NKRI Mati Harga, Baru Papua Apa Kabar?

0
2521

Oleh: Devi)*

Saya pengikut akun @SuaraPapua di Twitter dan dalam seminggu ini ada dua postingan Sdr. @ArnoldBelau yang menggelitik sekaligus menggelisahkan saya. Pertama cuitannya di tanggal 13 Mei “Kalo waktu itu masih Belanda kitong tra macam skrng deng negara kaskado nih!”. Lalu beberapa hari kemudian tentang cuitannya yang dibalas seseorang “Kalau tidak suka Indonesia mengapa kuliah di Jogja?” yang kemudian berbuntut perdebatan sebab si Nona yang bertanya sepertinya kurang tahu sejarah tentang Indonesianya sendiri.

Tulisan ini merupakan opini pribadi yang tidak ditulis berdasarkan data ilmiah, namun berbasis pengalaman saya sendiri. Sebagai Cina Indonesia yang lahir besar di Jawa Barat saya sangat paham tentang diskriminasi rasial. Cita-cita saya sewaktu kecil adalah kalau besar pindah ke Indonesia Timur supaya tidak perlu sengsara lagi jadi minoritas. Tahun 1998 terjadi kerusuhan terburuk di Indonesia untuk menutup abad 20 dan hingga kini 22 tahun kemudian, kasus penembakan mahasiswa dan kasus kerusuhan + pemerkosaan itu tidak pernah dibuka oleh negara; dianggap seolah itu tidak ada.

Setahun kemudian, sebagai anak kelas 3 SMP yang menyukai sejarah, saya gembira sekali Timor-Timur merdeka dan Xanana Gusmao yang pernah jadi tahanan politik di LP Cipinang menjadi presidennya. Bagi saya, kemerdekaan Timor Leste adalah tonggak penting. Sebab 3 tahun sebelumnya, kelas 6 SD saat pelajaran IPS, saya tidak percaya ketika guru mengatakan Fretelin bodoh, sebab mau merdeka dan tidak mau ikut Indonesia. Terlalu kecil untuk bisa menyanggah guru di masa Orde Baru, saya menyimpan itu dalam hati sendiri, sebab bagi saya untuk apa kami harus menghafal pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

Di masa kuliah, saya gelisah memikirkan Papua, saya takut kalau gossip yang beredar bahwa orang Papua sedang mengalami genosida perlahan itu menjadi kenyataan, tapi untuk bertanya langsung pada teman-teman kuliah yang dari Papua saya tidak sempat.

ads

Saya teringat kenangan zaman SMA tentang seorang teman-teman gereja datang dari Sorong dan Jayapura untuk menjadi mahasiswa di Bandung, sekalipun mereka juga Cina, tapi saya pikir keterangan mereka cukup bisa mewakili sebab saat itu saya belum bertemu orang Papua langsung. Saya bertanya pada mereka tentang Pepera dalam pelajaran sekolah yang tidak pernah saya percayai, dan jawaban mereka serupa bahwa mereka meyakini bahwa Papua adalah tanah air mereka. Si mahasiswi dari Sorong bahkan dengan penuh tekanan dalam pilihan katanya menegaskan bahwa Pepera itu bohong dan sesungguhnya tidak ada orang Papua dari suku mana pun yang ingin bergabung dengan Indonesia. Itu opini mereka pribadi, di tahun 2002.

Kemudian perjalanan hidup pada 2010 membawa saya ke pedalaman Kalimantan yang saat itu sungguh pedalaman dan saya dapati di tempat yang sedemikian terpencil pun masih ada jejak-jejak perusahaan kayu Korea yang menebangi kayu di rimba Kalimantan era 1990-an yang menurut warga setempat konsesi kayu itu lebih dari 10 tahun sampai hanya meninggalkan bekas-bekas ladang yang tidak bisa ditanami lagi. Pada saat yang sama, di luar pedalaman sedang terjadi penambangan batu bara yang gila-gilaan dan menghasilkan danau-danau mengerikan sedangkan perusahaan sawit sedang sangat massif memperluas lahannya.

Mulai 2013 saya bekerja di NTT. Pertama-tama di Timor dan saya sedih melihat gubuk-gubuk bekas pengungsi TimTim yang sudah belasan tahun ikut Indonesia tapi tidak dapat apa-apa. Kemudian saya tinggal di ujung barat Flores, ya Labuan Bajo, siapa yang tidak tahu tempat komodo itu? Sekarang pemkab setempat sedang mati-matian mendukung rencana pusat untuk pembangunan geothermal sekalipun itu harus menggusur warganya sendiri.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Tahun 2015 atas inisiatif pribadi saya membuatkan perpustakaan kecil di kampung yang berbatasan dengan Timor Leste enclave Oecussi. Lokasi itu bukan tempat yang terkenal seperti Mota Ain atau Wini atau Atambua, ini kampung terpencil yang harus 4x menyeberangi sungai dangkal, tidak ada listrik dan sinyal. Pulsa HP saya habis tersedot roaming Telkomcel milik Timor Leste. Penduduk bercerita bahwa di lokasi itulah dulu, tahun 1999 terjadi pertempuran berdarah dan orang-orang yang pro-integrasi Indonesia lari mengungsi ke kampung ini.

Semalaman di kampung yang gelap itu saya menangis sambil memandang ke seberang, ke arah Timor Leste yang terang benderang dan bersinyal kuat. Saya menyesali pilihan orang-orang TimTim yang pro Indonesia. Andaikan dulu mereka menolak konsep NKRI Harga Mati, pasti mereka semua sudah sejahtera bersama Timor Leste. Itu sungguh perang saudara yang menyesakkan dada. Demi apa, ya Tuhan? Demi apa mereka berperang dengan saudara-saudaranya yang bisa saling memahami bahasa masing-masing?[1]Demi negara ini? Negara yang tidak bisa memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi warganya sendiri? Negara yang lupa bahwa pernah ada pengungsi? Saya tidak mengada-ada, ini ada tautan tentang itu, masih segar, ditayangkan kemarin 19 Mei. www.diantimur.

2018-2019 saya berada di sebuah kampung pedalaman di Papua Barat, wilayah kepala burung. Tidak ada sinyal, tidak ada listrik, tidak ada sumur air minum, dan saya tinggal di sana selama setahun lebih. Saya paham, sepaham-pahamnya kalau orang Papua ingin merdeka dan saya mendukung niat itu sepenuhnya, seperti sejak kecil dulu saya mendukung Timor Leste merdeka. Saya ingat percakapan saya di Kalimantan dengan seorang pastor Perancis yang lama melayani di Papua New Guinea, beliau sangat ingin Papua Indonesia ini merdeka dan menyayangkan mengapa Alm. Gus Dur terlalu cepat dimakzulkan sebab hanya Gus Dur-lah Presiden RI yang memahami Papua.

Pengalaman otentik tinggal di Papua itu membuat segala macam pikiran dan perasaan saya teraduk. Saya mendorong murid-murid kecil saya belajar baik-baik sebab dalam hati saya berkata, “Ko belajar bae2, Diks. Belajar cepat supaya cepat pintar, supaya ko bisa cepat merdeka. Tarada ko pu masa depan deng negara kaskado ini.” Saya marah sekali karena guru-guru pemerintah di kampung saya begitu malas mengajar (ya, ini fakta, tidak semua GGD itu berhati mulia dan bercita-cita luhur, contohnya yang di sa pu kampung ini; tapi untungnya GGD di kampung tetangga semuanya baik sehingga saya tidak perlu menggenaralisasi tentang mereka) dan kepala sekolah yang orang lokal juga hanya memikirkan keuntungan diri sendiri sambil menyengsarakan siswa dan orangtua siswa. Begimana bisa merdeka kalo orang sendiri ju kaskado?

Dengan berapi-api saya membuka semuanya pada Kepala Dinas Pendidikan ketika dia datang dan perkataan saya semuanya diaminkan oleh semua mama-bapa sekampung dan kepala dinas hanya bilang bahwa ini program pusat, jadi jalan keluar yang bisa dia tawarkan adalah meminta para tamatan PGSD di kampung untuk memasukkan berkas dan dia janji akan diupayakan menjadi guru honorer. Entah sekarang apakah janji itu sudah terpenuhi atau tidak sebab memang di kampung saya ada beberapa mahasiswa yang baru lulus.

Di kampung memang ada 2 nene dan 2 tete yang fasih berbahasa Belanda sebab dulu mereka pernah bersekolah di kota namun tidak selesai karena sudah telanjur Pepera tipu-tipu itu. Di kampung manapun yang saya masuki di Kalimantan, NTT dan Papua, penduduk pasti bercerita bahwa di kampung itu pernah ada almarhum guru-guru tua orang kampung asli yang dididik Belanda untuk jadi guru kampung dan membuat orang sekampung tahu baca tulis hitung. Begitu juga di Papua. Guru-guru lokal jaman dulu terbukti lebih tangguh daripada GGD zaman sekarang yang mau ke Papua hanya karena iming-iming jadi PNS lalu kabur berbulan-bulan tidak pernah mengajar dengan alasan tempat terlalu terpencil. Bodok apa itu alasan! Tidak malukah dengan guru-guru Ambon atau pun guru-guru Kei yang 80-100 tahun lalu didatangkan Belanda ke Papua yang saat itu masih belantara tanpa mesin ketinting, chain saw, vaksin, dan obat? Mereka yang telah berkorban banyak hingga nyawa anak-anak mereka terenggut malaria demi melayani Orang Asli Papua?

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Waktu itu program Nusantara Sehat sedang mendekati masa berakhir. Apakah dengan adanya NS anak-anak dan dewasa OAP menjadi lebih sehat? Lagi-lagi fakta membuktikan tidak. Di kampung-kampung yang semuanya terhubung oleh sungai, fasilitas tentu tidak semudah di daratan. Saya terkejut ketika tahu bahwa di Posyandu tidak ada vaksinasi karena jarang sekali bidan dari puskesmas datang bawa vaksin (selama saya di sana malah tidak pernah) dengan alasan vaksin harus dibawa dalam kotak es dan harus sekali habis ketika dibuka sedangkan jarak dari puskesmas ke kampung memerlukan puluhan liter BBM supaya perahu bisa jalan. Ditambah lagi jarang ada obat di pustu, seringkali alasannya belum dikirim. Syukurnya di setiap kampung pasti ada dukun terlatih yang bisa menangani persalinan tersulit sekalipun. Masih untung pula di kampung yang saya tinggal itu ada mantri dan bidan OAP yang memang warga kampung tersebut. Mereka cekatan dan berpengalaman, hanya sayangnya fasilitas dan obat yang tidak ada. Entah sungguh tidak ada atau memang terjadi proses peniadaan. Dengan situasi demikian, anak-anak OAP di kampung harus bertahan hidup tanpa vaksin dan imunisasi. Tidak heran di kampung tetangga saya jadi sedih sendiri melihat seorang balita terkena gizi buruk karena polio.

Kita berusaha mencegah diri sendiri terjatuh dalam lubang stereotip. Dari pergaulan nyata kita tahu bahwa tidak semua Cina mata duitan, tidak semua Jawa sok tahu, tidak semua Flores itu fanatik Katolik, tidak semua Sunda tidak bias membedakan antara f dan v, tidak semua Batak bersuara nyaring, tidak semua Ambon jago menyanyi, dan tidak semua Timor pandai berdansa. Entah mengapa, orang Indonesia yang alam pikirnya dibentuk secara rusak oleh Orde Baru hingga hari ini masih sering mengenakan stereotip tertentu pada Orang Asli Papua, padahal belum tentu mereka yang bicara itu pernah bergaul langsung dengan orang Papua.

Kasus paling keterlaluan tentu saja Agustus 2019 lalu, yang menghasilkan kerusuhan di kota-kota besar di Papua dalam waktu bersamaan sehingga sangat layak dicurigai bahwa itu tidak murni. Saya bersyukur sedang berada di kampung ketika kerusuhan meledak di kota-kota, sehingga saya tidak perlu mengalami ketidakamanan itu. Lagipula tidak ada tempat yang paling aman selain di kampung bersama semua warga OAP, yang saya tahu persis justru kalau sampai ada sesuatu yang buruk terjadi,  orang sekampung inilah yang akan menyelamatkan saya yang berambut air ini. Saya tidak pernah meragukan kebaikan dan ketulusan orang Papua yang jujur pada mereka yang berbeda dengan mereka, bahkan yang berlainan kepercayaan dan kebiasaan sekalipun. Sayangnya, Indonesia ini tidak adil. Anak-anak mereka sendiri yang pergi kuliah di Jawa malah diteriaki dengan sebutan yang entah apa.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Peristiwa Agustus 2019 ini juga mengakibatkan ada lima orang tahanan politik Papua yang hingga kini belum dibebaskan. Padahal lima orang tapol ini tidak sepantasnya mendapat hukuman dan lebih-lebih tidak pantas pula untuk dipersulit pembebasannya yang seharusnya sudah bebas sejak minggu lalu. Tidak perlu disebut lagi tapol-tapol lainnya dan mereka yang harus mencari suaka ke negeri lain. Saya amat berharap aneksasi Indonesia atas Papua segera berakhir. Meskipun sulit, saya tahu, Indonesia tidak akan pernah melepaskan Papua begitu saja, toh gara-gara emas Papua juga Soekarno dikudeta oleh Orde Baru yang didukung Amerika. Saya suka membayangkan andaikan Soekarno tidak serakah merebut Papua dari Belanda mungkin jalan hidup negara kaskado ini akan lain ceritanya dan Papua Barat sendiri sudah lama merdeka sebagai negara yang aman dan damai sebagaimana tetangganya Papua New Guinea yang mampu menghasilkan dokter dan pilotnya sendiri.

Selama masih  bersama Indonesia tidak akan ada masa depan bagi Papua. Omong kosong saja orang yang mengatakan Papua belum siap untuk merdeka sebab sumber daya mereka masih lemah. Asal kamorang samua tau ne, itu juga yang dikatakan Belanda dan Jepang 75 tahun lalu ketika Indonesia ingin merdeka. Waktu itu apakah Indonesia sudah pintar, sudah punya infrastruktur, sudah punya cadangan emas, sudah punya pesawat? Hahahahaha! Bahkan setelah 75 tahun merdeka saja Indonesia tidak bisa mengurus virus corona dan malah mengesahkan UU Minerba kurang ajar! Indonesia masih  berkutat dengan pilihan antara kesehatan rakyat atau ekonomi negara, padahal di negara-negara waras keduanya sepaket. Jual saja sudah itu Indonesia ke oligarki! Pemerintah juga tidak peduli rakyatnya hidup atau mati, rakyatnya sejahtera atau dianggap penumpang di konsesi tambang dan sawit. Jangankan memperhatikan Indonesia Timur dan mempedulikan Papua, toh Jakarta deng Jawa saja dong tra bisa urus. NKRI su mati harga! Harga diri saja dong su tra punya lai.

‘Siap merdeka” adalah istilah bulls*** paleng pan** loba**. Tidak ada kemerdekaan gratis. Tidak ada kemerdekaan yang dipersiapkan. Rebut sekarang dan seketika itu juga Papua pasti langsung siap merdeka. Percayalah! Timor Leste sudah jadi contoh nyata. Juga, kalau merdeka, harus merdeka satu kali. Tra usah repot mau integrasi dengan NKRI! Jang ulang kasus Tim-Tim. Setelah merdeka pasti Papua bisa punya guru, dokter, perawat, dan pengusaha sendiri. Setelah merdeka pasti anak-anak muda itu sembuh dan bertobat dari minum mabuk dan palang-palang jalan. Setelah merdeka pasti semua anak nona dan nyong berebut pigi kuliah. Sa percaya sepercaya-percayanya bahwa obat dari segala macam masalah sosial di Papua adalah merdeka. Dengan merdeka sebagai Negara Papua bersama-sama negara Pasifik lainnya maka generai muda Papua punya harapan hidup yang lebih baik.

Salam dari Pantar, pulau yang mungkin baru didengar namanya oleh orang-orang Jakarta sana. Kelak Papua merdeka, sa pasti daftar untuk proses naturalisasi warga negara.

)* Penulis adalah pekerja sosial independen yang khusus bergerak dalam pengembangan masyarakat di wilayah lndonesia Timur.

 

Referensi

[1] Ada dua suku besar di Timor yakni Timor Dawan yang berbahasa Dawan dan Timor Tetun yang berbahasa Tetun. Penduduk Belu (ibukotanya Atambua) dan Melaka berbahasa Tetun, bahasa yang sama dengan bahasa resmi negara Timor Leste.

Artikel sebelumnyaBagaimana Kalau Covid-19 Tak Kunjung Pergi?
Artikel berikutnyaKampung Sawe Suma Tempat Bermainnya Cenderawasih, Spot Wisata Spektakuler