ArtikelKetika Penyakit Mewabah di Merauke Tahun 1910 - 1921

Ketika Penyakit Mewabah di Merauke Tahun 1910 – 1921

Pengalaman Malind anim dalam menghadapi wabah penyakit, dan mitigasinya di Merauke

 Oleh: Wensislaus Fatubun)*

Wabah covid-19 yang sedang menimpa penduduk di kabupaten Merauke pada tahun ini menandai sebuah refleksi panjang tentang penyebaran penyakit menular pada penduduk Papua dan pilihan pendekatan pelayanan kesehatan oleh pemerintah.

Orang asli Papua, khususnya Malind anim memiliki pengalaman pada tahun 1913-1925 dengan penyakit Granuloom dan wabah flu-spayol. Pengalaman itu patut mendapat perhatian dalam merefleksikan reaksi penduduk asli dan pilihan pendekatan pemerintah yang tentunya ditempatkan bersama dengan ditemukan kasus HIV/AIDS pertama di Merauke pada tahun 1992, dan wabah covid-19 yang sedang kita hadapi ini. Tulisan ini, dimulai membahas terlebih dahulu penyebaran penyakit dan wabah, reaksi orang asli Papua dan pendekatan pemerintah Hindia Belanda terhadap penyakit Granuloom dan pandemik flu-spayol pada tahun 1913 – 1921, kemudian pada tulisan berikutnya akan membahas di era administrasi Indonesia dengan kasus penyebaran HIV/ADIS dan wabah covid-19.

1910 – 1917: Menghadapi penyakit Granuloom 

Tujuh tahun setelah pemerintah Hindia Belanda menginjakkan kaki, tepatnya pada tahun 1910, muncul penyakit ganas Granuloom yang menular di Malind milla (tanah orang Malind atau yang kini kita kenal sebagai kabupaten Merauke). Ditularkan dari seorang pria kepada perempuan, atau sebaliknya. Pastor Petrus Vertenten, MSC mengisahkan penyebaran penyakit ini begitu tinggi, dan salah satu penyebabnya adalah hubungan intim yang bebas ditambah dengan ritual adat (Keuskupan Agung Merauke. 1999, hlm 19). Penyakit ganas Granuloom yang menular itu hampir saja memusnahkan penduduk Merauke, dan menjadi bencana besar yang mengancam keberadaan Malind anim (baca: suku bangsa Malind). Banyak Malind anim meninggal, misalnya sebelas orang meninggal dalam satu hari di kampung Borem.

Awal diserang, semua orang tidak tahu penyakit apa itu. Tidak ada informasi yang cukup. Di tahun 1910, informasi sangat terbatas. Pemerintah Hindia Belanda baru dua belas tahun membuka pemerintahan di Merauke, sejak 14 februari 1902. Para misionaris Katolik dan petugas pemerintah Hindia Belanda kebingungan.

Pastor Petrus Vertenten MSC yang baru saja tiba pada 10 november 1910 itu langsung sibuk. Misionaris Katolik asal Belgia itu mencatat pengamatannya terhadap Malind anim dan penyakit ganas itu.

Ada anggota Malind anim yang berpendapat bahwa kematian warga Malind itu disebabkan oleh perbuatan dukun-dukun jahat. Ada juga yang menduga dema-dema marah dan membalas dendam karena adat dilanggar (Keuskupan Agung Merauke: 1999, 19 -20). Malind anim beranggapan Tik-Dema menjadi penyebabnya. Ada benarnya jika Malind anim mengaitkan penyakit Granuloom  dengan Tik-Dema, karena sekitar tahun 1910 – 1913, pemerintah Hindia Belanda, khususnya Residen merauke, Plate mengeluarkan sebuah kebijakan tegas untuk menghapus tradisi mengayau. Tengkorak-tengkorak manusia harus dikumpulkan di kantor Residen dan tengkorak lama dibakar. Kepala-kepala perang dimasukkan dalam penjara dan dikirim ke Ambon. Rumah-rumah adat dibakar ((Keuskupan Agung Merauke: 1999, 19).

Pada tahun 2006, ketika bekerja bersama-sama dengan alm. Yulianus Bole Gebze Dinolik, saya mengkonfirmasi catatan Pastor Petrus Vertenten MSC itu, dan alm. Yulianus Bole Gebze Dinolik menginformasikan bahwa dalam kebudayaannya, Malind anim mengenal Tik-Dema yang mempunya tugas memusnahkan manusia, termasuk hewan peliharaan atau pembantu utamanya, yaitu anjing, karena telah melanggar aturan adat.

Malind anim percaya, kedatangan Tik-Dema di sebuah kampung ditandai dengan adanya penyakit dan kematian yang menimpa penduduk di kampung, sehingga ketika berhadapan dengan penyakit Granuloom, menurut Gebze, warga Malind anim menghubungkan dengan Tik-Dema. Malind anim yakin Tik-Dema sedang membunuh mereka, karena langgar adat dalam hubungan dengan kebijakan Plate tersebut. 

Dalam mite Malind anim, ada kisah Tik-Dema. Ia dipergoki oleh beberapa orang dan menanyakan kepadanya berapa banyak orang yang akan dibunuh di kampung-kampung tujuannya, dan ia menegaskan lima orang di masing-masing kampung, namun ternyata lebih dari lima orang yang meninggal. Orang-orang yang bertemu dengan Tik-Dema itu bertemu dan bertanya kepada Tik-Dema yang dikisahkan dalam dialog berikut ini:

Orang-orang, “Menurut pengakuanmu, setiap kampung yang dikunjungi, kamu hanya membunuh lima orang saja. Kenyataannya, yang meninggal disana lebih dari lima orang. Kenapa kamu lakukan demikian?

Tik-Dema,  “Saya diperintahkan dari Kondo untuk membunuh lima orang saja dari setiap kampung. Itulah yang saya lakukan.”

Orang-orang, “Jika demikian, yang lain itu ulah siapa?”

Tik-Dema, “Yang lain itu meninggal karena ketakutan sendiri terhadap Tik (penyakit) itu sendiri.”

Tik-Dema dikenal dalam kebudayaan Malind anim sebagai dema pelaksana hukuman. Dema ini melaksanakan perintah langsung dari Alawi atau Ala-alawi (sang pencipta). Menurut Jan van Baal, konsep sentral Malind anim adalah dema (van Baal. 1966, hlm. 178). Dema adalah suatu makhluk berbentuk manusia (lih. van Baal. 1966, hlm. 181). 

Semua bergumul. Pastor Petrus Vertenten MSC dan Pastor Johanes van de Kooy MSC sibuk menangani kasus penyakit menular ini bersama dengan petugas pemerintah Hindia Belanda. Obat yang cocok tidak ada. Tidak ada tenaga dokter. Banyak orang meninggal tanpa tahu jenis penyakit apa yang sedang menyerang Malind anim.

Baca Juga:  Papua Sedang Diproses Jadi Hamba-Nya Untuk Siapkan Jalan Tuhan

Pernah ada warga yang dikuburka hidup-hidup. Ada yang sebut penyakit ini dengan sebutan “penyakit Merauke”, karena awal kasus penyakit ini di Merauke, bukan di Okaba, Muting dan Kimaam.

Pastor Johanes van de Kooy MSC merawat pasien dengan kemampuan seadanya di rumah sakit misi Merauke, tetapi tantangan utama yang dihadapi ketika keluarga pasien bawa kabur pasien di malam hari (Keuskupan Agung Merauke: 1999, 20-21). Pastor Petrus Vertenten MSC berkeliling ke kampung-kampung untuk merawat yang sakit apa adanya. Ia juga membuat lukisan sketsa tentang perkampungan Malind anim, tetua adat dan kehidupan Malind anim. Seorang koresponden dari koran Bataviaans Nieuws Blad menulis kisah pelayanan Vertenten itu. Dari Merauke, Pastor dalam pelayanannya bekerja dengan penuh cinta tanpa senjata di tanganya. Keberanianya dikaguminya. Ia bergerak ditengah-tengah penduduk yang asing baginya tanpa terpengaruh apapun. Berangkat pagi dari kampung ke kampung merawat yang sakit dan membalut luka-luka. Ia menciptakan suasana saling percaya dan saling menerima.

Rasa putus asa muncul di kalangan mereka. “Sebaiknya kita semua pulang, tak ada harapan lagi. Masa depan tak cerah di sini,” ungkap beberapa misonaris Katolik (Keuskupan Agung Merauke: 1999, 21).

Dalam kebudayaan Malind anim, khususnya aliran Imoh ada upacara untuk mengusir Tik-Dema keluar dari kampung. Upacara tersebut juga merupakan upaya Malind anim untuk menjaga hati supaya tidak takut terhadap Tik-Dema dan menjaga kelestarian dan keseimbangan kehidupan dalam alam semesta ini dimana nilai-nilai adat Malind anim mengajarkan bahwa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan seluruh isi alam semesta lainnya satu sebagai keluarga (baca juga: punya relasi intersubjectivitas). “Amay-a haer-a…oah!” (terjemahan Indonesia: Moyangku, anda serasa enak!) adalah ungkapan Malind anim ketika hendak mengkonsumsi hewan atau tumbuh-tumbuhan. Ungkapan tersebut mengungkapkan relasi Malind anim dengan maklum hidup lainnya (bdk. van Baal. 1966, hlm. 192). Warga Malind anim juga mengupayakan kesembuhan warga yang sakit itu dengan “Mbawal” atau “Mboal”. Istilah “Mbawal” atau “Mboal” itu adalah metode pengobatan asli yang diwariskan secara turun temurun dalam komunitas Malind anim.

Butuh setahun untuk memecahkan pergumulan penyakit ini. Di tahun 1914, seorang dokter bernama Sitanala dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membantu pelayanan kesehatan di Merauke, kemudian disusul dengan kedatangan dokter Van der Meer yang diutus pada tahun 1916 untuk mengadakan penyelidikan tentang jenis penyakit yang menimpa penduduk di Merauke.

Van der Meer memperkuat dugaan dari Sitanala dengan menyimpulkan bahwa sebagian besar warga Merauke telah terkena dan tertular penyakit yang sama seperti kasus penyakit Granuloom yang terdapat di Brasilia dan Hindia Barat. Kesimpulan Meer ini diperkuat dengan kesimpulan dari dokter Cnopius yang melakukan penelitian atas kasus penyakit Granuloom ini. Butuh lima tahun bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui penemuan mereka. Penemuan mereka diakui di tahun 1921, sehingga obat yang tepat digunakan. Meer dan Cnopius dapat menyimpulkan jenis penyakit yang menyerang penduduk asli, dan faktor-faktor yang menyebabkan penularannya.

Hingga hari ini, tidak ada kesimpulan akademik tentang dari mana datangnya penyakit Granuloom dan siapa yang menularkan untuk pertama kali. Pada 3 Desember 2006, dalam percakapan dengan alm. Yulianus Bole Gebze Dinolik dan beberapa tetua Malind anim lain di Kampung Nasem, Merauke, ada informasi bahwa penyakit Granuloom atau nama populer di tahun 1913 – 1920 itu “penyakit Merauke” ini ditularkan oleh para pemburu-pemburu burung cenderawasih yang disebut juga “Pu-anim (orang luar). Mereka itu datang seiring dengan kehadiran pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1902 di tanah Malind anim.

Keuskupan Agung Merauke mencatat: “Kaum pemburu itu seringkali mempunyai kelakuan yang buruk yakni membujuk para pemuda itu untuk minum minuman keral (baca: minuman beralkohol), memberi persengkokolan serta menipu mereka pada saat pembayaran gaji. istri dari orang-orang muda itu tinggal sendirian di Merauke berbulan-bulan lamanya.” (Keuskupan Agung Merauke: 1999, 21).

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Pihak Misionaris Katolik dan Pemerintah Kolonial Belanda bersama tetua asli Malind bikin kampung sehat. Warga yang belum tertular dipindahkan ke kampung sehat. Yang tertular dikeluarkan dari kampung. Upaya ini disebut program desa teladan yang digagas oleh Vertenten pada tahun 1914. Program itu didirikan di Merauke, Kumbe, Okaba dan Wambi dengan mempunyai sekolahnya yang mewajibkan belajar bagi anak-anak. Rumah-rumah pemuda dihilangkan, warga yang masih sehat membangun rumah keluarga dan warga yang sakit dikeluarkan dari desa teladan. Cukup berhasil.

Pada tahun 1917, Vertenten mencatat dalam buku hariannya bahwa jumlah penduduk Kampung sehat mencapai dua puluh keluarga, dan setahun kemudian jumlah penduduk mencapai seratus keluarga. Upaya ini sempat mengalami kendala seiring dengan pecah Perang Dunia I di Benua Eropa dimana berdampak pelayanan misi, khususnya program kampung teladan ini. Misionaris baru tidak bisa datang dan sumber pendanaan karya misi tidak ada. Pasokan beras dihentikan. Pastor Johanes van de Kooy MSC dipindahkan, Pastor Petrus Vertenten MSC sendiri melayani, dan pos misi di Okaba ditutup. Dalam kondisi itu, Pastor Petrus Vertenten MSC bersama tetua adat Malind anim mendorong warga Malind anim untuk berkebun dan konsumsi sagu, gembili, dan ubi jalar.

Dalam tradisi Malind anim, sagu merupakan pangan utama dan punya kedudukan sakral dalam adat. Gembili adalah pangan asli terpenting bagi Kanume. Nai mo adalah tempat menyimpan persediaan umbi gembili dalam waktu yang lama, setidaknya sepuluh tahun. Apabila persedian gembili habis sementara masa panen belum tiba, maka Kanume mengkonsumsi sagu. Ubi jalar dibudidayakan secara turun temurun oleh orang Kimaam. Tradisi berkebun di rawa-rawa memperlihatkan sebuah teknologi pertanian yang tinggi dan berumur sangat tua. Ada budaya Ndambu di Kimaam yang mempersatukan orang Kimaam dalam merawat teknologi pertaniannya dan pangan aslinya.

1918 – 2021: Ketika wabah flu-spanyol

Setelah ada titik terang akan keselamatan Malind anim dari penyakit Granuloom. Tahun 1918 adalah tahun hitam bagi Malind anim di Merauke. Banyak warga kampung – kampung teladan yang dibentuk oleh misi Katolik dan Pemerintah Belanda meninggal akibat sebuah wabah. Wabah itu disebut “wabah flu-spanyol”.

Mula – mula wabah flu-spanyol terjadi pada oktober 1918 ketika Eropa mulai memasuki musim gugur. Penyebab utama flu-spanyol adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1. Dari Eropa, flu-spanyol mewabah ke seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda dan sampai ke Merauke. Jumlah korban Flu Spanyol di dunia melebihi jumlah korban Perang Dunia I. Kekacauan koordinasi dan minimnya pengetahuan tenaga medis memperburuk keadaan.

Tak butuh setahun, wabah flu-spanyol dari Eropa itu menyerang Malind anim di Merauke. Pemerintah kolonial Belanda lamban menangani wabah ini, sementara virus ini bergerak seiring pergerakan manusia yang tinggi.

Akhir november 1918, ketika air pasang di sungai Maro, kapal Van Imhof sandar di dermaga Merauke. Para penumpang turun dari kapan. Ada sekumpulan warga yang menjemput. Beberapa petugas pemerintah Hindia Belanda terlihat sibuk mengawasi para anak buah kapal yang turunkan barang dari kapal ke dermaga. Dermaga Merauke tampak sibuk. Inilah pemandangan awal wabah flu-spanyol menyerang kota Merauke.

Pastor Petrus Vertenten MSC menulis dalam buku catatan hariannya: “Inilah pukulan maut!” (Vertenten, 1935).

Wabah flu-spanyol (Spaanse griep) itu mulai dari Merauke (baca: kota Merauke). Di jalan-jalan hanya ditemukan orang-orang yang mengantar jenazah ke kuburan. Setiap hari minimal enam orang meninggal di satu kampung. Seperempat penduduk dari setiap kampung meninggal. Penduduk menjadi panik dan takut. Anak-anak asrama misi Katolik lari semua. Kampung teladan menjadi kosong sama sekali dalam seminggu. Merauke menjadi kota mati. Tik-Dema kembali lagi kah? Pertanyaan umum yang mereka gumuli tanpa mendapat sebuah kepastian jawaban. Pemerintah Hindia Belanda lamban bertindak.

Dalam buku hariannya, Vertenten menulis: “Kapan gerangan akan ada kerjasama Pemerintah dan Misi? Kapan Pemerintah akan membantu? Untuk sementara waktu, kami harus mengandalkan diri sendiri, percaya kepada rahmat Tuhan dan sabar” (Vertenten, 1935).

Para misionaris Katolik tidak tinggal diam. Pastor Vertenten mengunjungi kampung-kampung sekitar Merauke. Ia mengunjungi orang-orang kampung, terutama para calon permaindian. Ia menemukan ada empat belas anak Malind berpakaian celana meninggal. Mereka itu sering menyebut diri mereka, “orang Misi”. Sepertiga penduduk kampung Borem Sarira meninggal. Kampung-kampung lain pun ada sepertiga hingga seperlima meninggal. Pastor Neyens mengunjungi kampung-kampung di seberang sungai Maro.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Suatu sore di tahun 1918, sebelum berangkat ke kampung Okaba, Pastor Nollen MSC, Pater Neyens MSC dan Pastor Petrus Vertenten MSC tampak serius membicarakan wabah ini. Mereka berdua saling mengungkapkan kekecewaan, juga saling menguatkan.

Ini saat hancurnya Misi,” ungkap Neyens dengan yakin.

”Inilah kesudahannya, habis perkara. Lebih baik berangkat saja,” balas Nollen.

“Walaupun seperempat mati, tiga perempat masih hidup, sakit atau sehat. Pantang mundur,” tegas Vertenten kepada Nollen dan Neyens.

Lanjut Vertenten, “Dulu kita mempunyai satu. Sekarang kita masih mempunyai tujuh puluh lima persen.” Ungkapan ini dimaksudkan Vertenten untuk mengingatkan Nollen dan Neyens yang kecewa bahwa perjalanan misi itu dibangun dari awal dan sudah ada hasil sehingga tidak bisa ditinggalkan (Keuskupan Agung Merauke.1999, hlm. 21).

Tanggal 5 desember 1918, Pastor Vertenten ke Okaba. Ia ingin merayakan Natal bersama umatnya. Setelah tiba di Okaba, ia sibuk mengunjungi orang-orang di kampung-kampung sekitar Okaba. Penduduk kampung hidup dalam ketakutan. Kampung-kampung sunyi. Orang berjaga-jaga dalam rumah. Takut keluar rumah, juga ke dusun untuk mengumpul makanan.

Bagi para misionaris Katolik di Merauke, natal tahun 1918 adalah natal yang gelap, sunyi dan menyedihkan.

Tentang kisah ini, pada tahun 1919, Pastor Vertenten menulis sebuah karangan yang bikin pemerintah kolonial Belanda kaget. Judulnya “Zuid Nieuw Guinea Sterft Uit” (Nugini Selatan sedang sekarat) yang diterbitkan dalam surat kabar Java-post dan beberapa koran di negeri Belanda. Dengan adanya tulisan itu, Tweede Kamer (DPR) di Belanda menanggapi dengan serius. Dalam sidang Tweede Kamer di Belanda, menteri diminta memberikan penjelasan dan menteri mengirimkan telegram kepada Gubernur di Batavia, dan Gubernur meminta data dan informasi kepada residen di Ambon dan meminta laporan dari Merauke tentang rencana Misi Katolik menyelamatkan suku Malind. Setelah itu informasi dan data diberikan, tidak kunjung datang bantuan dari Pemerintah Kolonial. Orang Malind mati terus. Pastor Vertenten kembali menulis “Arah Etis Politik Luar Negeri Belanda ialah Sang Pembunuh Nugini Selatan”.

Pada Maret 1920, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kolonial Belanda menulis kepada Prefek Apostolik di Langgur bahwa Dinasnya memuji gagasan Desa Teladan dan meminta program dari Misi Katolik dimana dibantu oleh pemerintah. Akhirnya desa teladan didirikan di Merauke, Kumbe, Okaba dan Wambi. Dokter Cnopius, seorang ahli penyakit kelamin datang ke Merauke untuk merawat orang sakit.

Bersama karya pelayanan Pastor Petrus Vertenten dan para Misionaris MSC, penduduk asli Malind dapat mengatasi penularan penyakit menular ini. Kampung kembali ramai. Anak-anak asrama misi kembali ke Asrama. Aktivitas kembali menjadi normal. Vertenten dihormati oleh Malind anim dengan sebutan “Pastor penyelamat kaya-kaya”. Tahun 2013, patung Vertenten dibangun di Kampung Okaba untuk mengenang perjuangannya bersama Malind anim.

)* Penulis adalah vidoe maker Papua 

Referensi

Baal Jan Van (diterjemahkan oleh Martinus Nijhoff), Dema: Description and Analysis of Marind-             Anim Culture (South New Guinea), The Hague 1966.

Cappers Eduard. Een veelbeloven de Missie. Missiehuis van het Heilig Hart, Tilburg, 1919.

Haripranata, H. Ceritera Sejarah Gereja Katolik di Kei dan di Irian Barat.

La Hisa dkk., Pengenalan Jenis Tumbuhan Berkayu di Taman Nasional Wasur: Seri Panduan Lapangan Bagian Ke-1. (Balai Taman Nasional Wasur, 2018).

La Hisa dkk., Palem dan pandan di Taman Nasional Wasur Merauke. (Balai Taman Nasional Wasur, 2018).

La Hisa dkk., Etnobotani: Pengetahuan lokal suku Marori di Taman Nasional Wasur Merauke. (Balai Taman Nasional Wasur Merauke, 2018).

Majalah S.O.S edisi intimewa 1 Juli 1938.

Keuskupan Agung Merauke, Sejarah Gereja Katolik di irian Selatan (1999).

 Kooyman S, Population Reserch Project among the Marind-Anim and Jee-nan Peoples in Netherlands South New Guinea Summary of report. (1959).

Pastor Petrus Vertenten: Panggilan dan Karya di daerah Marind Anim (1910 – 1925).

Roembiak dkk, Etnografi Irian Jaya Seri-2: Marind, Mooi, Nafri, Meyakh dan Manusia-Indonesia-Irian di Tahun 2000. (Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya, 1996).

Van Boelaars, Manusia Irian: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. (Jakarta: PT. Gramedia,  1986).

Vershcueren J, Marind-Anim land tenure, In: Land tenure in West Irian. (New Guinea Research Bulletin, 1986).

Vertenten Petrus. Vijftien jaar bij de Koppensnellers. diterbitkan oleh Davidsfonds, Volksboek no. 259, 1935.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil...

0
Direktur LBH Papua, dalam siaran persnya, Senin (25/3/2024), menyatakan, ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.