Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Jakarta – Papua (4/Habis)

0
1357

Oleh: Mecky Mulait)* 

Siapa Neles Tebay (Inisiator dan Koordinator JDP)

Almarhum pastor Neles Tebay selaku koordinator JDP sering dicurigai sebagai agen entah pemerintah maupun OPM.  Tuduhan macam ini memang sudah lama dialamatkan kepada dirinya sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap JDP. Dari pihak OPM mencurigai bahwa pater Neles Tebay sudah dipakai oleh pemerintah untuk menghancurkan perjuangan orang Papua dalam menentukan nasib sendiri. Sementara dari pihak pemerintah Indonesia sering mewanti-wanti jangan sampai Neles Tebay sedang mendorong dialog untuk menjerat pemerintah ke arah pemisahan bagi Papua dari NKRI.

Bagian 1 : Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (Bagian 1/4)

Pastor Neles sadar betul terkait situasi dilematis yang mencurigakan ini. Namun dengan komitmen yang penuh sadar, dia bersama koleganya yang merelakan diri bekerja bagi Perdamaian Papua terus maju sampai menghembuskan nafas terakhirnya pada 2019.

ads

Apakah betul pastor Neles bekerja untuk keutuhan NKRI? Ataukah untuk pemisahan Papua dari NKRI? Pertanyaan dan keraguan inilah yang menarik kami mengungkapkan pandangan seturut pengamatan dan pengenalan kami pada pastor yang juga mantan ketua “Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur” Abepura-Papua ini.

Bagian 1 : Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (Bagian 2/4)

Dari pihak koordinator, apapun kecurigaan yang dialamatkan kepadanya, bagi penulis tidak meragukan bahwa ia tidak memiliki niat untuk menghancurkan perjuangan orang Papua apalagi berjuang untuk merusak nasib hidup orang Papua. Viktor Yeimo pada catatan refleksi yang sama sebagaimana disinggung di atas mengungkapkan bahwa “ia tinggalkan jalan penyelesaian damai tanpa menghancurkan perjuangan bangsa Papua. Malahan ia mengajar Jakarta untuk selesaikan konflik Papua dengan jalan damai (dialog)”.

Kekurangan dalam hal menyampaikan pikiran yang menjurus pada dukungan pemerintah Indonesia sebagaimana yang dikritik oleh Peyon [Lihat di tulisan sebelumnya dari serial tulisan ini] itu bisa saja menjadi kekurangan dan konsekuensi dari sebuah perjuangan. Bisa jadi kata-kata itu merupakan sebuah daya tawar dari pihak yang lemah kepada pihak yang lebih tinggi atau kuat posisinya supaya yang kuat bersedia dialog karena pihak yang kuat semakin melebarkan ekspansinya. Tawarannya bahwa jika pihak yang kuat dalam hal ini pemerintah tidak  mau segera dialog maka ke depan akan semakin sulit. Dan dapat dipahami bahwa posisi atau daya tawar bagi masyarakat Papua masih lemah, sementara konflik kekerasan yang mengorbankan rakyat sipil semakin besar. Hal yang perlu disadari bahwa Posisi yang dimainkan oleh JDP itu lebih sulit daripada kita memilih satu posisi entah di kiri atau pun di kanan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Bagian 3 : LIPI Berupaya Menggeser Peran JDP (Bagian 3/4)

Sebagai mediator, JDP tetap memainkan peran posisi tengah supaya bisa berjumpa dengan kedua belah pihak yang bertikai. Akan tetapi bahasa yang bernada peringatan kepada pemerintah bahwa jika pemerintah masih tidak mau dialog, maka masalah Papua sulit diatasi karena sudah go Internasional merupakan suatu bahasa kemendesakan bagi pemerintah supaya membuka diri untuk berdialog.

Memang dapat disadari bahwa sebelum ULMWP terbentuk pada 2014 bahkan sampai saat ini pemerintah masih menganggap Papua belum memiliki daya tawar yang kuat untuk duduk dialog. Sementara pada satu pihak, korban kekerasan terus berlanjut bahkan ketimpangan pembangunan aspek sosial semakin melebar.

Maka sikap curiga dan mencurigai itu wajar saja sebagaimana juga diutarakan oleh pater Neles sebagai koordinator. Bahwa satu pihak mencurigai JDP sebagai agen intelinjen NKRI, atau pihak pemerintah Indonesia mencurigai JDP memperjuangkan aspirasi Papua Merdeka.

Pastor Neles bukan seorang politikus atau aktivis yang muda dipengaruhi oleh tawaran tertentu. Dia adalah seorang pastor dari Gereja Katolik Keuskupan Jayapura yang memandang persoalan Papua dari sudut pandang pastoral. Dia adalah seorang doktor Misiologi yakni bidang ilmu teologi yang mempelajari tentang Misi Kristus dan Gereja yang memperjuangkan perdamaian dunia dan keselamatan umat manusia. Dan pater Neles juga bicara perdamaian dan keselamatan manusia di Papua tidak pada batasan suku, pandangan politik atau pun label lainnya. Pilihan dia bicara kemanusiaan dan keselamatan jauh lebih luas dan universal.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Maka tuduhan bahwa pator Neles Tebay mengarahkan JDP melalui dialog sektoral memiliki niat untuk menghancurkan perjuangan orang Papua bagi penulis sangat berlebihan.

Dalam sebuah kesempatan, pastor Neles juga memberi kesaksian hidup dan keterlibatan dalam persoalan Papua melalui dialog damai merupakan sebuah panggilan berdasarkan hati nurani. Pastor Neles tidak mau persoalan Papua terus membawa korban bagi orang-orang yang tidak berdosa. Lebih dari itu semua bahwa apa yang ia perjuangkan adalah misi Gereja dan Kerajaan Allah sendiri yakni menciptakan keadilan dan perdamaian bagi semua umat manusia di muka bumi ini, Papua-Indonesia.

JDP: Masih Relevan? – Sebuah Penutup

Semenjak dua tokoh utama JDP meninggalkan dunia, nasib tawaran ide menyelesaikan masalah Papua melalui dialog damai semakin tidak menentu. Banyak pihak terutama LIPI  berupaya menggeser peran JDP [baca bagian ketiga dari serial tulisan ini]. Sementara sejumlah kelompok perjuangan Papua telah mengucapkan RIP. Dan sebagian kaum moderat yang sebelumnya masih berharap “dialog” yang diusung JDP sebagai jalan terbaik dan damai mulai pesimis bahkan menuduh bahwa JDP itu agennya BIN. Tetapi penulis tetap memandang bahwa JDP sampai kapan pun tetap relevan sejauh masih menjaga semangat fasilitatornya.

Terlalu premature memandang bahkan menudu JDP sebagai agen BIN menghancurkan perjuangan Papua karena JDP punya sejarah dan kontribusi yang besar bagi perjuangan Papua sebagaimana yang kami uraikan di atas.

Ada beberapa hal yang meyakinkan penulis JDP masih relevan:

Pertama, sejauh konflik Papua terus membarah, perlu ada pihak yang berdiri di poros tengah untuk menghubungkan-membangun komunikasi antara dua pihak yang bertikai untuk meminimalisir jatuhnya korban yang berlebihan.

Kedua, Papua punya sejarah kelam yang di sebut DOM di mana ribuan nyawa orang Papua korban akibat kekerasan militer Indonesia. Bahkan setelah rezim orde baru jatuh 1998 dan keterbukaan akses media seperti sekarang, pelanggaran HAM dalam skala kecil-berat pun terus terjadi. Dalam kondisi ini perlu ada pihak yang membangun pendekatan damai. Di sinilah domain JDP dengan visi damainya.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ketiga, dalam sejarah dunia demokrasi, suatu pemerintahan akan patuh hanya pada warganya. Intervensi negara lain bisa menjadi perhitungan, namun dengan dalih kedaulatan, pemerintah seringkali tidak begitu hiraukan. Karena itu dalam soal Papua, selain kampanye internasionalisasi persoalan Papua dalam mencari dukungan, membangun kesadaran ojektif bagi rakyat Indonesia dengan pendekatan yang simpatik dirasa relevan. JDP bisa terus memainkan peran ini sebagaimana yang telah diletakkan dasar oleh dua penggerak sebelumnya.

Keempat, JDP tetap memainkan peran narasumber objektif bagi persoalan Papua untuk media-media asing, ketika pemerintah menutup akses jurnalis asing meliput Papua.

Kelima, Dialog tetap menjadi pilihan terbaik menyelesaikan masalah Papua secara damai, demokratis dan bermartabat.

Karena itu JDP tetap menjaga netralitas dan menyediakan panggung untuk subyek konflik bertemu dan bicara guna mencari solusi damai. Apakah dialog yang diharapkan itu secara nasional sebagaimana yang dinginkan pemerintah Indonesia di bawah kajian LIPI “Papua Road Map” jilid 2 atau dialog yang difasilitasi pihak ketiga dan di tempat yang netral sebagaimana yang dikehendaki oleh orang Papua di bawah koordinasi ULMWP bukan urusan JDP.

JDP bertugas menyiapkan jalan untuk kedua aktor itu bertemu dan bersepakat dalam mencarikan solusi pada berbagai tingkatan. Jadi yang punya hak bicara dan selesaikan masalah adalah para aktor konflik bukan fasilitator. JDP sebaiknya tetap berperan sebagai fasilitator sampai masalah Papua diselesaikan secara komprehensif yang kemudian memberikan inspirasi bagi dunia bahwa Papua dan Indonesia bisa selesaikan masalahnya secara damai dan bermartabat.

)* Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Jayapura.  

Artikel sebelumnyaLegislator Papua Pertanyakan Kinerja Para Bupati Meepago di KM 100
Artikel berikutnyaVIDEO: PERMATA Manado Tolak Pembangunan Kodim dan Koramil di Tambrauw