanya 1000 orang mewakili 8 juta orang itu kuat. Akan tetapi kita jangan lupa bahwa di saat yang sama dan orang yang sama, masih mendukung sistem NKRI melalui keterlibatan aktif dalam pemilihan umum kepala daerah. Ini terlihat dari antosias orang Papua dalam mengikuti kampanye politik maupun pemberian hak suara kepada calon baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Untuk provinsi Papua sudah dimenangkan oleh pasangan Lukas Enembe dan Klemen Tinal, 2018. Maka tampaknya perjalanan perjuangan orang Papua masih panjang selagi masa-rakyat belum menyadari dan menentukan sikap secara radikal.

Ini juga dipengaruhi oleh sistem NKRI yang dibangun secara rapi sampai di tingkat kampung. Banyak orang Papua dibuat dan dikondisikan untuk hidup tergantung pada sistem NKRI. Jangankan kita berharap berlebihan bahkan mengeluh dengan sikap hidup masyarakat di kampung yang sudah berubah dratis dari tatanan hidup sebelumnya (tatanan adat) yang cukup kuat sebagai landasannya. Para mahasiswa Papua yang selagi menuntut ilmu melakukan aksi protes terkait pelanggaran HAM Papua dan menuntut penentuan nasib sendiri entah apapun mekanismenya, namun setelah selesai dan pulang ke Papua atau kampung halaman justru enta dengan sadar ataupun tidak sadar masuk dalam jaringan NKRI.

Kehancuran sistem pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial-budaya bahkan infrastruktur merupakan dampak dari sistem tersebut supaya orang Papua tetap patuh kepada NKRI. Itulah sebabnya orang Papua terutama para aktivis perlu menciptakan moment untuk membangun kekuatan masa secara lebih terorganisir. Karena dalam sejumlah kesempatan para aktivis sendiri terutama kelompok KNPB yang kini mengusung ide “mogok sipil” menyadari bahwa perjuangan pembebasan bangsa Papua bukan ditentukan oleh negara luar baik di Pasifik, Afrika, Carebian ataupun di Eropa meskipun suara dan dukungan mereka tetap di butuhkan.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Aktor utama perjuangan Papua ada di dalam negri yakni orang Papua sendiri. Maka kalau tidak menciptakan momentum untuk membangun kesadaran bagi masa-rakyat dalam garis perjuangan, maka perjuangan itu akan semakin panjang dan ancaman kepunahan semakin mendekat. Oleh karena itu daripada menghabiskan energi mengkritik perjuangan orang lain sesuai persfektifmu lebih baik membuat sesuatu untuk memajukan perjuangan. Yesus Kristus sang revolusioner sejati dan pendamai mengajari kita dengan bahasa yang sederhana “meski bantuanmu kecil sangat berarti bagi yang membutuhkan”.

Baca juga: Dialog Sektoral: Adakah Manfaatnya Bagi Papua?

Dialog sektoral yang diperjuangkan oleh pastor Neles Tebay bersama dengan tim JDP merupakan satu jalan dalam menjawab kekurangan ini. Seperti ditegaskan bagian awal bahwa sebuah perjuangan itu ibarat pedang bermata dua. Dia bisa menciptakan peluang yang positif dan dampaknya besar tetapi sekaligus ada kekurangan yang bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menghancurkan tujuan yang baik tersebut. Penulis sendiri terkait isu dialog sektoral apapun baiknya mekanisme dan hasil yang dirumuskan, soal implementasi sangat meragukan.

Kalau bahasanya Ibrahaim Peyon dialog sektoral itu akan berujung pada pepera jilid II, kami melihatnya sebagai Otsus jilid II atau bisa mengarah kepada otsus plus. Dalam dialog sekoral baik dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun sosial budaya dapat menghasilkan sejumlah rekomendasi atau hasil kesepakatan, namun terkait implementasi bisa seperti nasip otsus 2001. Artinya meskipun tujuan otsus itu untuk mengejar ketertinggalan di beberapa sektor tadi, namun selagi belum ada niat murni oleh pemerintah Indonesia bangun orang Papua sulit dilaksanakan secara konsisten. Hasil dialog itu akan berhenti di tengah jalan yang hanya menguntungkan para elit dengan alasan klasik dan saling melempar tanggungjawab antara pusat dan daerah.

Akan tetapi, di lain pihak dialog sektoral bisa memberikan dampak yang positif bagi orang Papua pada beberapa aspek yang menjadi pergumulan selama ini. Melalui dialog itu sejumlah keprihatinan baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, infrastruktur bisa dibenahi. Kalau hal-hal ini dibenahi, maka juga menjadi keuntungan bagi orang Papua. Artinya ancaman dehumaniasi di Papua bukan saja dalam hal kekerasan fisik dan pembunuhan. Namun juga dalam hak-hak pada beberapa aspek yang memprihatinkan itu.

Maka, sejauh JDP mendorong untuk memperbaiki hal-hal itu cukup positif meskipun isu itu akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengklaim bahwa sedang membangun Papua dengan pendekatan dialog. Tetapi ketika keadaannya membaik di sejumlah sektor itu, maka akan membantu orang Papua dalam memperjuangkan nasipnya.

Bersambung….

)*Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Jayapura

Artikel sebelumnyaOrganisasi Papua Merdeka dan Dialog Damai
Artikel berikutnyaBaverly Mangge dan Perjuangan Membangun Pendidikan Berkualitas di Tanah Papua