ASN OAP Harus Belajar Nasionalisme Papua dari Filep Karma

0
1978

Oleh: Ningdana.O)*

Bicara tentang Nasionalisme Papua dengan mengesampingkan sejarah kelam yang dialami Masyarakat West Papua sebagai cikal bakal tumbuhnya Nasionalisme Papua tentu akan membatalkan Nasionalisme Papua yang kontradiktif terhadap Nasionalisme Indonesia. Sudah tidak asing lagi bahwa terintegrasi West Papua ke dalam Republik Indonesia merupakan proses yang Cacat Hukum dan Penuh Rekayasa.

Integrasi  West Papua ke dalam Republik Indonesia melalui proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 2 Agustus 1969 hanya diwakili oleh 1.025 yang diseleksi Militer Indonesia, sehingga secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia. PEPERA dilakukan tanpa melibatkan sekitar 800 ribu-an Warga West Papua yang mempunyai hak yang sama untuk menentukan nasib masa depannya. Pelaksanaan PEPERA tersebut sangat bertentangan dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia bahwa PEPERA dilaksanakan secara mekanisme internasional yaitu One Man One Vote (Satu Orang Satu Suara).

Jauh sebelum pelaksanaan PEPERA yang penuh manipulatif tersebut, West Papua sudah menjadi target Pemerintah Indonesia untuk mempraktikan penjajahan yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah Fasisme Jepang terhadap Indonesia sendiri sebagai bentuk reinkarnasi sejarah penjajahan. Target tersebut di realisasikan melalui Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang dikumandangkan oleh Presiden Ir. Soekarno Pada 19 Agustus 1961 di Alun-Alun Utara Yogyakarta, sebagai upaya untuk membubarkan Negara West Papua yang di deklarasikan 18 hari sebelum TRIKORA. Melalui TRIKORA itulah Pemerintah Indonseia mulai menginvansi Militer ke Teritori West Papua untuk menjadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Adapun Operasi Militer yang dilancarakan ialah: Jayawijaya (1961-1962), Wisnu Murti (1963-1965), Sadar (1965), Bharata Yudha (1966-1967), Wibawa (1967), Tumpas (1967-1970), Pamungkas (1971-1977), Koteka (1977-1978), Senyum (1979-1980), Gagak I (1983-1986), Kasuari I (1987-1988), Kasuari II (1988-1989), Raja Wali I (1989-1990), Rajawali II (1990-1995), Nduga (2018), Intan Jaya (2020)  dan Pegunungan Bintang (2020).

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Berdasarkan uraian singkat tentang sejarah kelam yang dialami masyarakat West Papua tersebut di atas, maka  penulis dengan ekstra hati-hati dan konsekuen mengatakan bahwa akar dari kompleksitas masalah yang bertebaran di West Papua ialah kekaburan sejarah yang dikedok menggunakan hegemoni dan agitasi Pemerintah Indonesia. Dari beragam masalah itulah Nasionalime Papua tumbuh dalam tiap invidu masyarakat West Papua, terutama mereka yang tahu menahu dan pernah menjadi bagian dari korban Operasi Militer yang di lancarkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Sayap Militernya.

ads

Nasionalisme West Papua tentu menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam perjuangan Papua Merdeka, karena Nasionalisme tersebut itulah yang menggambarkan keseriusan dan ketaatan masyarakat West Papua dalam memperjuangkan hak politiknya. Terlepas dari Operasi Militer, tidak banyak juga masyarakat West Papua yang mendapatkan perlakuan yang tidak beradab disaat mereka mau menggunakan hak mereka sebagai pelaku sejarah untuk menuntut pelurusan sejarah agar diberikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis untuk menyelesaikan persoalan Papua.

Nasionalisme yang penulis coba paparkan  ialah peran ASN di West Papua sebagai pelaku sejarah untuk mengikuti jejak Tuan Filep Karma yang adalah salah satu tokoh Nasonalis Papua yang pernah bekerja untuk Pemerintah Indonesia sebagai ASN.

Sudah sepatutnya ASN Papua belajar nasionalisme dari pelopor peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di atas tower air setinggi 35 meter dekat Pelabuhan Laut Biak Papua pada tertanggal 2-6 Juli 1998. Perjalanan beliau dalam perjuangan mengangkat harkat dan martabat sekaligus membela hak-hak sipil masyarakat West Papua secara damai, untuk menggapai cita-cita kemerdekaan West Papua ialah wujud nyata nasionalisme yang sesungguhnya dari para ASN yang bekerja untuk Pemerintah Indonesia.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Tuan Karma memulai perjuangannya dengan meninggalkan kemapanan sebagai ASN pada tahun 1998 dengan tujuan agar seluruh dunia mengetahui bahwa Rakyat Bangsa West Papua ingin lepas dari cengkraman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuan Karma bekerja sebagai ASN di Kota Jayapura dan mendapatkan kesempatan beasiswa untk kuliah setahun di Manila. Ketika terbang dari Manila ke Jakarta pada Mei 1998, ia melihat protes mahasiswa TRISAKTI terhadap Pemerintahan Presiden Soeharto. Pendidikan dan pengalaman tersebut, dari Kota Jayapura sampai Manila membentuk kepribadian dan pemikiran Tuan  Filep Karma. Pendidikan tersebut membuat Ia sadar akan penindasan terhadap Rakyat West Papua. Pendidikan juga mengubah cara pandangnya terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua. Berangkat dari pengalaman Beliau bahwasanya ASN yang terdidik dan terpelajar di West Papua tidak mungkin para ASN OAP tidak paham akan penindasan yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap Rakyat West Papua yang dapat menumbuhkan Nasionalisme untuk bangkit mengikuti jejak Tuan Filep Karma.

Nasionalisme West Papua bukanlah sesuatu yang bisa diplintir atau bisa dibeli bahkan bisa digadaikan. Nasonalisme West Papua ia tumbuh dengan adanya kesadaran akan semua bentuk penindasan yang selama ini diperlakukan terhadap Rakyat West Papua. Sadar ataupun tidak sebenarnya ASN juga turut ikut andil dalam proses perpanjangan  rantai  penindasan yang dilakukan secara terstruktur dan tersistematis oleh NKRI.

Oleh karena itu mestinya ada kesadaran berdasarkan realitas penindasan yang terjadi berpuluh-puluh  tahun di West Papua. Indonesia  sebagai negara yang terbentuk karena manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas, mereka juga telah dan sedang membentuk antagonis antar kelas, dimana ASN sama Masyarakat Sipil. Yang mana ASN diistimewakan oleh Negara dan Masyarakat Sipil ditindas habis-habisan, terutama kepada masyarakat yang sadar akan penindasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Supaya rantai penindasan ini tidak memanjang seiring berjalanya waktu, ASN harus sadar dan membangun Nasionalisme Ke-West-Papuaan guna memutus rantai penindasan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Untuk mewujudnyatakan nasionalisme tersebut, harus berangkat dari pengertian bahwa pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama kehidupan (Hedonisme) harus disampingkan.

Perlu digaris bawahi bahwa, untuk  bernasionalisme Ke-West-Papua-an bukan selalu orang yang kulit hitam, berambut keriting tetapi orang yang tinggal di West Papua (Lahir dan Besar), yang terusik ketenangan jiwanya karena melihat dan sadar akan semua ketidakadilan serta semua tindak-tanduk kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat West Papua lewat sayap militernya. Sebab tidak banyak juga Orang Kulit Hitam dan Berambut Keriting yang terlalu sering berbelot jadi penghianat Bangsa West Papua karena nasionalisme yang dianut sangat sempit dan ganda serta bersifat hipokrit.

Satu hal yang Penulis mau tekankan di sini bahwa, penulis tidak mengajak untuk berhenti menjadi ASN tetapi sadar  dan berjuang untuk memutus rantai penindasan yang kian memanjang di era Presiden Jokowi ini.

Contohnya dalam hal pengambilan kebijakan harus berpihak kepada masyarakat akar rumput yang berjuang untuk bebas dari Pangkuan NKRI, dimana ketika mereka dihadapkan oleh masalah yang berhubungan dengan arah juang. Penulis berbesar keyakinan bahwa ketika semua ASN di West Papua menyadari akan semua rantai kekerasan yang selama ini mengikat dan menjarah Rakyat Papua maka penindasan itu akan cepat berakhir.

Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Anggota Aplim-Apom Research Group

 

Artikel sebelumnyaTim Covid-19 Kwamki Narama Terima Bantuan
Artikel berikutnyaOposisi Fiji Akan Ajukan Banding atas Keputusan Pengadilan Tinggi