Oleh: Wensislaus Fatubun)*
Akhir-akhir ini, kita disuguhkan pemberitaan tentang pandemik covid-19, mulai dari pasien positif covid-19 hingga bantuan sosial pemerintah, TNI/ Polri dan berbagai pihak, seperti bantuan bahan makanan. Hal itu menarik untuk direfleksikan. Tulisan ini fokus merefleksikan bantuan sosial dalam hubungan dengan tindakan penaklukan dalam dan atau melalui pencitraan.
Dari perlawanan ke penaklukan: Contoh dari Merauke
Pada 20 Desember 1928, pos pemerintah Hindia Belanda di Sarira (disebut juga “Salerika”) diserang oleh Malind anim. Tuan Ahee bersama 10 anggota Polisi dan 10 pegawai pertanian kalah dengan taktik Malind anim. Inilah awal perlawanan Malind anim terhadap kolonialisme. Malind anim menang dan berhasil mengusir utusan pemerintah Hindia Belanda dari Malind mila (tanah Malind).
Selanjutnya pada Desember 1899, kapal “Pel” diserang oleh Malind anim. Tiga orang perwira kapal terbunuh. Tapi, pada 26 Februari 1902 menjadi awal kekalahan Malind anim. Ketika itu, 2000 laki-laki Malind anim mengadakan pertemuan rahasia dan berperang melawan 200 polisi Hindia Belanda. Itulah untuk pertama kali Malind anim kalah dalam perang melawan Hindia Belanda. Malind anim berbekal senjata busur dan anak panah itu tak dapat mengalahkan polisi Belanda yang bersenjata api.
Dari pengalaman itu, kita diingatkan kembali pada gagasan dari Jared Diamond dalam bukunya “Guds, Germs & Steel” dimana bedil adalah alat untuk menaklukan. Tapi dalam kasus Malind anim dengan pemerintah Hindia Belanda ini, perlu untuk membuat sebuah refleksi lebih mendalam terkait dengan metode penaklukan yang dipakai oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap Malind anim.
Dalam catatan Pemerintah Hindia Belanda waktu itu, mereka tetap kesulitan menghadapi Malind anim. Malind anim tetap menganggap para perwakilan dan petugas pemerintah Hindia Belanda itu sebagai “pu anem” atau “orang luar”. Menghadapi kesulitan itu, maka Pemerintah Hindia Belanda “memfasilitasi” para misionaris Eropa untuk berkarya di Malind mila (tanah Malind atau Kabupaten Merauke kini).
Pendekatan kemanusiaan lebih diutamakan dalam “menaklukan” Malind anim. Pendekatan ini berhasil. Para misionaris datang, berhubungan dengan Malind anim, membaptis mereka menjadi kristen dan meminta mereka untuk meninggalkan praktek-praktek kebudayaannya. Sekolah dengan sistem pendidikan Eropa dibuka, rumah adat dibakar, panglima perang ditangkap dan dipenjarahkan, aturan dibuat untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan yang oleh pemerintah Hindia Belanda dan para misionaris dianggap tidak sesuai dengan moralitas mereka. Malind anim menyetujuhi tindakan-tindakan itu dengan meninggalkan kebudayaannya, bahkan menganggap kaum kulit putih itu sebagai penyelamat.
Penaklukan & pencitraan
Pengalaman kehadiran misionaris, pemerintah dan pendekatan kemanusiaan patut kita refleksikan secara kritis. Setiap kehadiran dan tindakan kemanusiaan itu tidak bebas nilai, sehingga perlu dikritisi demi membongkar apa yang tersurat dan tersirat di balik kehadiran atau tindakan itu.
Pada 1 April 1959, dalam presentasinya di pertemuan tahunan antropolog di Nederland, van Baal merefleksikan ada erring acculturation makna kehadiran “pu anim” dalam kehidupan Malind anim dimana “pu anim” (baca juga: orang kulit putih) dilihat sebagai “penyelamat” dan memperkuat cargo cults (van Baal, 1959). Hal ini, menurut Paulo Freire, harus dibongkar dengan sebuah refleksi yang mendalam. Bagaimana caranya? Harus dimulai dari dari “kodifikasi”, representasi dari realitas sosial yang nyata, berupa citra (image), simbol, ide, konsep atau kata kemudian masuk pada proses de-kodifikasi atau “de- coding “ berupa diskusi atau perdebatan yang berangsur-angsur bergerak dari tindakan atau kehadiran pada “struktur permukaan”, mengamati apa yang dapat tampak secara kasat mata, terus menerobos ke “struktur dalam” kodifikasi itu (lihat Paulo Freire, 1970).
Michel Foucault, seorang filsuf Perancis, sejarawan, ahli teori sosial, dan kritikus sastra memberikan sumbangan pemikiran dengan memperkenalkan konsep “power/knowledge”, yang mengacu pada hubungan dialektis antara kekuasaan dan pengetahuan, mengajak kita untuk mengkritisi setiap tindakan kemanusiaan, atau perbuatan baik itu (seperti menolong, membangun, merawat, melindungi) dari kaum berkuasa dalam konteks upaya merawat dominasi atas kekuasaan atau upaya menaklukan (Michel Foucault, 1980: 142).
Melanjutkan pemikiran Foucault, Tania Murray Li melihat dibalik setiap kehendak memperbaiki (baca juga: menyelamatkan, memberi bantuan sosial atau bantuan kemanusian), ada upaya untuk mengontrol, menguasai dan menaklukan (Tania Murray Li, 2007). Tania Li mencontohkan proyek conservasi hutan yang dikerjakan atas nama perlindungan dan kelestarian lingkungan hidup, tapi ternyata bermasalah untuk eksistensi masyarakat adat. Berbagai proyek bantuan atau pembangunan itu seharusnya untuk mengoptimalkan modal sosial warga dalam mencapai kemandirian, tetapi justru merawat relasi kekuasaan atas dan bawah.
Kondisi semacam itu dapat dimengerti sebagai bagian dari sistem yang menindas, dalam bahasa Ha-Joon Chang disebut sistem “tendang keluar tangga” supaya yang dibawa tetap dibawa, dan yang di atas tetap di atas, atau yang berkuasa tetap berkuasa, dan yang dikuasai tetap dikuasai (Ha-Joon Chang, 2002).
Pola-pola penaklukan itu dioperasikan secara halus lewat pencitraan. Bahasa, citra dan simbol dikemas dalam atau melalui publikasitas sehingga kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya, sebagaimana dijelaskan sebagai doxa oleh Pierre Bourdieu dalam bukunya Esquisse d’une theorie de la pratique.
Pencitraan memang dibutuhkan oleh kaum berkuasa, seperti “pu anem” terhadap Malind anim, tetapi juga kita dapat melihat dalam konteks bantuan kemanusiaan terhadap warga ditengah pandemik covid-19 kini, seperti pembagian nasi bungkus dari aparat TNI dan Polri kepada penduduk Lanny di Tiom (kabupaten Lanny Jaya) pada tanggal 26 April 2020.
Penaklukan melalui pencitraan menjadi hal penting dimana memanfaatkan kecenderungan konsumtif masyarakat kini. Citra, yang dibangun melalui tindakan memberi bantuan atau kehendak menolong, menjadi lebih penting dari pada makna kemandirian manusia itu sendiri. Yang terpenting adalah memberikan bantuan, difoto, bikin laporan dan publikasi media. Bukan lagi to be or not to be, terapi lebih pada apa yang diungkapkan oleh Erich Fromm, to be or to have. Modus memiliki, to have, rupanya lebih menarik dan sekaligus penting bagi sebagian orang jika dibandingkan dengan modus menjadi, to be.
Oleh karena itu, kemandirian untuk survive (baca: modus “to be” dalam bahasa Erich Fromm atau “hetrodoxa” dalam bahasa Pierre Bourdieu) dan berdaulat itu menjadi sebuah persoalan utama yang harus digumuli bersama. Misalnya, tindakan berkebun yang sedang dilakukan oleh penduduk asli Papua di Papua Barat itu bukan semata-mata momentum untuk mengatasi krisis pangan akibat pandemik covid-19 atau aksidental perlawanan tanpa kemandirian, tetapi harus menjadi momentum kemandirian untuk survive sekaligus menjadi tindakan politik dalam mengakhiri penaklukan lewat pencitraan kaum berkuasa (baca juga: penindas) yang punya kehendak mengontrol dan menaklukan tadi.
Tindakan warga distrik Wouma menolak bantuan makan dari pemerintah kabupaten Jayawijaya dan mengusulkan bantuan alat kerja untuk berproduksi patut diikuti oleh warga lain, dan juga mendukang dengan kritis tindakan pemerintah, DPRP dan MRP membeli pangan lokal yang diproduksi oleh penduduk asli Papua itu perlu diikuti melalui menyusun regulasi untuk kedaulatan pangan lokal dan perlindungan tanah-tanah marga di Papua Barat.
)* Penulis adalah Video Maker Papua