Corona, Dua Perempuan Sosialis AS dan Papua

0
2108

Oleh: Julian Howay)* 

SEMARAK kembang-kembang musim semi bulan April 2020 telah berlalu. Siaran radio lokal ‘MPR News Channel 90.1’ Atlanta di handphone Motorola saya tiap hari tak henti menyiarkan berita terbaru mengenai kondisi pandemi virus Corona yang sedang bersemangat menginvasi Amerika Serikat.

Wabah itu telah menjelma bagai hantu bergentayangan dan malaikat pencabut nyawa. Menyebar ketakutan dengan begitu pesat di seantero negara ini dan seluruh penjuru dunia. Mencari mangsa untuk ditumbangkan menjadi tubuh-tubuh tak bernyawa yang akan menuju liang kuburan massal. Atau dikremasi menjadi debu jenazah.

Pandemi ini selain menakutkan, juga meresahkan. Menjadikan negara adidaya nan kapitalis ini sangat terpukul. Dengan populasi sekitar 330 juta jiwa, AS telah menduduki urutan teratas sebagai negara dengan jumlah kasus positif dan kematian terbanyak di dunia. Aktivitas perekonomian di negara ini pun terseok-seok terkena dampak.

Saya masih ingat, ketika Virus SARS Cov-2 yang juga disebut Corona muncul pada akhir Desember 2019 lalu dan membunuh banyak orang di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, RRC, kebanyakan orang di AS maupun di tempat lain di dunia menganggap bahwa virus itu hanya akan menggerogoti  Cina. Jadi negara mereka akan baik-baik saja. Namun segalanya berubah hanya dalam satu dua bulan kemudian.

ads

Dari Wuhan, virus ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. WHO, badan kesehatan dunia PBB lantas menetapkan status pandemi global. Virus ini menyebar bersama arus perjalanan manusia lintas negara yang terbawa pesawat terbang dan kapal laut.

Di AS, ketika satu dua kasus orang positif Corona ditemukan di Los Angeles, California, dan Seatle, Washington, pada awal Februari 2020, orang-orang di negara ini menganggap belum apa-apa. Jadi mereka akan baik-baik saja.

Sebulan kemudian, tepatnya pada Maret 2020, virus ini dengan cepat menginvasi   sejumlah kota dan negara bagian di AS. Menginfeksi dan membunuh ribuan orang, terutama kelompok lansia serta mereka yang menderita berbagai penyakit bawaan. Selain itu, orang-orang kulit hitam dan hispanik menjadi kelompok yang paling banyak terinfeksi dan meninggal karena keganansan Covid-19.

Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan persoalan status sosial ekonomi dan kurangnya akses ke layanan kesehatan oleh kelompok tersebut. Kaum pekerja (buruh) migran tak berdokumen (ilegal) yang tidak mendapat asuransi kesehatan dan tunjangan pengangguran, juga menjadi kelompok yang rentan terinfeksi. Sebab mereka harus bekerja keras di tengah masa pandemi untuk bisa menghidupi diri.

Saat Corona benar-benar menyerang AS pada Maret 2020, Presiden Donald Trump yang gelisah akhirnya menetapkan status darurat nasional. Bersamaan dengan kondisi itu, geliat ekonomi di negara terkuat di dunia ini pun menurun drastis.

Potret kelesuan ekonomi AS, negara poros kapitalis dunia dan beberapa negara Eropa akibat Corona, telah membuat kaum revolusioner kiri menyakini bahwa sistem ekonomi dan layanan kesehatan pada negara-negara kapitalis telah gagal!

Kapitalisme dianggap tak bisa lagi bekerja menolong umat manusia di tengah menghadapi pandemi global Covid-19. Sistem ekonomi dan kemasyarakatan yang mengedapankan profit itu juga dianggap tak mampu memenuhi hak warga negara atas layanan kesehatan publik yang memadai untuk semua orang: medical for all. Yakni tak hanya melayani mereka yang mampu membayar mahal atau memiliki asuransi kesehatan.

Saya telah membaca berita dan mendengar siaran radio lokal tentang bagaima orang-orang di negara ini begitu gelisah. Kuatir atas hidup mereka di tengah ganasnya pandemi besar ini. Para pekerja (buruh) yang stres, mengaku meski sedang sakit, harus tetap bekerja agar bisa menyediakan makanan di meja makan.

Agar kulkas pendingin selalu tersedia makanan. Bisa membayar tagihan ini dan itu. Agar bisa membayar biaya pendidikan anak, bayar sewa apartemen, tagihan kredit rumah, tagihan telpon, dan lain-lain.

Belum lagi soal banyak warga AS yang tidak terkover dalam asuransi kesehatan, menceritakan kegelisahan mereka. Jika sakit apakah mereka bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis? Siapa yang nanti menanggung biaya hidup, jika mereka sakit dan harus berhenti bekerja?

Apakah mereka akan meninggal di rumah tanpa mendapatkan layanan pengobatan dari rumah sakit? Ini seperti kebanyakan orang yang tak mampu membayar biaya rumah sakit. Lalu apakah ada tanah tempat pemakaman yang cukup dan tidak perlu dibayar jika mereka meninggal?

Siapa yang akan membayar biaya pembakaran mayat (kremasi jenazah) jika mereka atau ada kerabat yang meninggal karena positif Covid-19? Sebab hampir semua urusan di negara ini harus diatasi dengan uang.

Yang miris, di tengah jumlah kasus orang terinfeksi dan meninggal karena wabah Covid-19 yang makin liar di negara ini, orang-orang juga menceritakan ketakutan jika mereka meninggal tidak akan ditemui atau dilayat orang-orang terkasih. Tidak ada ibadah perkabungan seperti biasanya.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Tidak ada kumpulan orang yang akan melayat. menyanyikan atau memainkan musik kedukaan. Tidak ada prosesi penaburan dan peletakan karangan bunga duka. Ini adalah suatu pengalaman hidup dan mati bagi umat manusia yang tidak lazim bagi generasi zaman ini.

Pengalaman seperti ini memang pernah terjadi lebih dari seabad lalu. Ketika pandemi Flu Spanyol (Spanish Influenza) merajalela dengan ganas hingga diperkirakan membunuh sekitar 50 – 100 juta manusia di bumi pada tahun 1919. Pandemi global yang terjadi dua tahun setelah Revolusi Merah Bolshevik pada Oktober 1917 di Rusia yang membentuk negara komunis Uni Soviet yang berdiri selama 70 tahun.

Corona dan Teori Konspirasi

Penyebaran virus Corona dari Cina yang kemudian menginvasi negara-negara barat nan kapitalis seperti AS, lantas memunculkan beragam teori konspirasi. Sejumlah rakyat AS menganggap bahwa Cina yang komunis sedang berusaha membuat AS menjadi negara Sosialis lewat penyebaran virus yang konon berasal dari sebuah laboratorium penelitian virus di Wuhan.

Sebaliknya, Cina berbalik menuduh AS berada dibalik penyebaran virus itu. Bagi Beijing, AS  berusaha menghancurkan negara itu dengan virus yang sengaja dikembangkan dan dibawa pihak intelijen AS untuk menghancurkan kedigdayaan negara komunis yang makin tak terbendung. Saling tuding menuding pun tak terelakan.

Teori konspirasi yang lain, memunculkan asumsi bahwa sebuah kelompok elit global yang sangat rahasia bernama ‘Illuminati-Freemasonry’ dan dikaitkan dengan kelompok elit Yahudi Rothschild-Rockefeller dan jaringannya, sedang menjalankan agenda lusifer (iblis) untuk mengacaukan dunia beserta umat manusia melalui virus Corona.

Teori konspirasi itu juga telah lama berpandangan bahwa kelompok elit global itu berada dibalik kekacauan global dan perang dunia yang pernah terjadi. Teori konspirasi itu  kemudian memperluas propaganda sentimen kebencian dan gerakan anti Yahudi (anti semit) di berbagai negara saat merebaknya virus Corona sebagai pandemi global.

Alhasil, banyak Sinagoge (rumah ibadah orang Yahudi), fasilitas, kuburan dan warga Yahudi di berbagai tempat lantas menjadi sasaran amukan orang-orang yang marah (terutama kaum Neo Nazi) karena terprovokasi teori konspirasi. Ada kebencian bahwa kali ini orang-orang Yahudi dianggap berada di balik kemunculan dan penyebaran virus Corona.

Konon, kelompok elit global Illuminaty-Freemasonry juga diasumsikan sedang merencanakan agenda 100 tahun mereka untuk mengurangi jumlah populasi bumi yang kini telah mencapai 7 milyar lebih lewat penyebaran virus Corona. Kelompok itu juga diyakini telah menyiapkan semacam vaksin penangkal dan microchip yang akan ditanam pada tubuh manusia untuk mengganti mata uang konvensional saat ini.

Tentu saja hal-hal tersebut telah lama dipercaya sebagai agenda lusifer (iblis). Sementara sejumlah kelompok Kristen yang keliru, telah terlampau bombastis menghubungkan tafsiran ajaran Alkitab mengenai nubuatan akhir zaman dengan teori konspirasi. Yakni mengaitkannya dengan agenda Anti Kristus/Anti-Christ (dalam Islam disebut Dajjal) yang akan segera muncul.

Saat jari-jari saya sedang menari di atas tombol-tombol ‘keyboard’ laptop untuk menulis artikel ini, jumlah orang di AS yang dinyatakan positif mengidap Virus Corona (Covid-19) hingga akhir April 2020 telah mencapai lebih dari 1 juta orang. Sebanyak lebih dari 120 ribu orang telah dinyatakan pulih. Namun ada lebih dari 70 ribu kasus kematian nan amat memilukan hingga awal bulan Mei.

Kota metropolitan New York menjadi lokasi puncak ‘epicentrum’ terparah di AS akibat keganasan virus impor dari Cina ini. Seluruh rumah sakit di kota tempat Markas PBB dan patung Liberty berada itu dikabarkan kewalahan menghadapi pasien yang terjangkit virus. Sejumlah pusat pembakaran jenazah di kota itu juga dikabarkan kewalahan menangani tumpukan jenazah yang belum dapat dikremasi atau dikubur.

Berita-berita televisi, radio hingga koran online mengabarkan begitu banyak jenazah yang bergelimpangan, membusuk dan dikubur secara massal. Ada pula yang mengantre menunggu giliran dikremasi. Gubernur New York, Andrew Cuomo kemudian memberlakukan pembatasan berskala besar bagi aktivitas perekonomian dan transportasi umum di wilayahnya.

Warga di wilayah itu juga dihimba untuk tetap tinggal di rumah. Menghindari bepergian dan bila keluar karena suatu keperluan, harus mengenakan masker. Wajah kota New York nan memukau dan begitu gemerlap di malam hari, seketika menjadi sepi bagai kota mati.

Presiden Donal J. Trump telah mengerahkan personil militer AS dan sejumlah kapal perang Angkatan Laut yang dilengkapi fasilitas medis ikut merespon situasi genting ini. Presiden yang terkenal blak-blakan itu juga mendorong DPR AS merestui dana talangan sebesar 2,2 triliun dolar sebagai stimulus ekonomi karena terpukul. Juga sebagai tunjangan pengangguran bagi para pekerja yang terkena dampak.

Hingga awal Mei 2020, jumlah orang yang terinfeksi secara global atau dinyatakan positif Corona telah mencapai 3.5 juta orang. Sementara yang meninggal mencapai lebih dari 250 ribu orang. Jumlah yang meninggal sedikit lebih unggul dari sekitar 114 ribu orang yang dinyatakan sembuh.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Para pakar kesehatan dunia memperkirakan, jumlah orang yang positif dan meninggal akibat penyebaran gelombang kedua pandemi virus Corona akan terus bertambah hingga akhir tahun 2020. Apalagi jika PBB dan negara-negara yang terkena dampak paling serius belum juga menemukan solusi mengatasi meluasnya wabah ini.

Ketakutan akan kejatuhan ekonomi yang kian parah, kelaparan, penjarahan, huru-hara, kekacauan, kejatuhan suatu rezim politik hingga munculnya negara-negara gagal sedang membayangi. Menjadi mimpi-mimpu buruk yang menghantui para pemimpin dunia.

Meski AS telah menjadi negara dengan kasus positif dan kematian akibat Corona terbanyak di dunia, situasi demikian tidak menciutkan upaya Pemerintahan Trump dan segelintir gubernur negara bagian (states) untuk merangsang kembali geliat ekonomi yang sedang lesu.

Di saat yang sama, warga AS di sejumlah kota dan negara bagian yang gelisah pun terus bertambah. Mereka tidak mau bersabar dan telah berdemonstrasi mendesak pemerintah melonggarkan pembatasan skala besar aktivitas ekonomi karena wabah Corona.

Suatu upaya membuka kembali keran ekonomi yang sempat terhenti. Berharap geliat perekonomian kembali normal agar mengembalikan pekerjaan, meski di tengah pandemi yang sedang mengancam kelangsungan hidup warga AS maupun jutaan penduduk dunia. Sebab orang memang perlu bekerja agar bisa makan!

Selain berupaya menjaga roda ekonomi yang ringsek tetap bergerak, President Trump juga telah menginstrusikan untuk memaksimalkan seluruh sumber daya terkait pelayanan kesehatan di negara ini guna menanggulangi dampak Covid-19. Para ilmuan dan perusahaan medis terbaik di negara ini pun berlomba menemukan vaksin yang ampuh untuk menangkal virus ini.

Invasi Corona yang kian parah hingga awal Mei 2020 di AS, juga menciptakan beragam kontroversi politik. Antara President Trump yang di dukung kubu Partai Republik yang konservatif dan kelompok politisi Partai Demokrat yang menguasai DPR AS dan menjadi gubernur sejumlah negara bagian (states).

Para politisi Demokrat di DPR yang masih menaruh dendam karena telah gagal menjatuhkan (empeach) Presiden Trump lewat skandal Ukraina, telah memanfaatkan situasi ini untuk mengkritik langkah-langkah penanganan Corona dan kebijakan ekonomi Presiden Trump. Kontradiksi ini kemudian dijadikan amnunisi politik untuk mendulang simpati rakyat menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden AS November 2020 mendatang.

Sementara orang-orang kiri di AS yang militan juga memanfaatkan momentum ini untuk mengkampanyekan penguatan hak-hak buruh, hak-hak kelompok migran, layanan kesehatan untuk semua, pendidikan, lingkungan hidup, hingga penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Dua Perempaun Sosialis

Pemerintah AS dan warganya masih terus berkutat menghadapi gempuran pandemi Virus Corona yang semakin liar sejak Maret 2020. Sejumlah negara bagian memberlakukan aturan tinggal di rumah atau ‘stay at home order’.

Banyak warga lantas memilih berdiam diri di rumah bersama keluarga mereka. Tidak berkumpul atau  memberlakukan  ‘social and physical distancing’ sesuai anjuran CDC, pusat kontrol penyakit AS. Tidak berkunjung atau menolak kunjungan yang tidak penting.

Ketika situasi genting ini sedang melanda AS, saya begitu cemas. Juga mengkuatirkan keberadaan orang-orang Papua dan para mahasiswa Papua yang sedang studi di negara ini. Untungnya kami mendapat kabat bahwa mereka semua dalam keadaan baik.

Siang itu di tengah terik matahari dan pandemi yang mengancam, Sabtu (4 April 2020), dua wanita kulit putih berusia senja tanpa diundang, datang mengunjungi rumah kami di kawasan pinggiran Kota Atlanta Georgia, Amerika Serikat. Mereka hanya berjalan kaki atau tanpa menggunakan kendaraan.

Saat itu saya bersama seorang aktivis Papua yang bermukim di AS, hendak keluar dengan menggunakan mobil untuk membeli makanan dan air minum di Walmart. Sudah dua hari kami kehabisan makanan dan air minum saat ratu Corona sedang menggempur negara ini. Membuat kepanikan dimana-mana sehingga orang berlomba-lomba memborong persediaan kebutuhan hidup.

Dari depan, dua wanita ini seakan hendak menghadang mobil kami yang akan bergerak. Kami pun berhenti dan menunda pergi. Sambil memperkenalkan diri, dua ibu ini juga menunjukan koran Militant terbitan organisasi mereka dan beberapa bacaan menarik. Mereka adalah Zusane dan Jannice, dua wanita kulit putih berusia sekitar 60an dan 70an tahun dari Socialist Workers Party (SWP) USA.

Kami tak mengundang mereka sebelumnya. Hari itu mereka secara kebetulan datang ke rumah kami. Dua wanita perkasa ini telah mengambil resiko di tengah wabah Corona yang terus memangsa penduduk AS. Mereka melakukan tugas ideologis pengorganisiran dengan mengunjungi kawasan-kawasan pemukiman yang dihuni kaum keluarga kelas pekerja warga AS maupun para keluarga pekerja migran seperti kami.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Yang luar biasa, mereka juga selama bertahun-tahun telah bekerja untuk melayani dan mengorganisir kaum petani (buruh tani), pekerja (buruh) di perusahaan-perusahaan besar, hingga kaum tuna wisma/gelandangan miskin (homeless) di sejumlah wilayah di AS. Inilah yang membuat saya sempat iri.

Sebab hingga di usia renta, tugas pengorganisiran yang dilakukan secara sukarela atas keyakinan ideologi dan untuk kemanusiaan ini masih tetap mereka lakoni. Saat datang ke rumah kami, Zusane dan Jannice melakukan tugas mulia ini sambil membawa sejumlah bacaan bagus.

Ada selebaran berupa kertas kuning berisi seruan SWP kepada kaum buruh dan Pemerintah AS untuk memperhatikan kondisi maupun hak-hak para buruh saat wabah Corona Virus makin liar. Sebab sejak pandemi itu menyerbu AS, Pemerintahan Trump bersikukuh menyerukan warga AS untuk tetap bekerja, termasuk bekerja dari rumah agar membuat perekoniam negara ini tetap hidup.

Ada ketakutan, jika AS mengikuti jejak langkah kebijakan lockdown atau pembatasan skala besar seperti negara-negara lain, posisi AS sebagai negara dengan perekonomian terkuat di dunia akan jatuh.

Kembali ke mama Zusane dan Jannish. Mereka sempat bercerita dengan kami selama satu jam lebih di rumah. Awalnya, kedua wanita ini sempat terkejut karena kami adalah orang hitam (black people) yang berasal dari West Papua, separuh wilayah di bagian Barat Pulau New Guinea di Pasifik Selatan yang kini masih diduduki, dikolonisasi dan dirampok sumber daya alamnya oleh Indonesia beserta kekuatan modal kapitalis-imperialis internasional.

Ketika memberi tahu bahwa kami berasal dari West Papua, mereka mengira ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (PNG) yang pada tahun 1975 merdeka dari Inggris (bekas koloni Inggris). Akhirnya diskusi pun panjang. Sebab kami harus menjelaskan wilayah West Papua dan sejarah kolonisasi saat dikuasai Belanda, Inggris, Jerman, Jepang dan akhirnya Indonesia sekarang.

Pertemuan ini pun berujung dengan kesepakatan bahwa kedua mama aktivis kulit putih perkasa yang berasal dari SWP ini akan mengundang kami untuk suatu pertemuan/diskusi bersama kandidat presiden dan wakil presiden dari partai mereka: Alyson Kennedy dan Malcolm Jarrett.

Zusane dan Jannice juga  meminta kami untuk dapat secara reguler mengunjungi kantor sekertariat mereka. Dan tentu saja mereka akan selalu datang untuk mengunjungi kami. Tapi jika pandemi global yang membuat milyaran manusia di dunia resah ini telah berlalu!

Pertemuan awal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan Alyson Kennedy dan Malcolm Jarrett, kandidat capres dan cawapres AS dari Socialist Workers Party (SWP) USA pada minggu berikutnya (14 April 2020). Pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini membahas beragam topik.

Alyson dan Jarrett memanfaatkan moment ini juga untuk sosialisasi, sekaligus menjelaskan program-program perjuangan ideologis mereka di negara kapitalis AS. Kami juga memanfaatkan moment penting ini bersolidaritas, seraya menjelaskan situasi Papua saat ini. Terutama terkait sejarah, budaya dan kondisi kolonialisme Indonesia yang berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis-imperialis global dalam menjajah serta merampok wilayah Papua.

Akhirnya yang menjadi pokok penting dari pertemuan ini adalah: Pertama, Sosialisme Abad 21 yang ilmiah-kontekstual saat ini adalah sebuah filsafat (sistem berpikir dan ideologi) yang dapat menjadi jalan terbaik bagi perjuangan politik-ekonomi,dn lain-lain bagi umat manusia di dunia. Termasuk untuk menjaga alam dari proses eksploitasi-kerusakan lingkungan yang didorong oleh Sistem Ideologi Kapitalisme yang rakus.

Kedua, wabah Corona Virus (Covid-19) yang kian buas hingga memangsa secara liar ribuan umat manusia di dunia (termasuk di AS), telah memberi pelajaran berharga bahwa hanya kebijakan pelayanan kesehatan dalam  Sistem Sosialisme yang bisa diandalkan untuk menangkal dampak pandemi virus ini secara global dan dalam konteks negara.

Ketiga, fakta membuktikan bahwa negara-negara dengan sistem ekonomi Kapitalisme (seperti AS) saat ini sangat kewalahan/tidak mampu mengatasi penyebaran virus ini secara massif. Sebab sistem kebijakan dan layanan kesehatan yang kapitalistik (swastanisasi dan provit oriented), tidak mampu menanggulangi melonjaknya pasien positif Coronavirus. Terutama melayani warga AS dan mereka yang tidak mampu membayar atau tidak memiliki asuransi kesehatan.

Menyangkut layanan kesehatan, pendidikan, tunjangan perumahan bagi orang-orang miskin/tdk mampu, jaminan bagi hak-hak pekerja (workers), dan lain-lain, yang sifatnya fundamental bagi kelangsungan hidup manusia tidak bisa dikelola (dimonopoli) oleh Sistem Kapitalisme.

Sebab layanan tersebut adalah hak-hak fundamental yang harus diperoleh manusia di mana pun (bagian dari Hak Asasi Manusia) dan harus dijamin/disediakan oleh negara dengan cuma-cuma atau tidak membebani rakyat (terutama yang miskin dan tidak mampu).

*) Penulis adalah anak Papua yang sedang bermukim di Atlanta, Georgia,AS.

Artikel sebelumnyaPolemik Otsus Butuh Dialog Jakarta-Papua
Artikel berikutnyaApakah NKRI Harga Mati Itu?