1 Mei: Hari Pemenuhan Hak Hidup dan Hak Atas Keadilan

0
1727

Oleh : Sonny Wanimbo, S.IP)* 

Hari peringatan kelahiran harusnya adalah hari yang paling membahagiakan bagi semua orang, namun cukup berbeda pemaknaannya bagi saya. Momen kelahiran sebagai momen dimana segala harapan dan mimpi dari orangtua tumpah ruah kepada anak yang baru dilahirkan, dan selalu diulang momen itu di setiap tanggal dan bulan yang sama setiap tahunnya, sebagai pengingat. Hari kelahiran menjadi momen refresh seluruh mimpi dan harapan dari sebuah kehidupan. Sehingga tidaklah heran jika hari kelahiran menjadi hari yang paling membahagiakan bagi semua orang. Begitu pun saya, saya selalu mengingat hari kelahiran saya sebagai momen pengingat akan mimpi dan harapan saya sebagai seorang manusia, dan seorang anak. 1 Mei adalah hari kelahiran saya, dunia seolah ikut merayakan perayaan peringatan kelahiran saya, semua orang turun ke jalan tetapi bukan berpesta seperti di jalanan kota Rio de Janeiro pada saat karnival Sambadrome, mereka turun ke jalan dengan semangat dan tujuan yang berbeda. Jelasnya bukan untuk merayakan hari kelahiran saya, mereka turun ke jalan menuntut keadilan ekonomi. 1 Mei pun di tanah tempat saya dilahirkan, Papua bagian Barat dari pulau Papua, pertama kali dintegrasikan ke dalam bingkai NKRI pada tahun 1963.

1 Mei 1886 lebih dari 200ribu buruh di Amerika Serikat, mulai dari kota Chicago bergerak turun ke jalan memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja. Perjuangan kelas proletar ini sebagai sebuah upaya tak terhindarkan oleh apa yang selalu diasumsikan Karl Marx dalam konsepnya menuju Komunisme, tepatnya 38 tahun sebelumnya. Buruh yang tereksploitasi akibat praktek sistem kapitalisme memberontak menuntut pemenuhan hak hidupnya dan haknya atas keadilan, melawan alienasi materialisme yang dialami akibat proses produksi dan sistem nilai lebih yang hanya menguntungkan kaum borjuis (pemilik modal/produsen/orang kaya). Buruh tidak lebih dipandang sebagai alat produksi, sama nilainya dengan tanah yang disewakan dalam proses produksi, mesin, atau uang/modal, tidak dipandang selayaknya sebagai manusia yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam sistem kerja ekonomi seperti ini, tidak heran jika hak-hak keselamatan kerja, kesejahteraan, kesehatan, jam kerja yang manusiawi, menjadi harapan bagi semua buruh. 134 tahun kemudian, tepatnya hari ini, 1 Mei 2020, nasib buruh ternyata tidak jauh berubah. Perjuangan mencari keadilan oleh kaum buruh semakin sulit, jika kita melihat ratusan negara di dunia telah menerapkan sistem kapitalisme ini.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

77 tahun sejak peristiwa di Amerika oleh kaum buruh, tepatnya 1 Mei 1963, wilayah Papua Barat secara menjadi bagian dari NKRI melalui penyerahan yang dilakukan oleh UNTEA. Perdebatan kejelasan sejarah ini tidak pernah selesai hingga saat ini. Ir. Soekarno mengatakan peristiwa 1 Mei 1963, sebagai momen kembalinya Papua menjadi bagian dari NKRI yang sudah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu apa maknanya act of free choice (aksi pilihan bebas) atau Penentuan pendapat rakyat pada 2 Agustus 1969?, tidak lebih dari hanya sekedar drama pengesahan integrasi, jika kita berkaca pada apa yang disampaikan Ir. Soekarno. Meski pada 1969 Ir. Soekarno tidak lagi memimpin. Sebagian masyarakat Papua yang menolak klaim Ir. Soekarno, menudingnya sebagai sebuah drama besar dengan aktor utamanya adalah pemerintah Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, Act of free choice hanyalah skenario dengan aktor pendukungnya adalah 1.025 orang Papua Barat.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Perjuangan menuntut hakikat act of free choice dimulai sejak saat itu, hingga saat ini, tetapi telah berubah menjadi perjuangan untuk memenuhi hak hidup dan hak atas keadilan. Ratusan orang Papua mulai menggunakan kekuatan fisik, senjata ala kadarnya, yang lain melalui gerakan intelektual, memulai gerakan sosial melalui organisasi-organisasi lokal maupun internasional, memperjuangkan apa yang dikatakan sebagai upaya mencari keadilan, perjuangan menjadi manusia sejati yang terpenuhi hak-haknya. 57 tahun sudah perjuangan mereka tiada henti. Sama seperti gerakan kaum buruh, maka 1 Mei telah berubah menjadi harinya para pencari keadilan dan pejuang hak hidup di Papua.

ads

Memang hakikatnya hidup manusia tidak lebih dari proses untuk memenuhi hak-hak hidup. Setiap waktu semua orang berlomba untuk mewujudkan apa yang menjadi haknya, entah itu hak hidup, hak berbicara, hak atas kesejahteraan, hak mendapatkan layanan sosial, hak untuk berorganisasi, hak atas kebebasan, dan segala macam hak hidup lainnya.

Namun perlombaan ini selalu akan menghasilkan pemenangnya, mereka yang unggul akan lebih leluasa mewujudkan hak-haknya, bahkan jauh lebih dari itu yaitu niat keserakahannya. Mereka yang kalah akan berjuang melawan yang unggul. Kontradiktif ini dianggap sebagai sebuah dialektika realitas hidup manusia, 1 Mei menjadi salah satu hari untuk mengingat dan penanda momen dialektika ini. Maka saya pun berusaha memaknai hari lahir saya ini sebagai momen saya untuk mengingat kembali apa yang menjadi mimpi dan harapan hidup saya untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak saya hidup.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Lahir dari keluarga yang tidak mampu, dibesarkan dalam kemiskinan, namun kaya cinta, saya paham betul apa arti perjuangan pemenuhan hak hidup itu. Di balik balutan kabut di bawah kaki gunung Kembu Gundagime, mimpi saya untuk kehidupan yang lebih baik tidak hanya bagi saya dan keluarga, tetapi bagi semua saudara setanah airku Papua, selalu terpatri dalam diri. Hingga mengenyam pendidikan tinggi di ibukota mengajarkan saya bahwa hak atas keadilan dan pemenuhan hak hidup itu bukanlah sebuah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan. Orang lain memilih perjuangannya melalui gerakan turun ke jalan, perjuangan fisik, saya memilih politik sebagai jalan saya.

Menjadi anggota DPRD adalah mimpi untuk mewujudkan mimpi hidup saya, yaitu kehidupan yang lebih baik bagi sesama saudara setanah air, yang terpenuhi seluruh hak hidupnya. Menjadi wakil rakyat bukan berarti saya bisa duduk diatas singgasana, menikmati semua kemudahan yang disediakan negara, tetapi saya diberi waktu hanya 5 tahun untuk mewujudkan apa yang saya impikan melalui jabatan ini. Tetapi perjuangan saya bukan hanya selama 5 tahun itu, perjuangan saya untuk memenuhi hak hidup dan hak atas keadilan itu akan selalu ada selama saya hidup, 1 Mei-lah alarm pengingat saya. Salam.

)* Penulis adalah Anggota DPRD Kabupaten Tolikara dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

Artikel sebelumnyaPolda Papua Panggil Pendeta Socrates untuk Klarifikasi Artikelnya  
Artikel berikutnyaPusat Diminta Izinkan RSUD PB Tangani Pasien Covid-19