Pandemi Covid-19 dan Konflik Papua yang Terlupakan

0
1573

Oleh: Aslang Jaya)*

Pandemi Covid-19 yang melanda beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia menjadi problematika ummat yang perlu dan penting untuk segera diselesaikan. Konstalasi kehidupan berbangsa seolah berubah 90 derajat dibanding biasanya.

Negara sebagai barang abstrak yang terkonstruksi melalui Konstitusi dan oleh Pemerintah diberi konstituen untuk melindungi segenap kehidupan bangsanya. Pandemi Covid-19 telah dikategorikan sebagai bencana non-alam yang memicu otoritas negara lebih mendominasi dibanding hak azasi manusia (HAM) yang senantiasa harus dilindungi dan dijaga agar tetap eksis sebagaimana harapan-harapan yang melekat padanya.

Bangsa Indonesia saat ini ramai membincangkan soal pandemi Covid-19 yang sedang melanda, kendati lupa dengan persoalan anak bangsa di wilayah bagian timur, tepatnya Papua. Media informasi juga turut andil dalam hal ini.

Sudah lupakah kita dengan kisruh Wamena yang telah menjadi catatan buruk rezim yang tengah berkuasa saat ini? Apakah darah yang tumpah, ruh yang memisah dengan jasad merupakan hal yang biasa saja, sehingga tak diupayakan untuk dicarikan jalan keluar dengan menyentuh akar permasalahan yang seharusnya diselesaikan.

ads

Catatan Komnas HAM (2014) mengumumkan bahwa ada sebanyak 4 orang tewas akibat konflik horizontal di Paniai, hingga saat ini belum menemui jalan keluar. Padahal masyarakat Indonesia umumnya, dan warga Papua khususnya mengharapkan agar ada penyelesaian dari Pemerintah terkait hal itu.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Juga lupakah kita tentang informasi mengenai tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh aparatur negara bersama kelompok masyarakat di Surabaya yang secara bersama-sama melakukan perlakuan tak berkemanusiaan terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali ilmu di tanah rantau.

Hal tersebut menimbulkan reaksi di Papua dan melahirkan konflik baru tepatnya di Sorong dan Manokwari. Selain itu, sebagian besar kota-kota di Papua juga melakukan protes atas tindakan rasisme dan diskriminasi tersebu.  Perlukah kita menyimpulkan bahwa kejadian berulang dengan resolusi konflik sama merupakan bentuk kegagalan Pemerintah dalam menangani konflik?

Rentetan Peristiwa

Pada tahun 1970 hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal –antara negara dan warga– marak terjadi di Papua, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penerapan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal itu merupakan langkah separatis yang dilakukan agar dapat memisahkan diri dari NKRI.

Awal konflik bermula ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum PBB yang menghasilkan perjanjian New York (1962) dibawah rezim Soekarno.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) –mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua– antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian NKRI. Meski Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan satu orang satu suara. Tetapi dilakukan dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu.

Di masa Soekarno, pengamalan mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa boleh dinilai berhasil karena dalam catatan sejarah saat itu sangat minim terjadi konflik karena Pemerintah saat itu menggunakan cara-cara humanistik dengan merangkul warga Papua serta meyakinkan mereka bahwa warga Papua berhak diperlakukan sama.

Selain Pemerintahan Sukarno, pada masa Gus Dur ketika berkuasa juga melakukan hal yang sama, contohnya ialah ketika Gus Dur mengatakan bahwa dirinya ingin melihat matahari terbit di Papua karena orang-orang sekitar Gus Dur kerap membicarakan bahwa sunrise di tanah Papua lebih indah dari wilayah mana pun di NKRI, padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta.

Beberapa pengamat politik menyampaikan bahwa hal itu merupakan strategi politik Gus Dur dalam mengistimewakan rakyat Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Agar masyarakat Papua yakin bahwa Pemerintah juga memerhatikan mereka, tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis. Melansir dari beberapa informasi, upaya Pemerintah saat ini juga melakukan tindakan yang dinilai militeristik, wilayah Sorong, Mnaokwari dan Wamena, aparat keamanan ditambah sebanyak 2.500 personil TNI/Polri. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut menangani konflik.

Padahal sejarah panjang di masa Orde Baru juga melakukan hal yang sama melakukan pendekatan militeristik yang implikasinya justru resolusi konflik kian menganga dan berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat.

Laporan Komnas HAM ada sebanyak 10,000 korban jiwa akibat konflik yang dimulai tahun ‘70-an hingga ‘98. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak.

Perlu diingat bahwa nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun. Upaya terbaik yang perlu dilakukan ialah berdialog lalu bernegosiasi dengan masyarakat Papua terkait apa yang semestinya dilakukan bersama. (*)

)* Penulis adalah Anak Bangsa di Wilayah Bagian Timur.

Artikel sebelumnyaVaksin Eksperimen Virus Corona Siap Diujicobakan pada Manusia di AS
Artikel berikutnyaPemerintah New Zealand Didesak Terlibat Dalam Kasus Penembakan di Timika