LNG Tangguh Merampok Kekayaan Alam Bintuni

0
4716

Teluk Bintuni – Papua Barat- menyimpan cadangan hasil bumi yang berlimpah. Potensi gas alam yang mencapai 24 – 25 triliun kaki kubik merupakan salah satu potensi yang akan menjadi industri masif di “Negeri Sisar Matiti” itu.

Di atas potensi tersebut, British Petroleum (BP) Berau Ltd, perusahaan yang menjadi operator dari mega proyek Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh, memegang konsesi sebanyak 14,4 triliun kaki kubik untuk dilakukan pengeboran.

Kilang yang telah dibangun dan beroperasi sejak tahun 2005 tersebut kini telah memasuki proyek train 3. Namun keganjilan demi keganjilan masih mengiringi setiap pergerakan dari perusahaan yang berbasis di London, Inggris ini.

Keberadaan LNG Tangguh sebagai mega proyek yang melakukan eksplorasi gas alam di Teluk Bintuni merupakan jalan masuk bagi eksploitasi industri lain. Ironisnya, masyarakat Teluk Bintuni yang terdiri dari tujuh suku sebagai pemegang ulayat, tidak mendapatkan manfaat yang signifikan.

Kabupaten Teluk Bintuni, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencatat angka kemiskinan sebesar 30,57%, dan tingkat pengangguran di angka 5,93%. Statistik ini menjadi ironi di tengah masifnya sebuah industri gas alam yang beroperasi di Teluk Bintuni, terutama di Distrik Babo dan Tanah merah sebagai area terdampak langsung.

ads

Dari sisi penyerapan tenaga kerja daerah industri yang beroperasi di Teluk Bintuni, seharusnya kehadiran LNG Tangguh bisa memberikan manfaat ini. Masyarakat yang terdampak langsung idealnya harus bisa merasakan manfaat langsung dari keberadaan sebuah industri.

Penyerapan tenaga kerja sebesar 70% yang menggunakan tenaga lokal sebagai standar ideal dari industri di daerah, sampai sekarang masih belum bisa dipenuhi oleh LNG Tangguh. Kilah perusahaan yang selalu berpegang pada Amdal yang telah dipenuhi mengenai penyerapan tenaga kerja ini, sampai sekarang belum bisa dibuktikan.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Tertutupnya LNG Tangguh terhadap data tenaga kerja yang dipergunakan, dikonfirmasi sendiri oleh Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Teluk Bintuni. Data yang seharusnya dipegang oleh dinas ini, tidak dapat ditunjukkan sebagai bahan klarifikasi. Pihak British Petroleum LNG selalu menolak untuk memberikan data secara riil.

Bahkan untuk kunjungan dinas ke site atau kilang pengeboran, pihak LNG akan selalu tertutup, hingga tidak bisa dilakukan audiensi antara pihak Dinaskertrans dengan tenaga kerja di sana.

Seorang pegawai Disnakertrans yang namanya tidak mau disebutkan  mengatakan, bahwa telah berkali-kali mereka meminta data tenaga kerja di LNG namun tidak pernah diberikan dengan berbagai macam alasan.

“Kami selalu dipertemukan dengan receptionist serta berkeliling mengunjungi lokasi yang seperti sudah di-set untuk kami lihat. Kami ingin mengunjungi tenaga kerja yang ada di sana secara mendadak, namun hal ini tidak bisa kami lakukan,” ujarnya.

Angka Pengangguran di Teluk Bintuni Masih Tinggi

Kepala Dinas Disnakertrans Teluk Bintuni, Iribaram menegaskan “Kami orang Papua ini bukan orang bodoh. Mereka datang seperti rampok, hasilnya kemana pun, kami tidak tahu.”

Menurut Jamaluddin, hadirnya industri mega proyek seperti LNG Tangguh di Teluk Bintuni pada kenyataannya tidak bisa mendongkrak angka pengangguran menjadi lebih baik. Iribaram mengibaratkan BP Tangguh seperti rampok yang tanpa permisi datang dan mengeruk kekayaan alam di Teluk Bintuni.

“Masuk langsung, rampok ini semua dibawa kemana tidak tahu. Sampai hari ini kami tidak rasakan itu. Nikmat dari hasil yang keluar. Itu gas. Satu kali satu tahun itu 110 kali keluar kapal. Pengapalan. Kami tidak tahu,” ujar Jamaluddin.

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Menurut Jamaluddin, sumbangsih kembali dari perusahaan dari segi penyerapan warga lokal sebagai tenaga kerja pun diabaikan oleh LNG Tangguh.

“Ada angka pengangguran yang sangat besar angkanya, 6 persen. Baru turun itu kita baru tahu. Saya sudah ngotot di Jakarta itu saya sudah capek. Setiap 3 bulan itu kita pertemuan dengan BP. BP itu jangan dijadikan lahan pencari makan untuk mereka-mereka yang kerja di situ. Ini yang tidak benar itu,” jelasnya.

Permintaan perihal penyerapan tenaga kerja 70% ini pernah disodorkan oleh Jamaluddin pada saat rapat pembahasan perihal Amdal Train 3 LNG Tangguh yang diadakan antara pihak masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan.

Jamaluddin yang hadir sebagai Sekertaris Jenderal Masyarakat Adat Teluk Bintuni dan Kadisnakertrans, meminta kembali komitmen dari LNG perihal hal ini serta transparansi data. Rapat yang berlangsung alot itu akhirnya harus dibubarkan karena mengalami lock down dan tidak menemui kesepakatan.

Harapan agar adanya rapat lanjutan untuk membahas perihal penyerapan tenaga kerja dari Teluk Bintuni sebagai bentuk kesepakatan, rupanya harus menjadi jalan pahit. Pihak LNG sebulan kemudian datang dan meminta rapat kembali. Pembahasan pada rapat tersebut sudah meningkat menjadi pembahasan teknis bahwa train 3 dan train 4 LNG di Teluk Bintuni harus berjalan karena sudah mendapat rekomendasi.

”Kami pikir pembahasan Amdal yang dibubarkan kemarin itu akan kembali dilanjutkan, karena tidak ada yang tanda tangan. Saya berbicara itu sebagai Sekjen Masyarakat Adat, kok bisa kalian dapat ijin dan rekomendasi dari mana? Yang dibawa adalah rekomendasi yang menyatakan Train 3 harus jalan,” tandas Jamaluddin.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Ketimpangan yang terpampang jelas di Kabupaten Teluk Bintuni ini merupakan contoh ironi dari sebuah daerah industri. Masyarakat Papua dan Papua Barat masih berharap dan masih percaya kepada pemerintah akan adanya sebuah kemajuan atau paling tidak sedikit kesejahteraan bagi mereka.

Tingkat kepercayaan masyarakat yang masih berharap perubahan ini tampak dari hasil Pilpres 2019, dimana Jokowi – Ma’ruf Amin menang telak di hampir seluruh daerah. Kepercayaan dari masyarakat akan terwujudnya harapan, seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan lebih riil lagi tanpa harus disertai jargon maupun retorika belaka.

Permasalahan klasik dari masyarakat yang terdampak industri ini selalu menjadi bentuk pengulangan, yang seolah bisa dibiaskan isunya dengan waktu. Alasan perusahaan yang selalu berkilah dengan tidak terlatihnya tenaga-tenaga lokal serta minimnya pengalaman merupakan dalil utama yang selalu dipergunakan.

Padahal, tenaga non skilled yang digunakan oleh industri dengan tidak memanfaatkan tenaga lokal masih banyak ditemukan. Upaya-upaya dalam menyiasati peraturan baik daerah maupun pusat seolah mengangkangi anak-anak negeri yang terimbas dari lajunya sebuah industri.

Indonesia Maju seperti yang didambakan oleh Presiden Joko Widodo, seolah menjadi retorika di Tanah Kepala Burung. Ampas yang diberikan kepada masyarakat yang terdampak industri seolah menjadi pelipur bagi kekayaan alam yang terobralkan oleh janji-janji manis perusahaan. Penyerapan tenaga kerja yang dijanjikan sedang berproses untuk menjadi sebuah isapan jempol belaka. Anak-anak negeri sedang dipersiapkan untuk menjadi penonton dari sebuah atraksi yang dipertontonkan industri.**

Artikel sebelumnyaVIDEO: Ketua MUI Papua Kecam Ucapan Rasis kepada Natalius Pigai
Artikel berikutnyaFAO Warning Krisis Pangan di Tengah Kegagalan Jokowi Dalam Tata Kelola Pangan